Pengertian Hukum Syara’ dan Pembagiannya

Pengertian dan Pembagian Hukum Syara'

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya. Pada pelajaran ushul fiqih kali ini kita akan belajar bersama pengertian hukum syara' dan jenis-jenis hukum syara' atau pembagiannya secara lengkap beserta contohnya.

A. Pengertian Hukum Syara' Secara Bahasa dan Istilah

Apa Itu Hukum Syara'? Pengertian hukum secara bahasa berarti Al-Qadha' (arab : (القَضَاءُ)) yang berarti "keputusan". Sedangkan pengertian hukum syara' secara istilah adalah :

هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين، طلباً أو تخييراً، أو وضعاً

Hukum syara' adalah titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, dan peletakan

Berangkat dari definisi hukum syara' tersebut dapat kita pahami bahwa hukum syara' adalah apa yang telah ditetapkan oleh titah syariat yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.

Hukum syara' adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik itu perkataan atau perbuatan, berupa melakukan atau meninggalkan sesuatu. Hukum syara' tidak ada kaitannya sama sekali dengan keyakinan atau akidah.

Adapun mukallaf yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah siapa saja yang keadaannya dibebani syariat, termasuk anak kecil dan orang gila.

Dari definisi tersebut juga dapat kita ketahui bahwa hukum syara' terbagi menjadi dua, yaitu :

  • Yang pertama adalah tuntutan baik itu perintah maupun larangan, baik itu bersifat pasti maupun tidak pasti dan juga pilihan apakah mau mengerjakan atau meninggalkannya.
  • Sedangkan yang kedua adalah wadh'i atau peletakan, yang mana ia merupakan perkara-perkara yang diletakkan oleh pembuat syariat yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya.

B. Pembagian Hukum Syara'

Sebagaimana definisi hukum syara' di atas, maka hukum dapat kita ketahui bahwa hukum syara' terbagi menjadi dua yaitu : Taklifi dan Wadh'i. Mari kita bahas satu persatu :

1. Hukum Taklifi

Apa pengertian hukum taklifi? Hukum taklifi adalah tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, dan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan. Hukum taklifi terbagi menjadi lima, yaitu :

  1. Wajib
  2. Mandub
  3. Haram
  4. Makruh
  5. Mubah

Berikut ini pembahasan yang lebih rinci mengenai pembagian hukum taklifi beserta contohnya :

Wajib

Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan. Orang yang melaksanakan perkara wajib akan diberi ganjaran dan berhak mendapatkan hukuman apabila ditinggalkan. Istilah lain atau sinonim dari Wajib diantaranya ada Fardhu atau Faridhah, Hatmun atau Mahtum, dan Lazim.

Menurut kalangan hanafiyyah Fardhu dan Wajib itu berbeda. Fardhu atau Faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil Qath'i seperti Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil Dzanni seperti hadits ahad maka ia disebut Wajib. Akan tetapi yang masyhur dan yang terpilih di kalangan jumhur ulama adalah bahwa Wajib, Fardhu, Faridhah, Hatm atau Mahtum, dan Lazim adalah sama.

Hukum wajib sendiri terbagi menjadi empat kategori yaitu :

  1. Pertama, dari segi keterikatannya dengan waktu, dan ini terbagi menjadi dua :
    • Wajib Mutlaq atau Wajib Muwassa', yaitu kewajiban yang waktu pelaksanannya luas dan tidak terikat dengan waktu tertentu, seperti menqadha' puasa Ramadhan.
    • Wajib Muqayyad atau Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya terikat oleh waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya.
  2. Kedua, dari segi ketentuan obyeknya, terbagi menjadi dua :
    • Wajib Mu'ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada pilihan lain selain yang sudah menjadi ketentuan, seperti wajibnya puasa di bulan Ramadhan, wajibnya Haji, dan lain sebagainya.
    • Wajib Ghairu Mu'ayyan atau Wajib Mukhayyar, yaitu kewajiban yang dibolehkan menentukan salah satu diantara beberapa pilihan. Contohnya adalah kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah.
  3. Ketiga, dari segi kadarnya, ini terbagi menjadi dua :
    • Wajib Muqaddar atau Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, seperti jumlah raka'at pada shalat fardhu, jumlah minimal pembayaran zakat, dsb.
    • Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya, seperti berinfak di jalan Allah, bersedekah, memberi makan anak yatim, dsb.
  4. Keempat, dari segi subyek hukumnya, terbagi menjadi dua :
    • Wajib Aini atau Fardhu Ain, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb.
    • Wajib Kifa'i atau Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan secara kolektif, yang apabila sudah terwakili maka gugurlah kewajiban itu. Seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, amar ma'ruf nahi munkar, dsb.
Mandub

Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. Orang yang mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan pahala, akan tetapi tidak dihukum bila meninggalkannya. Istilah lain dari Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab atau Istihbab, Nafl atau Nafilah, Tathawwu', dan Fadhilah.

Hukum mandub sendiri terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu :

  1. Pertama, sunnah muakkadah. Adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi . Contohnya : melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.
  2. Kedua, sunnah ghairu muakkadah. Adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi . Maksudnya adalah sunnah yang sesekali beliau tinggalkan, seperti shalat tarawih, shalat empat rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.

Ada pula sunnah zawaid atau sunnah adat, yaitu perbuatan Nabi yang bukan dalam rangka beribadah kepada Allah , seperti cara berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, cara berjalan, cara berkendara, dan lain sebagainya.

Melakukan sunnah adat ini merupakan sebuah keutamaan. Tidaklah tercela ketika seseorang meninggalkannya, dan melakukannya adalah perbuatan terpuji. Karena melakukan sunah adat dalam rangka tasyabbuh terhadap Nabi adalah baik selama tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih diutamakan. Beliau bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.


[HR. Abu Dawud no. 4031]

Haram

Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat yang harus ditinggalkan. Orang yang meninggalkan perkara yang haram karena mengharapkan pahala maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang melakukannya berhak mendapatkan azab. Istilah lain dari haram diantaranya ada Mahthur dan Mamnu'.

Hukum haram sendiri terbagi menjadi dua, yaitu :

  1. Pertama, haram lidzatihi atau haram karena zatnya. Yaitu perbuatan yang pada asalnya haram menurut hukum syar'i. Contoh : syirik, zina, mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.
  2. Kedua, haram lighairigi atau haram karena selainnya. Yaitu perbuatan yang pada asalnya diperbolehkan atau disyariatkan, namun karena adanya faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan kemudharatan maka perbuatan itu menjadi haram.
    Contohnya seperti transaksi jual beli pada saat adzan jum'at. Jual beli itu pada asalnya diperbolehkan, akan tetapi apabila dilakukan saat dikumandangkan adzan jum'at maka menjadi haram, karena ini dapat menjadikan seseorang terlewat melaksanakan shalat jum'at.
Makruh

Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan. Seorang yang meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang melanggarnya tidaklah berdosa.

Catatan :
  1. Penggunaan istilah makruh yang telah berjalan dikalangan para ulama adalah makruh yang telah dijelaskan pada pembahasan ini, kecuali ulama hanafiyyah. Mereka membagi makruh menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.
  2. Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh syariat akan tetapi dalilnya bersifat Dzanni Al-Wurud (dugaan kuat).

    Sementara Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk ditinggalkan sebagaimana makruh yang dikenal oleh para ulama pada umumnya.

  3. Yang terjadi pada kalam Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan sebagian ahli hadits, penggunaan istilah makruh bisa bermakna haram bisa juga bermakna makruh secara istilah, maka berhati-hatilah dan jangan sampai salah menafsirkan!
  4. Bahwasanya Nabi ketika melarang sesuatu akan tetapi beliau mengerjakannya maka hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan. Bukan berarti yang semula dilarang kemudian berubah menjadi makruh, karena Nabi tidaklah mengerjakan hal yang dimakruhkan.
Mubah

Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. Seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya. Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila perbuatan tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka perbuatan tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.

Contohnya seperti mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun, karena kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah maka tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab. Sehingga mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar belakang tersebut. Contoh lainnya seperti makan dan minum. Hukum asalnya adalah mubah, namun apabila dilakukan secara berlebihan hingga membahayakan dirinya maka hukumnya menjadi haram.

Adapun istilah lain dari mubah adalah Halal dan Jaiz.

2. Hukum Wadh'i

Apa pengertian hukum wadh'i? Hukum wadh'i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum taklifi. Hukum wadh'i terbagi menjadi lima, yaitu :

  1. Sabab
  2. Syarat
  3. Mani'
  4. Sah dan Batal
  5. Azimah dan Rukhshah

Berikut ini pembahasan rinci tentang pembagian hukum wadh'i :

Sabab

Hukum wadh'i yang pertama adalah sabab yang dalam bahasa indonesia berarti sebab. Secara bahasa sebab adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dalam istilah ushul fiqih sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembuat syariat sebagai penanda atas keberadaan suatu hukum. Dan ketiadaan sebab adalah penanda ketiadaan suatu hukum.

Sebab sendiri terbagi menjadi dua :

  1. Pertama, adalah sebab yang ditetapkan oleh pembuat syariat dan di luar batas kemampuan mukallaf. Contohnya seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat dzuhur, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab wajibnya berpuasa Ramadhan, dsb.
  2. Kedua, adalah sebab yang telah ditetapkan syariat dan berada dalam batas kemampuan mukallaf. Contohnya seperti safar menjadi sebab diperbolehkannya puasa di siang Ramadhan, zina menjadi penyebab ditegakkannya hukum had, murtad menjadi sebab dihalalkannya darah.
Syarat

Hukum wadh'i yang kedua adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya, dan ketiadaannya itu berkonsekuensi tidak adanya hukum. Namun, keberadaan syarat tidak mengharuskan adanya yang disyaratkan. Misalnya seperti shalat yang disyaratkan untuk wudhu, namun wudhu tidak mengaruskan adanya shalat.

Syarat juga bukan bagian dari yang disyaratkan, akan tetapi ia sesuatu yang berada di luar. Misalnya wudhu adalah syarat untuk melaksanakan shalat, akan tetapi wudhu bukan bagian dari shalat. Syarat sendiri terbagi menjadi dua, yaitu :

  1. Pertama, adalah syarat syar'i. Syarat syar'i adalah syarat yang datang dari syariat itu sendiri. Misalnya seperti suci dari hadats menjadi syarat shalat, haul dan nishab menjadi syarat ditunaikannya zakat mal, dsb.
  2. Kedua, adalah syarat ja'li. Syarat ja'li adalah syarat yang dibuat oleh mukallaf sendiri dalam hal mu'amalah bukan dalam hal ibadah.
Mani'

Hukum wadh'i yang ketiga adalah mani' yang berarti penghalang. Mani' adalah sesuatu yang mengharuskan ketiadaannya hukum karena keberadaannya, atau batalnya sebab, yang terkadang terwujudnya sebab syar'i, dan terpenuhinya semua syarat-syaratnya tetapi terdapat mani' yang menyebabkan terhalangnya keberadaan hukum. Contohnya adalah datangnya haul dan nishab merupakan syarat dan sabab wajibnya menunaikkan zakat. Namun, keberadaan hutang menjadi mani' (penghalang) wajibnya menunaikkan zakat.

Mani' terbagi menjadi dua :

  1. Pertama, mani' al-hukm. Mani' Al-Hukm adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi keberadaan hukum. Contohnya seperti haid pada wanita menjadi penghalang shalat.
  2. Kedua, mani' 'as-sabab. Mani' As-Sabab adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang berfungsinya sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai konsekuensi hukum. Contohnya seperti seorang yang hartanya telah mencapai nishab dan haul, namun karena ia masih memiliki hutang maka terhalanglah kewajiban zakatnya sebab hutangnya.
Sah dan Batal

Apa yang dimaksud dengan sah? Sah adalah ketika mukallaf mengerjakan suatu perbuatan yang telah terpenuhi syarat-syaratnya, tidak adanya mani' (penghalang), dan adanya suatu sebab yang menyebabkan perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, sah merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sebab dan tidak ada mani', serta memiliki konsekuensi bagi pelakunya yaitu terbebas dari tanggungan hukum yang menjadi tanggung jawabnya.

Contoh : Apabila seseorang melaksanakan shalat dzuhur setelah tergelincinya matahari, didahului dengan bersuci, dan tidak dalam keadaan haid, maka shalatnya dihukumi sah.

Adapun kebalikan dari sah adalah batal. Batal adalah ketika mukallaf mengerjakan suatu perbuatan namun sebagian atau seluruh syaratnya tidak terpenuhi, atau tidak adanya sebab, atau terdapat mani'.

Contoh : Apabila seseorang melaksanakan shalat dzuhur setelah tergelincirnya matahari, didahului dengan wudhu, dan dalam keadaan haid, maka shalatnya batal karena adanya penghalang yaitu haid.

Azimah dan Rukhshah

Azimah adalah ketentuan asal dari hukum-hukum yang disyariatkan tanpa adanya faktor lain. Contoh : Shalat pada waktunya, menyempurnakan shalat, haramnya bangkai, dsb. Sedangkan rukhshah adalah ketentuan hukum berupa keringanan bagi mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringan tersebut. Atau dengan kata lain rukhshah adalah keringanan yang diberikan oleh Allah ta'ala karena adanya alasan syar'i.

Contoh : Bolehnya makan di siang bulan Ramadhan bagi musafir, bolehnya memakan bangkai ketika tidak ada makanan apapun selain makanan tersebut dan bila tidak memakannya akan mengakibatkan kebinasaan, dsb.

Demikianlah pembahasan pelajaran ushul fiqih tentang pengertian hukum syara' dan pembagiannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Silahkan share dan copas artikel ini untuk keperluan belajar dengan tetap menyertakan link sumbernya.

Refrensi

  • Al-Ushul min Ilmu Al-Ushul : Al-Utsaimin
  • Ilmu Ushul Al-Fiqh : Abdul Wahab Khalaaf
  • Taisir Ilmu Ushul Fiqh : Abdullah Al-Judai'
  • Al-Wadhih Fi Ushul Al-Fiqh li Al-Mubtadi'in : Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar

Related Posts :

Hukum Rambut Panjang Bagi Laki-laki Menurut Agama Islam

Hukum Rambut Panjang Laki-laki

Bismillah, segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikut sunnahnya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di dalam Islam tidak hanya diatur perkara ibadah. Bahkan sampai masalah penampilanpun juga diatur di dalam agama Islam, termasuk rambut. Ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hal-hal yang rinci demi kemaslahatan manusia.

Pada artikel kali ini akan kita bahas bersama apa hukum rambut panjang bagi laki-laki di dalam Islam, dan apa saja adab-adab atau etika yang diajarkan di dalam Islam terkait masalah rambut bagi laki-laki yang dijelaskan di dalam hadits.

Sebelum menginjak pada pembahasan hukum, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu bagaimana ciri-ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam di dalam hadits.

A. Hadits Tentang Ciri Rambut Rasulullah

Hadits-hadits tentang rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sangatlah banyak, berikut ini kami nukilkan sedikit hadits yang menceritakan tentang ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam di dalam hadits yang shahih.

1. Berambut Lebat

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْكَ شَعَرًا

Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam rambutnya lebih lebat darimu


[HR. Bukhari no. 256]

2. Tidak Lurus dan Juga Tidak Keriting

لَيْسَ بِجَعْدٍ قَطَطٍ

Rambut beliau tidak terlalu keriting tidak juga terlalu lurus.


[HR. Bukhari no. 3547]

3. Panjangnya Hingga Ujung Telinga

لَهُ شَعَرٌ يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنِهِ

Beliau mempunyai rambut hingga mencapai ujung telinganya.


[HR. Bukhari no. 3551]

كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ

Adalah rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam panjangnya melewati kedua telinganya


[HR. Muslim no. 2338]

4. Panjangnya Hingga Mencapai Kedua Pundak

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضْرِبُ شَعَرُهُ مَنْكِبَيْهِ

Bahwasanya Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam memanjangkan rambutnya hingga kedua pundaknya.


[HR. Bukhari no. 5903]

5. Bergelombang dan Panjangnya Antara Kedua Telinga dan Kedua Bahu

كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجِلًا ، لَيْسَ بِالسَّبِطِ وَلَا الجَعْدِ، بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ

Adalah rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam itu bergelombang, tidak lurus juga tidak keriting, dan menjuntai diantara kedua telinganya dan pundaknya.


[HR. Bukhari no. 5905]

6. Berambut Panjang dan Bagus

مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ أَحْسَنَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Aku tidak pernah melihat seorang berambut panjang yang lebih bagus ketika mengenakan baju merah dari pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.


[HR. Abu Dawud no. 4183]

7. Model Sisiran Rambut Rasulullah

كَانَ يَسْدِلُ شَعْرَهُ، وَكَانَ المُشْرِكُونَ يَفْرُقُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ أَهْلُ الكِتَابِ يَسْدِلُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ بِشَيْءٍ، ثُمَّ فَرَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ

Adalah beliau menjuntaikan rambutnya (yakni membiarkan rambut yang ada di keningnya), sementara orang-orang musyrik membelah rambutnya, sedangkan ahlul kitab mereka menjuntaikan rambutnya. Dan Adalah Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam lebih suka menyamai ahli kitab di dalam hal-hal yang tidak diperintahkan, kemudian Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam membelah rambutnya.


[HR. Bukhari no. 3944]

B. Hukum Rambut Panjang Bagi Laki-laki

Sebagaimana yang kita ketahui dari ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sebelumnya, bahwa beliau memiliki rambut bergelombang yang bagus dan panjang hingga ke ujung telinga bahkan hingga pundaknya. Tidak ada pula larangan untuk berambut panjang ataupun pendek. Namun, tidak juga diperintahkan berambut panjang.

Maka hal ini menunjukkan pada asalnya hukum rambut panjang bagi laki-laki adalah boleh. Tidak dianjurkan, tidak juga dilarang, atau dengan kata lain hukumnya adalah mubah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini dan beliau menjawab :

هذا أصله جائز، كان العرب يطولون رؤوسهم، والنبي ﷺ كان يعفي رأسه ﷺ، ربما وصل إلى منكبه وربما ارتفع على حسب حلقه حين يحلقه في الحج والعمرة، يحلقه في الحج ويقصره في العمرة عليه الصلاة والسلام، فإذا طوله الإنسان لا لمقصد سيئ لا لأجل النساء ولا لأجل الفتنة فلا حرج في ذلك، وإن كان تطويله في مكان في بلد أو في قرية يتهم فيه بالسوء أو يظن به السوء فينبغي له تركه حتى لا يتهم بالسوء، وإذا طوله من أجل النساء والفتنة ومغازلة النساء كان منكرا، نسأل الله العافية

Memanjangkan rambut pada asalnya hukumnya boleh. Dahulu orang-orang arab memanjangkan rambutnya, dan adalah Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam membiarkan rambutnya memanjang. Adakalanya sampai pundaknya, adakalanya pendek ketika dicukur saat haji maupun umrah. Beliau sallallaahu 'alaihi wasallam menggundul rambutnya saat haji dan memendekkannya saat umrah. Maka apabila seseorang memanjangkan rambutnya bukan karena bermaksud buruk dan bukan karena wanita dan bukan karena fitnah, maka ia tidak berdosa. Namun, apabila ia memanjangkannya di suatu negeri atau di daerah dimana ia dicurigai akan keburukan atau rambut panjang dianggap sesuatu yang buruk maka sepantasnya ia tidak memanjangkannya sehingga ia tidak dicurigai sebagai orang yang buruk. Dan apabila ia memanjangkan rambutnya karena wanita, fitnah, dan untuk memikat wanita maka ini adalah hal yang mungkar. Kami memohon Afiah hanya kepada Allah. [binbaz.org]

Meskipun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa adakalanya memendekkan rambut lebih baik jika berambut panjang malah menimbulkan masalah. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits :

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِي شَعْرٌ طَوِيلٌ، فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ، ‌وَهَذَا ‌أَحْسَنُ

Dari Wa’il bin Hujr ia berkata : Aku mendatangi Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam dan rambutku panjang. Maka ketika aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam berkata : “Lalat! Lalat!” Maka akupun pulang dan memangkasnya. Kemudian keesokan harinya aku mendatangi beliau dan beliau bersabda : “Sesungguhnya aku tidak bermaksud menjelek-jelekkanmu, karena ini jauh lebih baik.”


[HR. Abu Dawud no. 4190]

Dari hadits ini bisa kita ambil pelajaran bahwa pada asalnya boleh hukumnya memanjangkan rambut karena Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengingkari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu ketika mendatanginya dalam keadaan berambut panjang.

Namun, ketika Wail bin Hujr melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam terganggung dengan adanya lalat maka ia pun pulang dan mencukur rambutnya.

Keesokan harinya ketika ia bertemu Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam maka beliau menceritakan bahwa ketika ia terganggu dengan lalat ia tidak bermaksud menjelek-jelekannya, dan beliaupun memujinya bahwa hal ini jauh lebih baik.

C. Adab-adab Terhadap Rambut dalam Islam

1. Memuliakan Rambut

Disunnahkan bagi seorang muslim untuk memuliakan rambutnya dengan merawatnya, tidak memodelnya dengan model yang jelek, merapikannya dan lain sebagainya, Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ

Barang siapa yang memiliki rambut maka hendaknya ia memuliakannya.


[HR. Abu Dawud]

2. Menyisir dan Memotong Rambut dari Sebelah Kanan

Disunnahkan memulai dari sebelah kanan dalam perkara apapun, termasuk menyisir. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau menuturkan :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan, baik ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan disetiap perbuatannya.


[HR. Bukhari no. 168]

قَالَ لِلْحَالِقِ: ابْدَأْ بِشِقِّي الْأَيْمَنِ فَاحْلِقْهُ

Beliau berkata pada tukang cukur : Mulailah dari sisi sebelah kanan lalu gundullah


[HR. Abu Dawud no. 1982]

3. Tidak Terlalu Sering Menyisir Rambut

Merapikan rambut adalah hal yang baik, namun Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang lelaki untuk terlalu banyak mengurusi penampilan termasuk menyisir rambut terus-menerus. Diriwayatkan di dalam hadits :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمْتَشِطَ أَحَدُنَا كُلَّ يَوْمٍ، أَوْ يَبُولَ فِي مُغْتَسَلِهِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami menyisir setiap hari atau buang air kecil di tempat pemandiannya.


[HR. Abu Dawud no. 28]

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang perawatan rambut kecuali dua hari sekali.


[HR. Abu Dawud no. 4159]

Hendaknya lelaki merapikan rambut seperlunya saja, tidak setiap kali rambut tidak rapi sedikit lantas disisir, karena ini membuang-buang waktu dan menyerupai sifat wanita yang terlalu sibuk memperhatikan penampilan.

4. Dianjurkan Memangkas Rambut

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa memanjangkan rambut itu boleh-boleh saja. Namun, memangkasnya ketika diperlukan itu lebih baik karena bisa saja rambut panjang menimbulkan adanya masalah pada rambut. Diriwayatkan dari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu beliau mengatakan :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِي شَعْرٌ طَوِيلٌ، فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ، ‌وَهَذَا ‌أَحْسَنُ

Suatu ketika Aku mendatangi Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam dan rambutku panjang. Maka ketika aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam berkata : “Lalat! Lalat!” Maka akupun pulang dan memangkasnya. Kemudian keesokan harinya aku mendatangi beliau dan beliau bersabda : “Sesungguhnya aku tidak bermaksud menjelek-jelekkanmu, karena ini jauh lebih baik.”


[HR. Abu Dawud no. 4190]

5. Tidak Mencukur Sebagian Rambut dan Menyisakan Sebagian

Islam mengajarkan keindahan dalam berpenampilan. Maka tidak diperkenankan mencukur rambut dengan model yang tidak baik, yaitu mencukur sebagian dan menyisakannya sebagian. Diriwayatkan dari Ibnu Umar :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأَى صَبِيًّا قَدْ حُلِقَ بَعْضُ شَعْرِهِ وَتُرِكَ بَعْضُهُ، فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ: احْلِقُوهُ كُلَّهُ، أَوِ اتْرُكُوهُ كُلَّهُ

Bahwa Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam melihat anak kecil yang dicukur sebagian dan disisakan sebagian rambutnya, maka beliau melarang hal itu dan berkata : Cukurlah semuanya atau sisakan semuanya.


[HR. Abu Dawud 4195]

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ القَزَعِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang model rambut qaza’


[HR. Bukhari no. 5921]

6. Tidak Panjang Menyerupai Wanita

Hendaknya seorang lelaki tidak menyamai wanita dari segi sifat dan penampilan, termasuk rambut. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau mengatakan :

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.


[HR. Bukhari no. 5885]

Berambut panjang adalah boleh, hanya saja memiliki batasan yaitu tidak boleh melebihi pundak. Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ، لَوْلَا طُولُ جُمَّتِهِ، وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ

Sebaik-baiknya laki-laki adalah orang Khuraim Al-Asadiy, mereka tidak memanjangkan rambutnya hingga melewati bahu dan tidak memanjangkan celananya.


[HR. Abu Dawud no. 4089] Hadits ini dhaif menurut Syaikh Al-Albani

Syaikh Utsaimin mengatakan : Hadits ini merupakan dalil bahwa berambut panjang bagi laki-laki merupakan kesombongan dan rambut laki-laki tidak boleh melebihi bahu atau ujung telinga atau yang semisalnya, karena yang biasa berhias dengan rambut panjangnya adalah wanita [Syarah Riyadhus-sholihin]

Demikian pula rambut pada dagu, yakni jenggot, hendaknya tidak dicukur karena dapat menyerupai wanita. Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

Cukurlah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot.


[HR. Bukhari no. 5893]

Baca Juga : Hukum Mencukur Jenggot dalam Islam

7. Mengepang atau Mengikat Rambut

Apabila rambut sudah memanjang maka sebaiknya dikepang atau diikat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Ummu Hani’ radhiyallaahu ‘anha beliau mengatakan :

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ

Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam datang ke Mekah dan beliau memiliki empat kepangan


[HR. Abu Dawud no. 4191]

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُلَبِّدًا

Sungguh aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam rambutnya dikepang


[HR. Bukhari 5914]

Demikan penjelasan hukum rambut panjang bagi laki-laki di dalam Islam, beserta adab Islami dalam merawat rambut. Kami memohon kepada Allah semoga artikel ini memberikan manfaat kepada kita semua. Amiin.

Related Posts :

Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawi

pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawi

Bismillah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya.

Pada pembahasan ilmu hadits kali ini, kita akan membahas pembagian hadits ditinjau dari banyak sedikitnya perawi, atau pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya.

Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi ada dua, yaitu :

  • Mutawatir
  • Ahad

A. Hadits Mutawatir (المتواتر)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits mutawatir :

1. Pengertian Mutawatir

Pengertian Mutawatir Secara Bahasa : Mutawatir adalah isim fa’il yang berasal dari kata At-Tawaatir (التواتر) yang memiliki arti At-Tataabi’ (التتابع) yaitu beriringan satu sama lain.

Sedangkan Secara Istilah, hadits mutawatir adalah :

ما رواه جماعة يستحيل في العادة أن يتواطؤوا على الكذب، وأسندوه إلى شيء محسوس

Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang perawi yang secara adat tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan mereka menyandarkan hadits tersebut pada sesuatu yang dapat diindra. [Mustholahul Hadits]

2. Syarat Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan oleh banyak periwayat disetiap tingkatan sanadnya.

Secara logis tidak mungkin jumlah periwayat yang banyak itu bersepakat untuk merekayasa terhadap hadits atau khabar tersebut. Oleh karenanya suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila terpenuhi 4 syarat :

  1. Diriwayatkan oleh banyak orang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah minimal orang yang meriwayatkannya. Adapun pendapat yang terpilih adalah setidaknya diriwayatkan oleh 10 orang.
  2. Banyaknya orang yang meriwayatkan hadits ini dijumpai di seluruh tingkatan sanadnya.
  3. Secara adat tidak mungkin mereka berkonspirasi untuk berdusta.
  4. Orang yang meriwayatkannya harus mengabarkannya dengan indranya, seperti kalimat : Aku mendengar (سمعنا), atau Aku melihat (رأينا) dan lain sebagainya.

3. Pembagian Hadits Mutawatir

Pertama, hadits mutawatir lafdzi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat yang redaksi dan maknanya sama antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya. Contoh :

مَنْ ‌كَذَبَ ‌عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya dari api neraka.

Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, dan diantara mereka ada 10 sahabat yang telah diberi kabar gembira masuk surga.

Kedua, hadits mutawatir ma’nawi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat namun redaksinya berbeda, namun maknanya sama.

Contohnya seperti hadits tentang syafa’at, mengusap dua khuf, mengangkat tangan ketika berdoa, telaga, dan hadits tentang melihat Allah. Hadits-hadits tersebut sama maknanya antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, hanya saja disampaikan dengan redaksi yang berbeda-beda.

4. Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah ilmu yakin yang mengharuskan seseorang untuk meyakini akan kebenarannya dan tidak boleh meragukan lagi dalam meyakininya bahwa ia benar-benar hadits Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk mengamalkan hadits mutawatir dengan meyakini akan kebenarannya jika hadits itu berupa berita dan melaksanakannya jika hadits itu berupa tuntunan.

B. Hadits Ahad (الآحاد)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits ahad :

1. Pengertian Hadits Ahad

Ahad (الآحاد) secara bahasa merupakan jama’ dari kata ahad (أحد) yang berarti satu.

Sedangkan secara istilah hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawi atau periwayatnya tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.

2. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian Hadits Ahad berdasarkan jumlah perawinya terbagi menjadi 3 :

Pertama, hadits masyhur. Secara bahasa masyhur adalah sesuatu yang menyebar atau populer. Sedangkan secara istilah hadit masyhur adalah hadits yang diriwayatkan 3 orang perawi atau lebih di setiap tingkatan sanadnya akan tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Contoh :

المُسْلِمُ ‌مَنْ ‌سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain terselamatkan dari gangguan lisan dan tangannya.

Kedua, hadits aziz. Secara bahasa berasal dari kata ‘azza ya’izzu (عز يعز) yang berarti sedikit atau jarang. Sedangkan secara istilah, hadits aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi. Contoh :

لَا ‌يُؤْمِنُ ‌أَحَدُكُمْ، ‌حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Salah seorang dari kalian belum sempurna keimanannya hingga aku lebih ia cintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.

Ketiga, hadits gharib. Secara bahasa gharib memiliki arti menyendiri, atau asing. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah hadits yang jumlah perawinya hanya satu. Contoh :

إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ ‌بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.

Hadits ini tergolong hadits gharib karena tingkatan sanad mulai dari Umar bin Khattab yang meriwayatkan dari Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sampai Yahya bin Sa’id Al-Anshari hanya diriwayatkan oleh satu orang saja. Mereka semua ini dari kalangan tabi’in. Kemudian setelah Yahya banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut.

3. Hukum Hadits Ahad

Kebenaran hadits ahad bersifat dugaan, bisa saja ia benar berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam atau bisa saja salah. Oleh karenanya hadits ahad memberikan faedah ilmu nazhoriy, yakni ilmu yang berhenti di atas teori dan kesimpulan. Sehingga hadits ahad perlu diteliti lebih lanjut mengenai keshahihannya.

Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu yakin jika memiliki indikasi yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil dari Al-Quran dan hadits shahih.

Dari segi derajatnya hadits ahad tidak selamanya shahih. Ada yang shahih lizatihi, shahih lighairihi, hasan lizatihi, hasan lighairihi, dan juga dha’if.

Apabila hadits ahad itu tidaklah dhaif maka kita bisa mengamalkan kandungannya dan meyakini akan kebenarannya.

Namun, apabila hadits itu dhaif, maka ia tidak bisa memberikan faedah apapun, tidak bisa dianggap atau diduga berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan tanpa menjelaskan kelemahannya.

Namun, untuk hadits dha’if berupa anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), sekelompok ulama membolehkannya untuk disampaikan dengan 3 syarat :

  • Pertama, kelemahannya tidak berat.
  • Kedua, amalan yang disebutkan dalam hadits anjuran dan ancaman tersebut memiliki asal dari dalil yang shahih.
  • Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Sebagian ulama lain tidak membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if baik dalam fadha’ilul ‘amal maupun hukum, karena semuanya sama-sama syari’at agama.

Demikianlah pembahasan pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya. Semoga bermanfaat.

Oleh : Adam Rizkala

Refrensi :

  • Taisir Mustholahul-Hadits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan.Mustholahul-Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  • Mustholahul Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Related Posts :

8 Adab Penuntut Ilmu di Dalam Kelas atau Majelis Ilmu

Adab Penuntut Ilmu di Dalam Kelas

Bismillah, Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya.

Pada pembahasan sebelumnya telah kita pelajari bersama Adab Penuntut Ilmu Terhadap Materi Pelajaran. Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari bersama bagaimana Adab Penuntut Ilmu di Dalam Halaqah atau kelas saat mengikuti kegiatan pembelajaran bersama guru yang kami terjemahkan dari kitab “Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’I rahimahullah.

1. Mengikuti Kelas atau Halaqah Seorang Guru dan Mengulang Pelajaran Bersama Teman-teman

Seorang penuntut ilmu hendaknya tetap mengikuti halaqah seorang guru. Bahkan hendaknya ia ikuti semua majelis jika dimungkinkan. Karena hal itu akan menambahkan kebaikan, ilmu, adab, dan kemuliaan baginya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu :

“Janganlah merasa puas mengikuti panjangnya masa belajar kepada seorang guru. Sesungguhnya ia ibarat pohon kurma, kamu tinggal menunggu kapan ada sesuatu yang jatuh darinya kepadamu.”

Berusahalah untuk rutin berkhidmat pada guru (dengan mengikuti kelasnya) dan bersungguh-sungguhlah dalam menjalankannya. Karena hal itu akan memberinya kemuliaan dan penghargaan.

Bila memungkinkan, janganlah ia membatasi hanya mengikuti satu kelas saja, karena itu menunjukkan kurangnya semangat, kebahagiaan, dan lambatnya daya tangkap. Bahkan hendaknya ia ikuti semua pelajaran jika memiliki kecerdasan yang cukup. Berpartisipasilah bersama rekan-rekan hingga seakan-akan semua pelajaran dari guru itu adalah untuk dirinya.

Sesungguhnya semua itu diperuntukkan bagi mereka yang bersungguh-sungguh. Apabila ia tidak mampu mengikuti semuanya maka hendaknya ia memperhatikan yang lebih diprioritaskan.

Bagi orang-orang yang mengikuti majelis guru secara rutin hendaknya mereka saling mengkaji ulang (mudzakarah) terhadap faedah-faedah, masalah-masalah, serta kaidah-kaidah, dan lainnya. Hendaknya mereka juga mengulang-ngulang apa yang diajarkan oleh guru diantara mereka. Karena mengulang-ulang pelajaran terdapat manfaat yang sangat besar.

Waktu terbaik untuk mudzakarah adalah ketika guru bangkit meninggalkan majelis (baru selesai pelajaran) sebelum mereka bubar dari kelas, sebelum akal pikiran terpecah belah, dan sebelum pelajaran yang mereka ingat menghilang dari pemahaman mereka. Kemudian sesudah itu mereka bisa mudzakarah di waktu-waktu yang lainnya.

Al-Khatib mengatakan : “Sebaik-baiknya mudzakarah adalah di malam hari.”

Dahulu sebagian para salaf memulai mudzakarah setelah isya. Dan terkadang mereka tidak bangkit dari majelis mereka hingga mereka mendengar azan subuh.

Apabila seorang murid tidak menjumpai rekan untuk mudzakarah bersamanya maka hendaknya ia melakukannya sendiri. Ulangi makna dan lafal yang telah ia dengar di dalam hati agar ia menempel dalam benak. Sesungguhnya mengulang-ulang makna dengan hati sama halnya dengan mengulang-ulang lafal dengan lisan. Barang siapa yang sekedar menangkap pelajaran ketika di kelas bersama guru lalu setelah itu ia tinggalkan begitu saja dan tidak mengingat-ingatnya kembali maka akan sangat sedikit kemungkinannya untuk bisa sukses.

2. Adab Menghadiri Kelas dan Duduk di Dalamnya

Ketika menghadiri kelas atau majelis maka hendaknya ia memberi salam kepada para hadirin dengan suara yang terdengar oleh mereka. Hendaknya ia memberikan tambahan penghormatan kepada gurunya secara khusus. Demikian pula ketika kelas telah selesai.

Sebagian dari mereka menilai bahwa halaqah ilmu (pada saat kegiatan pembelajaran) termasuk tempat yang tidak layak untuk mengucapkan salam. Namun, pandangan ini bertentangan dengan apa yang sudah menjadi amalan dan kebiasaan. Pandangan ini beralasan jika ditujukan pada satu orang yang sibuk dengan menghafal dan mengulang pelajaran.

Setelah mengucapkan salam, maka janganlah ia melangkahi pundak para hadirin untuk duduk di dekat guru. Bahkan hendaknya ia duduk di tempat yang ia dapatkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

كُنَّا إِذَا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ أَحَدُنَا حَيْثُ يَنْتَهِي

Dahulu ketika kami mendatangi majelis Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam maka salah seorang diantara kami duduk di tempat yang didapatkannya.


[HR. Tirmidzi : 2725]

Namun jika sang guru dan para hadirin memintanya untuk kedepan, atau memang tempat duduknya, atau ia tau bahwa sang guru dan para hadirin mendahulukannya maka tidaklah mengapa.

Hendaknya tidak menyuruh orang lain berdiri atau mendesaknya dengan sengaja. Namun, apabila ada orang lain yang memberikan tempat duduknya maka sebaiknya tidak menerimanya kecuali jika hal itu mengandung kebaikan yang diketahui para hadirin dan mereka mengambil manfaatnya karena ia belajar dekat guru, atau karena memang ia lebih tua umurnya, dan lebih banyak keutamaannya dan kesalihannya.

Tidaklah patut bagi seseorang untuk mendahulukan orang lain untuk duduk lebih dekat dengan guru kecuali bagi orang yang lebih berhak karena lebih tua, lebih berilmu, atau lebih shaleh. Bahkan hendaknya penuntut ilmu bersemangat untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih dekat dengan guru tanpa melangkahi orang lain yang lebih utama untuk duduk dekat guru.

Apabila guru berada di depan maka jamaah yang lebih utama lebih berhak berada di kanan dan kirinya. Jika guru berada di sisi teras atau semisalnya maka orang-orang yang dimuliakan duduk di depannya dekat dinding atau pinggirnya.

Sepatutnya bagi orang-orang yang menghadiri kegiatan pembelajaran agar duduk berkumpul pada satu arah pandang guru. Tujuannya agar pandangan guru saat mengajar bisa tertuju kepada mereka semua. Kebiasaan ini sudah berlaku di dalam majelis-majelis pengajaran bahwa orang-orang yang istimewa duduk di depan guru, sementara orang-orang yang dihormati dari pengawas dan pengunjung di sisi kanan dan kirinya guru.

3. Adab dengan Para Hadirin

Hendaknya berperilaku sopan kepada para hadirin di majelis seorang guru. Sesungguhnya hal itu merupakan sopan santun terhadapnya dan penghormatan terhadap majelis guru, karena mereka adalah rekan-rekannya. Maka hormatilah rekan-rekannya, muliakanlah para senior dan rekan-rekannya. Dan janganlah duduk di tengah-tengah halaqah dan di depan seseorang kecuali dalam keadaan terpaksa. Janganlah duduk diantara dua rekan dan dua sahabat kecuali atas izin mereka berdua. Dan janganlah duduk di atas orang yang lebih utama darinya.

Sepantasnya bagi para hadirin apabila ada orang yang baru datang maka hendaknya ia menyambutnya, serta meluaskan dan melapangkan majelis untuknya dan memuliakannya dangan cara yang pantas. Apabila majelis telah dilapangkan untuknya dan ia merasa sempit maka hendaknya ia rapatkan dirinya dan tidak melapangkannya, tidak memberikan samping tubuhnya atau punggungnya kepada hadirin yang lain, serta berhati-hati darinya dan menjaganya selama sang guru sedang mengajar. Jangan pula ia duduk bersandar di samping tubuh rekannya, atau meletakkn siku di samping tubuh rekannya, atau keluar dari tempat duduknya dengan maju atau mundur.

Janganlah seorang penuntut ilmu berbicara ketika pelajaran sedang berlangsung dengan pembicaraan yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran atau memotong pembahasan sang guru. Ketika memasuki suatu pelajaran maka janganlah ia membicarakan pelajaran sebelumnya atau pelajaran yang lainnya. Karena hal ini dapat mengakibatkan terlewatnya faedah, kecuali atas izin guru atau pengampu pelajaran.

Bila ada sebagian murid yang berlaku tidak sopan pada temannya maka hanya sang guru yang boleh menghardiknya, kecuali guru memberi izin dengan isyarat atau peringatan rahasia diantara keduanya sebagai nasehat.

Jika ada murid yang berlaku tidak sopan pada guru maka hadirin wajib menghardik dan menegurnya, serta membela gurunya sebisa mungkin dalam rangka memenuhi haknya.

Janganlah seorang penuntut ilmu ikut serta (nimbrung) di dalam pembicaraan orang lain, apalagi (ikut nimbrung pembicaraan) guru. Sebagian ahli hikmah mengatakan :

“Diantara sopan santun adalah tidak ikut serta dalam pembicaraan orang lain meskipun ia lebih mengetahui dari pada mereka tentang apa yang dibicarakan.”

Al-Khatib mengatakan : “Janganlah ikut serta dalam pembicaraan orang lain, meskipun engkau mengetahui akar dan cabang pembicaraannya.”

Namun, jika ia tahu bahwa guru atau pembicara tidak keberatan (bila ia ikut serta) maka tidaklah mengapa.

4. Adab Bertanya

Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak malu menanyakan permasalahan yang tidak ia fahami, dan berusaha memahaminya dengan cara yang sopan, ucapan yang baik, dan santun.

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : “Barang siapa yang tipis wajahnya, maka tipis pula ilmunya.”

Mujahid berkata : “Tidak akan mempelajari suatu ilmu orang yang pemalu dan sombong.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

Sebaik-baiknya wanita adalah wanita anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami agama.


(HR. Muslim : 332)

Ummu Sulaim berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الحَقِّ، هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ

Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah wajib mandi ketika dia bermimpi?


(HR. Bukhari : 282)

Sebagian orang arab berkata : “Tidaklah buta orang yang selalu bertanya, akan tetapi buta yang sempurna adalah terdiam lama di atas kebodohan.”

Ada juga yang berkata : “Barang siapa yang tipis wajahnya ketika bertanya maka nampaklah kekurangannya di suatu perkumpulan.”

Janganlah bertanya tidak pada tempatnya kecuali karena diperlukan atau ia tahu bahwa sang guru tidak keberatan. Dan jika guru diam dan tidak menjawab maka janganlah memaksa untuk menjawab. Dan jika guru salah dalam menjawab maka janganlah menyanggahnya di saat itu.

Sebagaimana tidak boleh malu bertanya demikian pula malu mengatakan : “Aku tidak faham.” Ketika guru bertanya kepadanya, karena hal itu (malu bertanya dan berkata tidak faham) membuatnya terlewatkan dari kebaikan, cepat atau lambat.

Adapun kebaikan yang akan segera diperoleh adalah ia dapat menghafal suatu permasalahan dan mengetahuinya, serta sang guru akan menilainya sebagai orang yang jujur, wara’, dan semangat.

Sedangkan kebaikan yang suatu saat ia peroleh adalah ia terselamatkan dari sifat dusta, munafik, dan membiasakan untuk berbenah diri.

Al-Khalil mengatakan : “Kedudukan kebodohan itu antara rasa malu dan sombong.”

Dan diantara adab seorang guru adalah hendaknya ia tidak menanyakan pada orang yang pemalu : “Apakah kamu sudah faham?” akan tetapi menanyakan pertanyaan untuk mengetahui sejauuh mana kepahamannya.

Jika sang guru bertanya padanya maka janganlah mengatakan : “Iya” hingga ia benar-benar memahaminya agar ia tidak kehilangan pemahaman dan tidak terkena dosa dusta.

5. Tidak Mendahului Antrian Orang Lain

Hendaknya memperhatikan antrian dan tidak menyerobot antrian orang lain. Diriwayatkan ada lelaki Anshar datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau, dan datanglah lelaki lain dari Tsaqif, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata :

يَا أَخَا ثَقِيفَ إِنَّ الْأَنْصَارِيَّ قَدْ سَبَقَكَ بِالْمَسْأَلَةِ

Wahai orang tsaqif, sesungguhnya lelaki Anshar ini datang lebih dahulu untuk bertanya


(HR. Baihaqi dalam Kitab Dala-il An-Nubuwwah : 6/293)

Al-Khatib berkata : “Dianjurkan bagi orang yang terlebih dahulu datang untuk mendahulukan orang asing karena kehormatannya kuat dan haknya wajib.”

Demikian pula jika ada orang yang datang sesudahnya memiliki hajat yang mendesak sementara orang yang datang awal mengetahui akan hal itu atau sang guru memberi isyarat untuk mendahulukannya maka dianjurkan untuk mendahulukan orang tersebut.

Maka jika tidak ada satupun alasan dari yang disebutkan maka makruh mendahulukan orang lain dalam antrian. Karena membacakan ilmu dan bersegera dalam melakukannya adalah perkara ibadah. Dan mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh.

Mendapatkan antrian awal adalah dengan datang lebih awal di majelis guru. Dan hak antriannya tidaklah gugur bila ia meninggalkan antriannya untuk suatu keperluan mendesak seperti buang hajat atau memperbaharui wudhu jika dia kembali setelah menyelesaikan hajatnya.

Apabila ada dua orang datang secara bersamaan atau mereka berdua bertikai, maka guru mengundinya atau memilih salah satu diantara keduanya untuk didahulukan apabila memang sang guru adalah pengajar sukarela. Namun bila ia adalah pengajar tetap yang harus mengajar keduanya maka hendaknya ia mengundinya. Namun, apabila sudah ditetapkan peraturan oleh penanggung jawab sekolah untuk mengajar murid-muridnya pada waktu tertentu maka janganlah ia mendahulukan orang lain di waktu itu tanpa izin mereka.

6. Adab Membaca Pelajaran Kepada Guru

Hendaknya ia duduk dihadapan guru sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, membawa kitab atau buku yang hendak ia baca dihadapan gurunya, dan pada saat membaca tidak meletakkannya di atas lantai dalam keadaan terbuka, akan tetapi hendaknya ia membawanya dengan kedua tangannya dan membacakannya dihadapan guru. Janganlah ia membacanya sebelum guru mengizinkannya. Al-Khatib menyebutkan tentang para salaf ia mengatakan : “Seorang murid tidak boleh membaca hingga guru mengizinkannya.”

Janganlah membacakan ilmu ketika guru sedang sibuk, bosan, sedih, marah, haus, mengantuk, gelisah, ataupun lelah. Apabila ia melihat guru memilih untuk berhenti maka berhentilah, tidak perlu menunggu sampai ia mengatakan : “Berhentilah.”

Jika ia tidak mengetahui hal itu, lalu sang guru memintanya untuk berhenti maka berhentilah pada bagian yang diperintahkan oleh guru untuk berhenti dan tidak meminta tambahan. Jika guru telah menentukan kadarnya maka janganlah melampauinya. Seorang murid tidak boleh mengatakan pada rekannya “berhentilah” kecuali dengan isyarat dari gurunya atau ia tau bahwa sang guru menginginkan hal itu.

7. Lanjutan Adab Membaca Pelajaran Kepada Guru

Ketika giliran membaca telah tiba, maka mintalah izin kepada guru sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ketika guru telah mengizinkan maka bacalah ta’awwudz dan basmalah, lalu hamdalah, dan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasllam, kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Kemudian doakanlah sang guru, serta kedua orangtuanya, para gurunya, dirinya, dan seluruh kaum muslimin.

Demikian itulah yang harus dilakukan ketika memulai membaca pelajaran, mengulanginya, menelaahnya, atau membandingkannya di depan guru atau dibelakangnya. Hanya saja ia khususkan sang guru dengan menyebut namanya dalam doa pada saat membacanya dan mendoakan semoga Allah merahmati penulis kitab pada saat membacanya.

Dan doa seorang murid ketika mendoakan gurunya : “Semoga Allah meridhoi engkau.” Atau “Semoga Allah meridhoi guru kami.” Atau “Semoga Allah meridhoi imam kami.” Maksudnya adalah guru kamu. Dan ketika telah selesai pelajaran maka ia juga mendoakan gurunya.

Sang guru juga hendaknya mendoakan muridnya sebagaimana murid mendoakannya. Jika murid tidak membuka bacaannya dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya (yaitu ta’awwudz, basmalah, hamdalah, shalawat, dan doa) karena tidak tahu atau lupa maka sang guru hendaknya mengingatkannya, mengajarkannya, dan memintanya untuk menyebutkannya. Karena hal itu merupakan adab yang paling penting. Di dalam hadits telah dijelaskan bahwa dalam memulai suatu perkara yang penting maka hendaknya ia mulai dengan hamdalah, dan ini adalah salah satu diantara perkara yang penting itu.

8. Adab Kepada Teman-teman

Seorang penuntut ilmu hendaknya memotivasi teman-temannya di dalam menuntut ilmu. Hendaknya ia tunjukkan jalan-jalannya, dan memalingkan mereka dari hal-hal yang menyibukkan mereka dari menuntut ilmu, meringankan beban mereka, saling belajar atau mengkaji bersama mereka pada apa yang ia peroleh berupa faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan permasalahan-permasalahan yang asing, serta menasehati mereka dalam masalah agama. Dengan begitu maka hatinya menjadi bersinar dan ilmunya berkembang. Dan barang siapa yang kikir kepada mereka maka ilmunya tidak akan tumbuh, kalaupun tumbuh maka tidak berbuah, dan para salafpun telah membuktikan hal itu.

Dan janganlah seorang penuntut ilmu berbangga diri kepada mereka, atau ujub dengan kecerdasannya, bahkan hendaknya ia memuji Allah ta’ala atas hal itu, dan meminta tambahan kepada-Nya dengan melanggengkan syukur.

Penerjemah : Adam Rizkala

Sumber Kitab :تذكرة السامع والمتكلم في أدب العالم والمتعلم

KLIK : Download PDF Kitab Asli

Related Posts :

Penjelasan Hadits Tentang Rukun Islam Beserta Artinya - Hadits Arbain ke 3

Hadits Tentang Rukun Islam dan Artinya

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan banyak kenikmatan kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari hadits arbain yang ketiga yaitu hadits yang membahas tentang rukun Islam beserta artinya.

A. Hadits Tentang Rukun Islam

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البِيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

B. Terjemahan Hadits

Dari Abdurrahman bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Islam dibangun atas lima perkara : Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa di bulan ramadhan.”


[HR. Bukhari Muslim]

C. Penjelasan Hadits Tentang Rukun Islam

1. Islam Dibangun Atas 5 Perkara

Tanpa tiang, bangunan tidak akan berdiri dengan tegak. Begitu pula Islam. Ia dibangun di atas 5 perkara yang merupakan asas yang sangat mendasar dalam Islam. Adapun kelima perkara tersebut adalah :

  1. Pertama, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
  2. Kedua, mendirikan shalat
  3. Ketiga, menunaikkan zakat
  4. Keempat, haji
  5. Kelima, berpuasa di bulan Ramadhan

Pada dasarnya Islam itu mencakup semua yang ada di dalam syariat Islam. Mengerjakan amal shaleh seperti membaca Al-Quran, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya juga bagian dari islam. Meninggalkan maksiat seperti menyakiti kedua orang tua, berkata buruk, juga bagian dari Islam.

Hanya saja ke 5 perkara tersebut adalah rukunnya. Artinya apabila seseorang kehilangan salah satu dari ke 5 perkara tersebut maka ia tidak dikatakan sebagai muslim yang sesungguhnya. Adapun amalan-amalan lain selain 5 perkara di atas, apabila tidak dikerjakan maka ia tetap dianggap sebagai muslim. Hanya saja keislamannya kurang atau tidak sempurna sesuai kadar yang ia tinggalkan.

2. Rukun Pertama : Dua Kalimat Syahadat

Rukun Islam yang pertama adalah dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Kedua kalimat syahadat ini merupakan pondasi dari rukun-rukun Islam selainnya. Karena semua rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan ibadah-ibadah lainnya tidak akan bermanfaat jika tidak dibangun di atas dua kalimat syahadat.

Kedua kalimat syahadat ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Apabila seseorang bersayhadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah maka konsekuensinya ia harus bersyahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Karena apabila salah satu dari kedua syahadat ini ditinggalkan maka syahadatnya tidaklah sah.

3. Makna Dua Kalimat Syahadat

Kalimat Pertama : Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah

Maknanya : mengimani dan meyakini disertai ungkapan lisan bahwasanya tidak ada yang berhak di sembah kecuali Allah subhanahu wata’ala, dan segala ibadah yang ditujukan kepada selainnya adalah batil dan menyekutukan Allah azza wajalla meskipun ia dinamakan Tuhan, akan tetapi ia adalah Tuhan yang batil, karena Tuhan yang haq adalah Allah jalla wa ‘ala.

Kalimat Kedua : Bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah

Maknanya : mengimani dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah yang diutus kepada jin dan manusia seluruhnya.

Baca lebih lengkap pada link berikut ini : https://www.nasehatquran.com/2020/10/arti-dua-kalimat-syahadat.html

4. Rukun Kedua : Mendirikan Shalat

Rukun selanjutnya adalah mendirikan shalat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa shalat adalah tiangnya agama. Beliau juga mengabarkan bahwa shalat adalah ibadah yang terakhir hilang dari agama ini. Dan shalat juga merupakan amalan pertama yang akan dihisab di hari kiamat.

Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah mengerjakan shalat dengan memenuhi rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, beserta syarat-syaratnya, serta ikhlas karena Allah azza wajalla. Adapun apabila seseorang mengerjakan shalat asal-asalan, rukuk dan sujudnya tidak sempurna, tidak tuma’ninah, melaksanakannya diluar waktu tanpa uzur, dan lain sebagainya, maka ia belum dikatakan mendirikan shalatnya.

5. Rukun Ketiga : Menunaikkan Zakat

Zakat merupakan pengiring shalat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran yang ketika disebutkan perkara shalat maka diiringi pula dengan perkara zakat. Maka apabila seseorang melaksanakan shalat namun tidak menunaikkan zakat maka ia telah meninggalkan salah satu rukun Islam. Apabila ia mengingkari wajibnya zakat maka hukumnya kafir.

Zakat merupakan hak bagi orang-orang miskin yang diambil dari hartanya orang-orang kaya. Apabila seseorang tidak mau mengeluarkan zakatnya maka pemerintah harus mengambil zakat orang tersebut secara paksa.

6. Rukun Keempat : Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan merupakan ibadah badaniyyah, atau ibadah yang dilakukan dengan badan. Ibadah ini merupakan ibadah yang rahasia antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Ketika seseorang berpuasa maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah subahanahu wata’ala. Karena ketika ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka orang lain tentu akan mengira bahwa ia sedang berpuasa. Sebaliknya, ketika ada yang berpuasa sunnah, maka orang lain akan mengira bahwa ia tidak berpuasa. Oleh karena itulah pahala puasa Allah sendiri yang akan membalasnya dikarenakan ia adalah ibadah yang tersembunyi.

Barang siapa yang mampu melaksanakan puasa maka ia wajib melaksanakannya. Apabila seseorang mempunyai udzur syar’i yang bisa lepas dari dirinya, seperti sakit dan safar maka ia boleh membatalkan puasanya dan membayarnya di hari yang lain. Namun, apabila udzur syar’i tersebut tidak bisa lepas dari dirinya maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, setiap satu hari yang satu orang miskin.

7. Rukun Kelima : Haji di Baitullah

Haji secara bahasa berarti menyengaja. Haji secara syariat adalah menyegaja ke Baitul Haram untuk melaksanakan ibadah; diantaranya ada thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, dan melempar jumrah. Haji hukumnya wajib dilaksanakan sekali seumur hidup.

Haji dilaksanakan bagi yang memiliki kemampuan harta, badan, dan juga perjalanan. Artinya ia memiliki harta yang mencukupi, badan yang mampu sehingga bisa melakukan haji mulai dari ia berangkat hingga pulang. Selain itu ia juga harus memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di rumah mulai ia berangkat haji hingga ia kembali pulang kerumahnya.

Apabila seseorang mampu melaksanakn haji sendiri maka hendaklah ia melaksanakan haji sendiri. Apabila seseorang meninggal dunia dan belum melaksanakan haji padahal ia sudah memiliki kemampuan maka pewarisnya wajib menghajikan untuknya.

Adapun bagi orang yang tidak mampu karena belum memiliki harta yang cukup maka ia tidak wajib melaksanakan haji. Sementara bagi orang yang sudah mampu secara harta namun secara badan belum mampu dan masih ada harapan badannya pulih kembali maka ia menunggu hingga badannya mampu untuk melaksanakan haji. Sedangkan bagi yang badannya tidak mampu dan tidak ada harapan badannya pulih kembali seperti tua, terkena penyakit kronis dan sebagainya maka hajinya bisa diwakilkan oleh orang lain.

Related Posts :

Gambaran Penghuni Surga Menurut QS. Yasin Ayat 55-58

Gambaran Penghuni Surga Menurut QS. Yasin Ayat 55-58

Akhir dari sebuah kehidupan bukanlah kematian. Karena kematian hanyalah jembatan menuju kehidupan setelahnya. Sebagai insan yang beriman tentu kita mengimani adanya hari akhir, yaitu hari setelah kematian. Di hari itu semua manusia akan diadili seadil-adilnya tanpa kezaliman sedikitpun.

Setelah manusia selesai menjalani pengadilan akhirat maka Allah akan masukkan sebagian mereka ke dalam neraka dan sebagian yang lainnya ke dalam surga. Allah ta'ala berfirman :

فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ

Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.


[QS. Asy-Syura ayat 7]

Surga dan neraka adalah ujung dari segalanya. Barang siapa yang beriman dan beramal shalih maka akan di masukkan ke dalam surga. Sebaliknya, barang siapa yang kufur dan durhaka kepada Allah maka akan dilemparkan ke dalam neraka.

Pada artikel kali ini, kita akan membahas kabar gembira bagi mereka yang beriman dan beramal shalih, yaitu surga.

Surga Untuk Siapakah?

Surga adalah sebuah tempat di akhirat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Di dalamnya banyak sekali kenikmatan yang dapat dinikmati oleh setiap penghuninya. Allah ta'ala berfirman :

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan


[QS. Ath-Thuur ayat 17]

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.


[QS. Al-Qalam ayat 34]

Semua penghuni surga akan menikmati surga untuk selama-lamanya. Mereka akan senantiasa dalam kenikmatan, kebahagiaan, dan kesenangan yang tidak ada ujungnya tanpa rasa bosan dan lelah. Berbicara tentang surga, banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan tentang gambaran penghuni surga; seperti surat Ar-Rahman, Al-Waqiah, Ath-Thur, dan surat-surat lainnya.

Nah, pada artikel ini, kita akan mengulas bersama gambaran penghuni surga menurut surat Yasin ayat 55-58. Berikut ini beberapa gambarannya :

1. Kesibukan Penghuni Surga

Di dalam Al-Quran surat Yasin ayat 55, Allah ta'ala berfirman :

إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ

Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).


[QS. Yasin ayat 55]

Ayat di atas menunjukkan bahwa penghuni surga memiliki suatu kesibukan. Namun, tidak seperti kesibukan di dunia yang terkadang menjengkelkan. Akan tetapi mereka justru bersenang-senang dalam kesibukan mereka. Kira-kira, kesibukan apakah itu?

Imam Ibnu Katsir menerangkan dalam kitab tafsirnya bahwa kesibukan penghuni surga adalah berhubungan badan dengan istri-istri mereka. Beliau menukil perkataan para ahli tafsir yang mengatakan bahwa :

شَغَلَهُمُ افْتِضَاضُ الْأَبْكَارِ

Kesibukan mereka adalah memecah keperawanan para gadis (yang menjadi istri-istri mereka).


[Tafsir Ibnu Katsir Surat Yasin ayat 55]

Meskipun para penghuni surga sibuk akan hal itu, akan tetapi mereka tidak akan merasakan kelelahan dalam menjalaninya. Sangat berbeda dengan penghuni dunia yang semua ada batasnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman :

لَا يَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِينَ

Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka tidak akan dikeluarkan darinya.


[QS. Al-Hijr ayat 48]

2. Naungan dan Tempat Tidur Penghuni Surga

Bagi orang yang bertakwa, dunia bukanlah tempat tidur yang sesungguhnya. Karena dunia adalah tempat untuk menjauhkan diri dari tempat tidur dalam rangka beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala. Salah satu ciri calon penghuni surga adalah tidak terlalu banyak tidur di dunia. Mereka menyisihkan waktu tidur mereka untuk beribadah kepada Allah karena hanya menginginkan tempat tidur yang sesungguhnya di akhirat kelak.

Allah ta'ala berfirman :

كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.


[QS. Adz-Dzariyat ayat 17]

Bagi orang yang bertakwa, surga adalah tempat bersantai yang sesungguhnya. Ketika mereka sudah di masukkan ke dalam surga, mereka akan bersantai di bawah naungan pepohonan surga yang teduh serta beralaskan ranjang yang dihiasi dengan kelambu yang indah bersama isteri-isteri mereka. Dalam Al-Quran surat Yasin ayat 56 Allah subhanahu wata'ala berfirman :

هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ

Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.


[QS. Yasin ayat 56]

Menurut Imam Ibnu Katsir, tempat yang teduh dalam ayat tersebut adalah pepohonan surga. Sedangkan dipan-dipan yang dimaksud adalah ranjang-ranjang yang berkelambu. Perumpamaannya di dunia seperti pelaminan-pelaminan yang dihiasi dengan beraneka ragam kelambu. Wallahu a'lam.

3. Buah-buahan dan Permintaan Penghuni Surga

Dalam Al-Quran surat Yasin ayat 57 Allah ta'ala berfirman :

لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَ

Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.

[QS. Yasin ayat 57]

Dalam ayat tersebut jelas bagaimana gambaran penghuni surga. Mereka akan diberikan rezeki berupa buah-buahan oleh Allah. Buah-buahan yang mereka makan adalah buah-buahan yang serupa dengan buah-buahan yang ada di dunia. Hanya saja rasanya jauh lebih lezat dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di dunia. Allah ta'ala berfirman :

وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا

Mereka diberi buah-buahan yang serupa


[QS. Al-Baqarah ayat 25]

Selain itu mereka juga mendapatkan apapun yang mereka minta. Ketika mereka meminta sesuatu maka Allah akan mengabulkan sesuai dengan permintaan mereka. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab sunannya disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

أَلَا مُشَمِّرٌ لِلْجَنَّةِ؟ فَإِنَّ الْجَنَّةَ لَا خَطَرَ لَهَا، هِيَ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ نُورٌ يَتَلَأْلَأُ، وَرَيْحَانَةٌ تَهْتَزُّ، وَقَصْرٌ مَشِيدٌ، وَنَهَرٌ مُطَّرِدٌ، وَفَاكِهَةٌ كَثِيرَةٌ نَضِيجَةٌ، وَزَوْجَةٌ حَسْنَاءُ جَمِيلَةٌ، وَحُلَلٌ كَثِيرَةٌ فِي مَقَامٍ أَبَدًا، فِي حَبْرَةٍ وَنَضْرَةٍ، فِي دَارٍ عَالِيَةٍ سَلِيمَةٍ بَهِيَّةٍ

Adakah orang yang berjalan menuju surga? Sesungguhnya surga itu keindahannya tidak dapat terbayangkan. Demi Tuhannya ka'bah', surga itu semuanya adalah cahaya yang berkilau, wewangian yang semerbak aromanya, gedung-gedung yang kokoh, sungai-sungai yang mengalir, buah-buahan yang banyak lagi matang, istri-istri yang cantik jelita, perhiasan yang banyak di tempat yang abadi penuh kebahagiaan dan kesenangan, berada di tempat yang tinggi penuh keselamatan lagi elok.


[HR. Ibnu Majah]

4. Salam dari Allah Bagi Penghuni Surga

Selain kesibukan yang mereka jalani, ranjang-ranjang yang mereka nikmati bersama istri-istri mereka, serta buah-buahan yang mereka makan, para penghuni surga juga diberikan salam sebagai ucapan selamat dari Allah subhanahu wata'ala. Diterangkan gambaran penghuni surga dalam surat Yasin ayat 58 Allah ta'ala berfirman :

سَلامٌ قَوْلا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ

(Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.


[QS. Yasin ayat 58]

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menafsirkan ayat ini bahwa sesungguhnya Allah sendirilah yang akan memberi ucapan salam kepada penghuni surga. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

بَيْنَا أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي نَعِيمِهِمْ، إِذْ سَطَعَ لَهُمْ نُورٌ، فَرَفَعُوا رُءُوسَهُمْ، فَإِذَا الرَّبُّ قَدْ أَشْرَفَ عَلَيْهِمْ مِنْ فَوْقِهِمْ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ قَالَ: وَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ: {سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ} [يس: 58] ، قَالَ فَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ، فَلَا يَلْتَفِتُونَ إِلَى شَيْءٍ مِنَ النَّعِيمِ، مَا دَامُوا يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ، حَتَّى يَحْتَجِبَ عَنْهُمْ، وَيَبْقَى نُورُهُ وَبَرَكَتُهُ عَلَيْهِمْ فِي دِيَارِهِمْ

Ketika penghuni surga sedang menikmati kenikmatan, tiba-tiba muncullah cahaya yang menyinari mereka, lalu merekapun mengangkat kepala mereka. Ternyata itu adalah Tuhan yang Maha Mulia yang berada di atas mereka. Lalu Ia berfirman : “Assalamu 'alaikum wahai penghuni surga.” Yang demikian itulah yang dimaksud dalam QS. Yasin ayat 58. Maka Tuhanpun memandang mereka dan mereka memandang kepada Tuhannya. Dan mereka tidak mengalihkan pandangan mereka pada sesuatu ketika mereka memandang kepada-Nya karena kenikmatannya yang tiada tara. Hingga Tuhanpun menutup diri dari mereka dengan hijab-Nya dan yang tertinggal adalah cahaya dan keberkahan-Nya yang melimpah kepada mereka di rumah-rumah mereka.


[HR. Ibnu Majah dinilai dhoif oleh Syaikh Al-Albany]

Akhir Kata

Demikianlah Gambaran Penghuni Surga Menurut Al-Quran Surat Yasin ayat 55-58. Marilah kita berlomba-lomba menuju ampunan dari Allah dan juga surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah azza wa jalla berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,


[QS. Ali Imron ayat 133]

سَابِقُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.


[QS. Al-Hadid ayat 21]

Related Posts :

Hukum Mim Mati Beserta Contohnya dalam Al-Quran

Hukum Mim Mati dan Contohnya dalam Al Quran

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang telah Ia berikan kepada kita semua. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya hingga hari kiamat.

Pada artikel sebelumnya, telah kita bahas bersama tentang hukum nun mati atau tanwin beserta contohnya dalam Al-Quran. Pada kesempatan kali ini akan kita bahas hukum mim mati beserta contohnya lengkap dalam Al-Quran.

Dalam ilmu tajwid, hukum mim sukun atau mim mati dibagi menjadi tiga, yaitu :

  1. Ikhfa' Syafawi
  2. Idgham Mimi atau Idgham Mutamatsilain
  3. Idzhar Syafawi

Berikut penjelasan dari ketiga hukum mim mati tersebut :

1. Ikhfa' Syafawi (الإخفاء الشفوي)

Pengertian Ikhfa' Syafawi secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu ikhfa' yang berarti “samar” dan syafawi yang berarti “bibir”. Maka dapat kita ambil pengertian bahwa ikhfa' syafawi berarti bunyi samar yang terjadi di kedua bibir. Adapun huruf ikhfa' syafawi itu hanya satu, yaitu : ب

Kaidahnya adalah apabila huruf mim mati (مْ) bertemu dengan huruf ba' (ب) maka huruf mim mati (مْ) tersebut dibaca dengan samar dan mendengung sepanjang dua harakat.

Contoh Ikhfa' Syafawi dalam Al-Quran :

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ

2. Idgham Mutamatsilain (إدغام المتمثلين)

Pengertian Idgham Mutamatsilain secara bahasa berarti memasukkan dua huruf yang sama makhraj dan sifatnya. Dalam hukum mim mati, Idgham Mutamatsilain dikenal dengan istilah Idgham Mimi. Huruf dalam Idgham Mimi hanya satu, yaitu : م

Kaidahnya adalah apabila ada huruf mim mati (مْ) bertemu dengan mim yang berharakat (مَ، مِ، مُ), maka huruf mim mati (مْ) tersebut dibaca mendengung sepanjang dua harakat.

Contoh Idgham Mimi atau Idgham Mutamatsilain dalam Al-Quran :

إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ

3. Idzhar Syafawi (الإظهار الشفوي)

Pengertian Idzhar Syafawi secara bahasa berarti jelas di bibir. Sedangkan secara istilah artinya membunyikan dengan jelas diantara dua bibir tanpa disertai dengung. Huruf Idzhar Syafawi ada 26, yaitu semua huruf hijaiyyah selain mim (م) dan ba' (ب) :

Huruf-huruf Idzhar Syafawi
خ ح ج ث ت أ
ش س ز ر ذ د
غ ع ظ ط ض ص
و ن ل ك ق ف
ي هـ

Kaidahnya adalah apabila ada huruf mim mati (مْ) bertemu dengan salah satu dari ke 26 huruf di atas maka huruf mim mati (مْ) dibaca dengan jelas dan terang sesuai dengan makhraj dan sifatnya selama 1 ketukan, kemudian dilanjut dengan membaca huruf berikutnya. Contoh Idzhar Syafawi lengkap dalam Al-Quran :

Contoh Huruf
اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا مْ + أ
لَكُمْ تَذْكِرَةً مْ + ت
أَمْثَالَكُمْ مْ + ث
عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ مْ + ج
أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مْ + ح
أَكُفَّارُكُمْ خَيْرٌ مْ + خ
وَأَمْدَدْنَاهُم مْ + د
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ مْ + ذ
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ مْ + ر
مِّنْهُمْ زَهْرَةَ مْ + ز
إِنَّهُمْ سَاءَ مْ + س
إِلَيْهِمْ شَيْئًا مْ + ش
إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ مْ + ص
عَلَيْهِمْ ضَرْبًا مْ + ض
عَلَيْهِمْ طَيْرًا مْ + ط
عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا مْ + ظ
وَمَا هُمْ عَنْهَا مْ + ع
عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ مْ + غ
ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ مْ + ف
إِنَّكُمْ قَوْمٌ مْ + ق
عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ مْ + ك
أَمْ لَكُم مْ + ل
عَلَيْهِمْ نَارٌ مْ + ن
عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مْ + و
أَمْهِلْهُمْ مْ + هـ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ مْ + ي

Demikianlah artikel pembahasan hukum mim mati beserta contohnya di dalam Al-Quran. Artikel ini hanyalah sebagai refrensi untuk mempelajari tajwid secara teori. Adapun belajar tajwid yang terbaik adalah dengan talaqqi kepada seorang guru yang menguasai ilmu tajwid baik teori maupun praktik.

Baca Juga : Hukum Nun Mati dan Tanwin Beserta Contohnya dalam Al-Quran

Related Posts :

6 Ciri Penghafal Al Quran Yang Masuk Neraka

Penghafal Al Quran yang Masuk Neraka

Kita semua tahu bahwa penghafal Al-Quran adalah orang yang dimuliakan oleh Allah. Allah menjanjikan banyak pahala bagi mereka yang menghafalkan Al-Quran. Namun, benarkah semua penghafal Al-Quran pasti masuk surga? Jawabannya tentu saja tidak! Ternyata penghafal Al-Quran yang masuk neraka pun juga ada. Mengherankan bukan? Tetapi tahukan Anda? Bahwa hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang shahih :

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

Al-Quran bisa menjadi pembela atau musuh bagimu.


(HR. Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Al-Quran bisa menjadi pembela yang akan menyelamatkan kita di akhirat atau musuh yang akan mencelakai kita di akhirat. Lantas, siapakah mereka yang menjadi musuhnya Al-Quran? Dan seperti apakah ciri-ciri mereka? Berikut ini 6 Ciri Penghafal Al-Quran yang Masuk Neraka yang disebutkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadits :

1. Tidak Ikhlas

Sebuah amalan tidak akan diterima oleh Allah kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan wajahnya Allah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali ikhlas karena-Nya dan mengharapkan wajah-Nya.”


(HR. Nasa'i)

Ikhlas adalah mentauhidkan Allah dalam beribadah dan membersihkannya dari segala kesyirikan. Semua ibadah yang kita lakukan harus kita niatkan karena mengharap wajah Allah semata dan tidak mencari perhatian ataupun harapan kepada selain Allah.

Menghafalkan Al-Quran adalah ibadah yang sangat mulia. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi siapa yang mau menghafalkannya. Namun, apabila niat kita dalam menghafalkan Al-Quran adalah karena ingin mendapatkan gelar ataupun semacamnya maka bersiaplah dimasukkan ke dalam neraka yang pertama kali. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ . . . وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

Manusia yang paling awal diadili di hari kiamat adalah . . . seorang lelaki yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu serta membaca Al Quran. Lalu ia didatangkan dan ditunjukkan nikmat itu kepadanya, maka iapun mengakui nikmat itu. Lalu Allahpun bertanya : “Apa yang engkau perbuat terhadap nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab : “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman : “Engkau berdusta! Engkau mempelajari ilmu agar dijuluki sebagai orang yang berilmu dan engkau membaca Al Quran agar dijuluki sebagai orang yang ahli baca Al Quran, dan engkau telah mendapatkan julukan itu!” Maka malaikat diperintahkan untuk menyeret wajahnya hingga ia pun dilemparkan ke dalam neraka.


(HR. Muslim)

2. Tidak Mengajarkan Al-Quran

Apabila kita diberikan ilmu Al-Quran oleh Allah maka kita wajib menyampaikan dan mengajarkannya kepada orang lain. Jangan sampai kita menjadi Penghafal Al-Quran yang Masuk Neraka gara-gara menyembunyikan ilmunya dan tidak mau mengajarkan Al-Quran kepada orang lain.

Allah ta'ala melaknat bagi siapa saja yang menyembunyikan ilmu yang dimilikinya :

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat,


(QS. Al-Baqarah ayat 159)

Di dalam hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga bersabda :

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu lantas ia menyembunyikannya, maka ia akan dipasangkan kendali dari neraka pada hari kiamat.


(HR. Abu Dawud)

3. Berpaling dan Melupakan Al-Quran

Penghafal Al-Quran yang berpaling dan melupakan Al-Quran adalah salah satu ciri diantara Penghafal Al-Quran yang Masuk Neraka. Diantara bentuk berpaling dari Al-Quran adalah :

  • Tidak mengambil peringatan dari Al-Quran
  • Tidak memahami dan mempelajari tafsirnya
  • Melupakan hafalannya dengan sengaja
  • Tidak memuroja'ah ayat yang pernah dihafalnya
  • Berpaling dari membacanya
  • Dan tidak mengamalkannya

Maka, janganlah kita menjadi golongan yang berpaling dari Al-Quran sebagaimana yang disebutkan oleh Allah subhanahu wata'ala :

مَّنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا

Barangsiapa berpaling dari pada Al Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat,


(QS. Thaha ayat 100)

Oleh karena itu, tidak ada istilah "mantan penghafal Al-Quran" di kamus penghafal Al-Quran. Barang siapa yang menghafal Al-Quran maka ia wajib menjadi penghafal Al-Quran selamanya. Dan konsekuensi menjadi penghafal Al-Quran adalah menjaga hafalannya, memahami isinya, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Menginginkan Dunia dari Al-Quran

Apabila kita ikhlas menghafalkan Al-Quran maka mintalah surga kepada Allah. Janganlah kita menjadi golongan penghafal Al-Quran yang masuk neraka gara-gara menginginkan dunia dari Al-Quran. Karena menghafal Al-Quran adalah ibadah. Oleh karena itu hafalkanlah karena Allah agar kita mendapatkan ridho dari-Nya.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasllam bersabda :

تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَسَلُوا بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ بِهِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْقُرْآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلَاثَةٌ: رَجُلٌ يُبَاهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Pelajarilah Al-Quran dan mintalah surga dengan Al-Quran itu sebelum dipelajari oleh kaum yang menginginkan dunia dengan Al-Quran. Sebab Al-Quran itu dipelajari oleh tiga golongan, yaitu: Orang yang belajar Al-Quran untuk berbangga diri, orang yang belajar Al-Quran untuk mencari makan, dan orang yang belajar Al-Quran karena Allah azza wa jalla.


(HR. Baihaqi disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasllam juga bersabda :

مَنْ قَرَأَ القُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللَّهَ بِهِ، فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ القُرْآنَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ

Barang siapa yang membaca Al-Quran maka memintalah kepada Allah, karena akan datang suatu kaum yang membaca Al-Quran namun dengan Al-Quran itu mereka meminta-minta pada manusia.


(HR. Tirmidzi)

5. Penghafal Al-Quran yang Munafik

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan kehancuran umatnya karena akan ada orang munafik yang belajar Al-Quran lalu ia menyimpangkan makna Al-Quran dari makna yang sebenarnya untuk menyesatkan orang lain dan mendebat orang-orang mukmin.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

يَتَعَلَّمُهُ الْمُنَافِقُونَ ثُمَّ يُجَادِلُونَ بِهِ الَّذِينَ آمَنُوا

Orang-orang munafik mempelajari Al-Quran lalu digunakan untuk mendebat orang-orang mukmin.


(HR. Ahmad)

يَتَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ فَيَتَأَوَّلُونَهُ عَلَى غَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ

Mereka mempelajari Al-Quran dan menafsirkannya tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan.


(HR. Ahmad)

Oleh karena itu, hafalkanlah Al-Quran dengan hati yang bersih dari sifat-sifat kemunafikan. Sampaikanlah ilmu Al-Quran yang kita miliki untuk menunjukkan manusia ke jalan kebenaran meskipun kebanyakan mereka membencinya. Allah ta'ala berfirman :

لَقَدْ جِئْنَاكُم بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

Sesungguhnya Kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.


(QS. Az-Zukhrif ayat 78)

6. Penghafal Al-Quran dari Golongan Khawarij

Khawarij adalah golongan sesat yang muncul pertama kali. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan dosa besar. Betapa hinanya mereka hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sebut mereka sebagai anjing-anjingnya neraka :

الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ

Khawarij adalah anjing-angjingnya neraka


(HR. Ibnu Majah)

Dan diantara ciri golongan khawarij disebutkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasllam dalam sebuah hadits, beliau bersabda :

يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ، يَقْرَءُونَ القُرْآنَ، لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ البَرِيَّةِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya dan rendah akalnya. Mereka membaca Al-Quran, tetapi Al-Quran itu tidak sampai di tenggorokannya. Mereka berkata-kata dengan sebaik-baiknya perkataan. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang terlepas dari busurnya.


(HR. Tirmidzi)

Para ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut merupakan ciri-ciri orang khawarij. Dari hadits tersebut bisa kita ketahui diantara ciri mereka adalah :

  1. Pertama, umur mereka masih muda. Pada umur inilah banyak pemuda yang semangat dengan agamanya. Namun, mereka sungguh ceroboh karena kesemangatannya tidak dikontrol oleh ilmu dan dibawah bimbingan para ulama. Sehingga kecerobohan itu membuat mereka tersesat dan menyesatkan manusia.
  2. Kedua, akal mereka lemah. Mereka memiliki sedikit ilmu tetapi tergesa-gesa menyampaikan fatwa kepada manusia. Mereka juga cenderung mengikuti hawa nafsunya sehingga banyak yang disesatkan oleh mereka.
  3. Ketiga, mereka ahli membaca dan hafal Al-Quran. Namun, mereka tidak mengetahui isi serta makna yang terkandung dalam Al-Quran. Sehingga mereka tersesat karena Al-Quran yang dibaca tidak sampai ke dalam hati mereka.
  4. Keempat, mereka pandai berkhutbah dan berceramah menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Namun, mereka menyimpangkan makna Al-Quran dari makna yang sesungguhnya sehingga manusia disesatkan oleh mereka.
  5. Kelima, mereka keluar dari agama Islam sebagaimana anak panah yang terlepas dari busurnya. Yakni mereka adalah orang-orang munafik, ahli bid'ah, dan tidak ada Islam sama sekali di dalam hatinya.

Demikianlah keenam ciri Penghafal Al-Quran yang Masuk Neraka. Semoga kita dijauhkan dari keenam ciri tersebut oleh Allah.

Related Posts :