5 Adab Penuntut Ilmu Terhadap Pelajarannya
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 5/31/2020
![]() |
Di zaman ini, ilmu begitu
mudah diambil. Dengan adanya media sosial seperti facebook, youtube dan
sebagainya, siapapun dapat mengambil ilmu dari manapun dengan mudah.
Sayangnya, banyak orang
salah dalam mengambil ilmu. Mereka justru sibuk dengan ilmu-ilmu yang
seharusnya itu adalah ranahnya para ulama, seperti perselisihan para ulama,
firqoh-firqoh aqidah, dan semacamnya.
Ibarat matematika, ia belum
mempelalajari operasi hitung dasar tapi sudah mempelajari aljabar. Tentu dia
akan banyak terpeleset dalam kesalahan. Karena semua ilmu itu ada dasarnya.
Begitu pula dalam
mempelajari agama. Semua ada urutannya. Tidak boleh asal belajar karena akan
banyak kesalahan dalam memahami agama. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu
hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan ilmu yang perlu ia pelajari.
Berikut ini adab penuntut
ilmu terhadap pelajaran yang kami terjemahkan dari kitab Tadzkiratu-Saami’
wal-Mutakallim fii Adabil-‘Aalim wal-Mutakallim yang ditulis oleh Imam
Badruddin Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’iy :
1. Memulai dengan Pelajaran yang Terpenting
Seorang
penuntut ilmu hendaknya memulai pelajarannya dengan Al-Quran serta
menguatkan hafalannya. Hendaknya ia berusaha memahami
tafsirnya dan seluruh ilmu-ilmunya. Karena semua itu merupakan pondasinya berbagai ilmu,
induknya ilmu, dan ilmu yang paling penting.
Kemudian ia
hafalkan setiap jenis ringkasan ilmu baik berupa hadits beserta ilmu-ilmu
hadits, dan dua ilmu dasar yakni nahwu shorof.
Janganlah ia
menyibukkan diri dengan mengkaji ilmu-ilmu tersebut sehingga lupa mengkaji
Al-Quran, lupa menjaga hafalannya, dan lupa akan rutinitasnya dengan Al-Quran baik
setiap hari, atau bebera hari, atau setiap Jum’at
sebagaimana yang telah dijelaskan.
Berhati-hatilah
agar tidak melupakannya setelah dihafal. Karena ada hadits-hadits yang mengancam bagi siapa
yang melupakan hafalan Al-Qurannya.
Hendaknya
seorang penuntut ilmu juga menyibukkan diri mempelajari ringkasan-ringkasan
yang ia hafal kepada para guru. Dan sebagai permulaan, janganlah ia mengandalkan kitab-kitab penjelasan untuk mempelajari ringkasan tersebut.
Justru
hendaknya ia mempelajari setiap disiplin ilmu kepada guru yang paling baik mengajarnya, paling
mumpuni, paling mengetahui,
dan yang paling paham terhadap kitab yang ia baca.
Tentu semua itu
dilakukan setelah menimbang sifat-sifat guru yang telah dijelaskan sebelumnya,
baik itu agamanya, kesalihannya, ketulusannya, dan lain
sebagainya.
Namun apabila guru atau
syekh tersebut tidak menemukan murid untuk diajarkan selain dirinya maka
tidaklah mengapa. Jika tidak, jagalah hati guru tersebut jika mereka merupakan
orang yang diharapkan manfaatnya. Karena hal itu lebih bermanfaat baginya dan
lebih memfokuskan hatinya atasnya.
Hendaknya ia juga menghafal
dan menerima penjelasan sesuai kemampuannya, tidak perlu banyak-banyak hingga
menjadikannya bosan, dan tidak terlalu sedikit sehingga ia tidak mencapai hasil
yang maksimal.
2. Tidak Sibuk dengan Perselisian Para Ulama
Seorang pemula hendaknya
tidak sibuk dengan perselisihan diantara para ulama dan orang-orang baik dalam
masalah logika maupun syariat.
Karena hal itu dapat membingungkan pikiran dan mengacaukan akal.
Bahkan hendaknya ia
memperdalam satu kitab dalam satu bidang ilmu atau beberapa kitab dalam beberapa bidang ilmu jika hal itu dimungkinkan
untuk dijalani dan gurunya senang terhadapnya.
Apabila sang
guru menukil beberapa pendapat madzhab dan persilisihan antar para ulama dan
tidak mengambil satu pendapat maka imam Al-Ghazali mengatakan : “Berhati-hatilah
engkau terhadapnya, karena bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
Demikian pula
sebagai permulaan hendaknya tidak menelaah perselisihan yang ada dalam
kitab-kitab para ulama, karena hal itu dapat menyia-nyiakan waktu dan memecahbelah
pikirannya. Bahkan hendaknya ia mempelajari satu kitab yang ia
baca atau satu cabang ilmu yang ia ambil secara keseluruhan hingga ia menguasainya.
Jangan pula ia
berpindah dari satu kitab ke kitab lainnya tanpa alasan, karena hal itu merupakan
tanda ketidakkonsistenan dan kegagalan.
Adapun apabila
sudah mumpuni keahliannya dan sudah kuat pengetahuannya maka yang lebih baik
adalah janganlah ia membiarkan satu bidang ilmu diantara ilmu-ilmu syariat
yang ada kecuali ia mempelajarinya.
Karena
sesungguhnya apabila Allah takdirkan mendapatkan umur yang panjang maka hal itu
dapat dimanfaatkan untuk menyelami ilmu tersebut. Apabila tidak, maka sungguh ia telah mendapatkan faedah darinya
yang dengannya ia telah keluar dari belenggu kebodohan dengan ilmu tersebut.
Dan hendaknya
ia juga memperhatikan bagian yang paling penting dari setiap
bidang ilmu. Dan janganlah ia luput dari
amal yang mana ia merupakan tujuan dari ilmu itu sendiri.
3. Mengoreksikan Bacaan Sebelum Menghafal
Seorang
penuntut ilmu hendaknya mengoreksikan bacaannya sebelum ia menghafalkannya
dengan akurat.
Boleh kepada guru atau kepada orang lain yang mau
membantunya. Kemudian barulah ia
menghafalnya dengan hafalan yang tepat dan akurat. Lalu ulangilah hafalan itu dengan baik. Kemudian hendaknya ia
menjaganya di setiap waktu
sesuai
keadaannya.
Janganlah
seorang thalib menghafalkan suatu ilmu sebelum meminta orang untuk mengoreksi bacaannya. Karena hal itu akan
menjerumuskan dia pada penyelewengan dan penyimpangan. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
ilmu tidak diambil dari kitab-kitab, karena itu dapat menimbulkan kerusakan
yang membahayakan.
Seorang
penuntut ilmu hendaknya membawa tinta, pena, dan pisau
untuk membenarkan dan mengoreksi apa yang harus
dibenarkan baik itu bahasa maupun i’rabnya[1].
Apabila saat
mengoreksi bacaan pada guru namun kemudian sang guru menegurnya dengan sebuah
lafal sementara ia tau bahwa teguran guru tersebut keliru maka hendaknya ia mengulang lafal sebelumnya agar guru dapat memerhatikan
lafal tersebut, atau dengan mengucapkan lafal yang benar dalam
rangka bertanya. Bisa jadi sang guru yang lalai
atau lisannya yang keliru.
Dan janganlah
berkata : “Seharusnya kan begini?” bahkan hendaknya ia bersikap
sopan dalam memperingatkan gurunya. Apabila tidak
memperingatkan maka boleh bertanya : “Bolehkah membacanya
seperti ini?”. Apabila guru sudah benar maka tidak perlu diulas lagi. Apabila tidak maka ia boleh meninggalkan koreksi
gurunya di
majelis lain dengan bersikap
sopan. Karena mungkin saja yang
benar adalah gurunya.
Demikian pula ketika hendak
mengoreksi kesalahan guru atau guru dalam menjawab suatu permasalahan, yang
mana hal itu tidaklah sulit untuk dilakukan, seperti kertas permintaan fatwa
atau pertanyaan orang asing atau orang yang sangat jauh atau orang yang menyalahkan
dengan kasar, maka sang guru atau guru harus diingatkan saat itu juga dengan
isyarat atau penjelasan secara langsung.
Apabila hal itu
ditinggalkan maka ia telah mengkhianati gurunya, dan ia wajib menasihatinya
dengan mengingatkannya semampunya dengan cara yang sopan atau yang lainnya.
4. Mempelajari Hadits dan Ilmu Hadits Sejak Dini
Selanjutnya, seorang
penuntut ilmu hendaknya mempelajari dan mendengarkan hadits sejak dini,
menyibukkan diri dengan hadits dan ilmu-ilmu tentang hadits, mengkaji sanadnya,
para perawinya, maknanya, hukum-hukumnya, faedah-faedahnya, bahasanya, serta
sejarahnya.
Mulailah dengan dua kitab
hadits shahih yakni Bukhari dan Muslim, kemudian kitab-kitab lainnya dan
kitab-kitab dasar yang dijadikan pendoman dalam bidang ini, seperti : Muwatho’
Malik, Sunan Abu Dawud, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Jami’ At-Tirmidzi, dan Musnad
Asy-Syafi’iy, dan janganlah kurang dari itu.
Dan penunjang terbaik untuk
ahli fikih adalah kitab “Sunan Al-Kabir” karya Abu Bakar Al-Baihaqiy. Termasuk
juga : kitab-kitab musnad seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Ibnu Humaid, dan
Al-Bazzar.
Penuntut ilmu juga
hendaknya memperhatikan ilmu tentang hadits shahih, hasan, dhaif,
musnad, mursal, dan semua jenis-jenisnya. Karena itu merupakan
salah satu dari dua sayap ahli ilmu syariat yang menjelaskan banyak hal terhadap satu sayap lainnya, yakni
Al-Quran.
Janganlah merasa puas hanya
mendengarkan (riwayat hadits)nya saja sebagaimana kebanyakan muhaddits
zaman ini. Bahkan hendaknya ia memperhatikan dari sisi dirayah[2]nya
lebih dari pada riwayah[3]nya.
Imam Syafi’i mengatakan : “Barang
siapa yang mempelajari hadits maka kuatlah argumentasinya.” Hal ini
dikarenakan ilmu dirayah adalah tujuan dari penukilan dan penyampaian hadits.
5. Mempelajari Kitab-kiab Besar Setelah Menguasai Kitab-kitab Ringkas
Apabila kitab-kitab ringkas
yang telah dihafal sudah dipelajari, dan sudah ia kuasai seluk-beluk serta
faedah-faedah penting yang terdapat di dalamnya, : maka hendaknya ia berpindah
pada pembahasan yang lebih luas dan tetap menelaahnya, mencatat faedah-faedah
berharga yang ia baca maupun yang ia dengar, mencatat permasalahan-permasalahan
yang detail dan cabang-cabang yang rumit, memecahkan berbagai permasalahan yang
rumit, serta memecahkan perbedaan antara hukum-hukum yang samar dari berbagai
disiplin ilmu.
Janganlah seorang penuntut
ilmu meremehkan faedah yang ia dengar atau menyepelekan kaidah yang
dikuasainya. Bahkan hendaknya ia catat dan ia hafalkan faedah dan kaidah
tersebut. Dan hendaknya ia memiliki cita-cita yang tinggi dalam menuntut ilmu.
Janganlah merasa cukup
dengan ilmu yang sedikit sementara ia mampu untuk mendapatkannya sebanyak
mungkin. Dan janganlah ia puas mendapatkan sedikit bagian dari warisan para
Nabi (yaitu ilmu).
Janganlah penuntut ilmu
menunda-nunda untuk mendapatkan faedah yang mungkin ia dapatkan, atau sibuk
dengan angan-angan dan menunda-nunda, sesungguhnya menunda-nunda adalah
penyakit. Karena ketika seseorang mendapatkan faedah di saat ini maka ia akan
mendapatkan faedah lagi di saat lain.
Seorang
penuntut ilmu hendaknya memperhatikan waktu luangnya dan waktu semangatnya,
waktu sehatnya dan masa mudanya, pikirannya yang masih cerdas dan masih
sedikit kesibukannya, sebelum datangnya rasa malas
atau terhalang karena sudah dijadikan tokoh pemimpin.
Umar radhiyallahu
‘anhu berkata :
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ
تُسَوَّدُوا
Pahamilah
agama sebelum kalian dijadikan tokoh pemimpin
(Shahih
Bukhari : 1/25)
Imam
Asy-Syafi’i berkata : “Pahamilah agama sebelum kamu memimpin, karena ketika
kamu memimpin maka tidak ada jalan untuk mempelajari agama.”
Janganlah
penuntut ilmu merasa dirinya sempurna dan tidak membutuhkan para guru, karena
hal itu merupakan gambaran kebodohan dan minimnya ilmu pengetahuan, apa yang ia lewatkan lebih banyak dari pada yang ia dapatkan.
Sa’id bin
Jubair mengatakan : “Seseorang senantiasa berilmu selama ia belajar. Apabila
ia tinggalkan belajar dan merasa tidak membutuhkannya lagi maka ia adalah orang
yang paling bodoh saat itu.”
Apabila
keahliannya telah sempurna dan keutamaannya telah tampak serta telah membahas, mengulang-ulang, dan mentelaah
berbagai macam kitab, maka hendaknya ia sibukkan dengan membuat karya tulis,
mengkaji madzhab-madzhab para ulama, dengan cara
yang obyektif dalam menilai perselisihan para
ulama sebagaimana yang dijelaskan dalam adab seorang yang berilmu.
Penerjemah : Adam Rizkala
[1] I’rab adalah perubahan
akhir harakat pada kata (dalam bahasa Arab) yang disebabkan adanya perbedaan
amil yang mempengaruhi kata tersebut, baik dari lafalnya maupun perkiraannya.
[2] Adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk
mengetahui ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadits,
sifat-sifat periwayat, dan lain-lain.
[3] Adalah ilmu hadits yang mempelajari cara penukilan, pemeliharaan, dan
penulisan hadits.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)