Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawi

pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawi

Bismillah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya.

Pada pembahasan ilmu hadits kali ini, kita akan membahas pembagian hadits ditinjau dari banyak sedikitnya perawi, atau pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya.

Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi ada dua, yaitu :

  • Mutawatir
  • Ahad

A. Hadits Mutawatir (المتواتر)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits mutawatir :

1. Pengertian Mutawatir

Pengertian Mutawatir Secara Bahasa : Mutawatir adalah isim fa’il yang berasal dari kata At-Tawaatir (التواتر) yang memiliki arti At-Tataabi’ (التتابع) yaitu beriringan satu sama lain.

Sedangkan Secara Istilah, hadits mutawatir adalah :

ما رواه جماعة يستحيل في العادة أن يتواطؤوا على الكذب، وأسندوه إلى شيء محسوس

Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang perawi yang secara adat tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan mereka menyandarkan hadits tersebut pada sesuatu yang dapat diindra. [Mustholahul Hadits]

2. Syarat Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan oleh banyak periwayat disetiap tingkatan sanadnya.

Secara logis tidak mungkin jumlah periwayat yang banyak itu bersepakat untuk merekayasa terhadap hadits atau khabar tersebut. Oleh karenanya suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila terpenuhi 4 syarat :

  1. Diriwayatkan oleh banyak orang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah minimal orang yang meriwayatkannya. Adapun pendapat yang terpilih adalah setidaknya diriwayatkan oleh 10 orang.
  2. Banyaknya orang yang meriwayatkan hadits ini dijumpai di seluruh tingkatan sanadnya.
  3. Secara adat tidak mungkin mereka berkonspirasi untuk berdusta.
  4. Orang yang meriwayatkannya harus mengabarkannya dengan indranya, seperti kalimat : Aku mendengar (سمعنا), atau Aku melihat (رأينا) dan lain sebagainya.

3. Pembagian Hadits Mutawatir

Pertama, hadits mutawatir lafdzi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat yang redaksi dan maknanya sama antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya. Contoh :

مَنْ ‌كَذَبَ ‌عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya dari api neraka.

Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, dan diantara mereka ada 10 sahabat yang telah diberi kabar gembira masuk surga.

Kedua, hadits mutawatir ma’nawi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat namun redaksinya berbeda, namun maknanya sama.

Contohnya seperti hadits tentang syafa’at, mengusap dua khuf, mengangkat tangan ketika berdoa, telaga, dan hadits tentang melihat Allah. Hadits-hadits tersebut sama maknanya antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, hanya saja disampaikan dengan redaksi yang berbeda-beda.

4. Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah ilmu yakin yang mengharuskan seseorang untuk meyakini akan kebenarannya dan tidak boleh meragukan lagi dalam meyakininya bahwa ia benar-benar hadits Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk mengamalkan hadits mutawatir dengan meyakini akan kebenarannya jika hadits itu berupa berita dan melaksanakannya jika hadits itu berupa tuntunan.

B. Hadits Ahad (الآحاد)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits ahad :

1. Pengertian Hadits Ahad

Ahad (الآحاد) secara bahasa merupakan jama’ dari kata ahad (أحد) yang berarti satu.

Sedangkan secara istilah hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawi atau periwayatnya tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.

2. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian Hadits Ahad berdasarkan jumlah perawinya terbagi menjadi 3 :

Pertama, hadits masyhur. Secara bahasa masyhur adalah sesuatu yang menyebar atau populer. Sedangkan secara istilah hadit masyhur adalah hadits yang diriwayatkan 3 orang perawi atau lebih di setiap tingkatan sanadnya akan tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Contoh :

المُسْلِمُ ‌مَنْ ‌سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain terselamatkan dari gangguan lisan dan tangannya.

Kedua, hadits aziz. Secara bahasa berasal dari kata ‘azza ya’izzu (عز يعز) yang berarti sedikit atau jarang. Sedangkan secara istilah, hadits aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi. Contoh :

لَا ‌يُؤْمِنُ ‌أَحَدُكُمْ، ‌حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Salah seorang dari kalian belum sempurna keimanannya hingga aku lebih ia cintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.

Ketiga, hadits gharib. Secara bahasa gharib memiliki arti menyendiri, atau asing. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah hadits yang jumlah perawinya hanya satu. Contoh :

إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ ‌بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.

Hadits ini tergolong hadits gharib karena tingkatan sanad mulai dari Umar bin Khattab yang meriwayatkan dari Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sampai Yahya bin Sa’id Al-Anshari hanya diriwayatkan oleh satu orang saja. Mereka semua ini dari kalangan tabi’in. Kemudian setelah Yahya banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut.

3. Hukum Hadits Ahad

Kebenaran hadits ahad bersifat dugaan, bisa saja ia benar berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam atau bisa saja salah. Oleh karenanya hadits ahad memberikan faedah ilmu nazhoriy, yakni ilmu yang berhenti di atas teori dan kesimpulan. Sehingga hadits ahad perlu diteliti lebih lanjut mengenai keshahihannya.

Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu yakin jika memiliki indikasi yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil dari Al-Quran dan hadits shahih.

Dari segi derajatnya hadits ahad tidak selamanya shahih. Ada yang shahih lizatihi, shahih lighairihi, hasan lizatihi, hasan lighairihi, dan juga dha’if.

Apabila hadits ahad itu tidaklah dhaif maka kita bisa mengamalkan kandungannya dan meyakini akan kebenarannya.

Namun, apabila hadits itu dhaif, maka ia tidak bisa memberikan faedah apapun, tidak bisa dianggap atau diduga berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan tanpa menjelaskan kelemahannya.

Namun, untuk hadits dha’if berupa anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), sekelompok ulama membolehkannya untuk disampaikan dengan 3 syarat :

  • Pertama, kelemahannya tidak berat.
  • Kedua, amalan yang disebutkan dalam hadits anjuran dan ancaman tersebut memiliki asal dari dalil yang shahih.
  • Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Sebagian ulama lain tidak membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if baik dalam fadha’ilul ‘amal maupun hukum, karena semuanya sama-sama syari’at agama.

Demikianlah pembahasan pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya. Semoga bermanfaat.

Oleh : Adam Rizkala

Refrensi :

  • Taisir Mustholahul-Hadits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan.Mustholahul-Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  • Mustholahul Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Related Posts :