Pengertian Hadits Shahih dan Contohnya Serta Syarat-syaratnya

Pengertian Hadits Shahih dan Contohnya

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam.

Pernahkah Anda mendengar istilah hadits shahih? Jika kita rajin mengikuti kajian atau ceramah para ustadz yang disampaikan di majelis-majelis taklim tentu kita tidak asing lagi dengan istilah hadits shahih. Hadits shahih ini merupakan hadits yang banyak dijadikan rujukan oleh umat Islam di dalam beragama, baik kaitannya dengan aqidah, akhlak, adab, fiqih, dan juga hukum-hukum Islam lainnya.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mengenal apa itu hadits shahih beserta contohnya, mulai dari pengertian hadits shahih dan contohnya, pembagian hadits shahih, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi suatu hadits agar mendapatkan predikat shahih, serta bagaimana cara mengetahui hadits itu shahih ataukah tidak.

DAFTAR ISI

Berikut penjelasan lengkap mengenai pengertian hadits shahih dan contohnya beserta syarat-syaratnya :

A. Pengertian Hadits Shahih

Apa itu hadits shahih? Apa yang dimaksud dengan hadits shahih? Secara bahasa hadits shahih adalah "hadits yang benar". Maksudnya hadits tersebut adalah hadits yang benar-benar bersambung sanadnya hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sehingga terjaga keasliannya. Selain itu, hadits shahih merupakan hadits dengan kualitas sanad yang tertinggi. Maka wajar jika hadits ini dijadikan pijakan dalam beragama baik kaitannya dengan akidah ataupun hukum Islam.

Menurut Ibnu Sholah, di dalam kitabnya disebutkan bahwa pengertian hadits shahih adalah :

فَهُوَ الْحَدِيثُ الْمُسْنَدُ الَّذِي يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُونُ شَاذًّا وَلَا مُعَلَّلًا

"Yaitu hadits yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dari rawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad serta tidak ada syadz dan illat."

Contoh hadits shahih

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya


[HR. Bukhari]

Berdasarkan pengertian di atas dapat kita ambil sebuah faedah bahwa suatu hadits dikatakan shahih jika memenuhi 5 syarat, yaitu : sanadnya bersambung, perawinya adil, perawinya dhabit, tidak ada syadz, dan tidak ada illat. Untuk pembahasan lebih detail mengenai 5 syarat hadits shahih insya Allah akan dibahas di bagian akhir artikel ini.

B. Pembagian Hadits Shahih

Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu :

  1. Shahih Lidzatihi
  2. Shahih Lighairihi

1. Pengertian Hadits Shahih Lidzatihi

Apa itu hadits shahih lidzatihi. Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang shahih dengan sendirinya. Atau dalam arti lain, hadits shahih lidzatihi adalah hadits shahih yang memenuhi ke-5 syarat hadits shahih sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut ini adalah contoh hadits shahih lidzatihi :

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا ‌يُفَقِّهْهُ ‌فِي ‌الدِّينِ

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan menjadikannya faqih dalam agama.


[HR. Bukhari Muslim]

2. Pengertian Hadits Shahih Lighairihi

Apa itu hadits shahih lighairihi? Hadits shahih lighairihi adalah hadits yang menjadi shahih dikarenakan adanya hadits lain yang sama redaksinya ataupun maknanya namun berbeda jalur sanadnya. Hadits shahih lighairihi sebenarnya adalah hadits hasan. Namun, dikarenakan hadits hasan ini memiliki jalur sanad yang banyak sehingga antara satu hadits dengan hadits yang lainnya saling menguatkan meskipun berbeda jalur sanadnya. Maka yang semula hadits ini hasan maka derajatnya naik menjadi shahih. Hadits hasan yang naik derajatnya menjadi shahih karena banyaknya jalur sanad disebut dengan hadits shahih lighairihi.

Baca Juga : Pengertian Sanad Matan dan Rawi Beserta Contohnya

Berikut ini adalah contoh hadits shahih lighairihi :

ابْتَعْ ‌عَلَيْنَا إِبِلًا بِقَلَائِصَ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ إِلَى مَحِلِّهَا

Belilah unta dengan unta-unta muda dari hasil zakat hingga zakat itu diberikan.


[HR. Ahmad]

Hadits di atas diriwayatkan oleh imam Ahmad dan imam Al-Baihaqi. Namun, jalur periwayatan imam Ahmad dan imam Al-Baihaqi berbeda. Imam Ahmad meriwayatkannya dari jalur Muhammad bin Ishaq, akan tetapi imam Al-Baihaqi meriwayatkannya dari jalur Amr bin Syu'aib. Nah, dikarenakan kedua hadits dari dua jalur tersebut derajatnya hasan maka derajatnya naik menjadi shahih lighairihi.

C. Syarat-syarat Hadits Shahih

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya bahwa pengertian hadits shahih merupakan hadits yang bersambung sanadnya, periwayatnya adil dan dhabit serta tidak ada syadz dan illat. Nah, dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa syarat hadits shahih itu ada lima. Berikut pembahasan rinci mengenai kelima syarat hadits shahih tersebut :

Syarat Pertama : Sanadnya Bersambung

Apa yang dimaksud dengan sanad bersambung? Sanad yang bersambung adalah para perawi menjumpai gurunya yang meriwayatkan hadits kepadanya baik berjumpa secara langsung ataupun secara hukum.

Yang dimaksud perawi menjumpai gurunya secara langsung adalah perawi benar-benar bertemu dengan gurunya yang menyampaikan hadits tersebut sehingga ia mendengar hadits langsung dari guru tersebut. Jika seorang perawi mendengar hadits secara langsung maka ketika meriwayatkan ia menggunakan redaksi : حَدَّثَنَا artinya : "telah menceritakan kepadaku", سَمِعْتُ artinya : "aku mendengar", أَخْبَرَنَا artinya : "telah mengabarkan padaku", dan lain semisalnya. Sebagai contoh, coba perhatikan rentetan sanad berikut ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ

Rentetan sanad di atas merupakan rentetan sanad hadits yang diriwayatkan imam Bukhari. Pada kalimat pertama disebutkan redaksi : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ yang artinya : "Abdullah bin Yusuf telah bercerita kepadaku". Itu artinya imam Bukhari mendapatkan hadits tersebut secara langsung dari gurunya yaitu Abdullah bin Yusuf. Atau dalam arti lain imam Bukhari bertemu langsung dengan Abdullah bin Yusuf yang meriwayatkan hadits tersebut kepada imam Bukhari. Demikian pula Abdullah bin Yusuf juga mendapatkan hadits tersebut dari Malik bin Anas karena ia menggunakan redaksi أَخْبَرَنَا saat meriwayatkan hadits tersebut.

Sedangkan yang dimaksud perawi menjumpai gurunya secara hukum adalah perawi meriwayatkan hadits dari orang yang sezaman dengannya dan ada kemungkinan perawi tersebut mendengar atau melihat riwayat hadits tersebut. Redaksi yang digunakan saat meriwayatkan hadits biasanya menggunakan redaksi عَنْ artinya : "dari", قَالَ artinya : "berkata", dan semisalnya.

Syarat Kedua : Perawinya Adil

Berdasarkan pengertian hadits shahih yang telah didefinisikan oleh Ibnu Sholah bahwa hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil. Perawi yang adil adalah perawi yang istiqomah menjalankan agamanya dan menjaga muru'ahnya. Sehingga dengan sifat adilnya itu ia akan senantiasa jujur dalam menyampaikan hadits dan menghindari dusta sehingga ia dapat dipercara.

  • Istiqomah dalam menjalankan agama berarti ia senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan di dalam agama.
  • Sedangkan menjaga muru'ah ialah memiliki adab dan akhlak mulia serta tidak mengerjakan perkara-perkara yang tercela.

Syarat Ketiga : Perawinya Dhabith

Tidak hanya adil akan tetapi perawi yang meriwayatkan hadits juga harus dhabith untuk diakui kesahihan hadits yang diriwayatkannya. Apa yang dimaksud dengan perawi yang dhabith itu?

Perawi yang dhabith adalah perawi yang kredibel, yakni memiliki hafalan yang sempurna. Artinya ia dapat menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang ia peroleh dengan baik sesuai dengan apa yang disampaikan oleh gurunya tanpa adanya kesalahan, baik itu berupa perubahan, penambahan ataupun pengurangan. Akan tetapi jika kesalahannya ringan dan tidak fatal maka tidaklah mengapa karena tidak ada seorangpun yang luput dari kesalahan. Kesalahan yang ringan saat meriwayatkan hadits adalah kesalahan yang tidak sampai merubah inti atau makna dari hadits yang ia peroleh dari gurunya.

Syarat Keempat : Tidak Terdapat Syadz

Pada pengertian hadits shahih menurut Ibnu Sholah disebutkan bahwa hadits shahih adalah hadits yang tidak terdapat "syadz" di dalamnya. Apa itu syadz? Syadz adalah ketika hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang terpercaya ternyata bertentangan isinya dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih terpercaya. Sebagai contoh, coba perhatikan dua redaksi hadits berikut ini :

Hadits versi Imam Muslim : وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ‌بِمَاءٍ ‌غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ "beliau mengusap kepala dengan air yang bukan sisa basuhan tangan beliau"

Hadits versi Imam Al-Baihaqi : مَسَحَ أُذُنَيْهِ ‌بِمَاءٍ ‌غَيْرِ الْمَاءِ الَّذِي مَسَحَ بِهِ رَأْسَهُ "beliau mengusap kedua telinganya tidak menggunakan air yang digunakan untuk mengusap kepalanya"

Kedua hadits di atas sama-sama diriwayatkan dari jalur Ibnu Wahb dengan redaksi yang saling bertentangan. Riwayat hadits versi Al-Baihaqi dianggap "syadz" karena orang yang meriwayatkan dari Ibnu Wahb versi Al-Baihaqi ini menyelisihi banyak perawi lainnya yang lebih terpercaya. Sementara sekolompok orang yang juga sama-sama meriwayatkan dari Ibnu Wahb memiliki redaksi yang serupa dengan redaksi hadits versi Imam Muslim. Oleh karena itulah riwayat Al-Baihaqi dianggap tidak shahih karena terdapat syadz pada haditsnya meskipun perawinya adalah orang yang terpercaya.

Syarat Kelima : Tidak Terdapat Illat yang Berat

Illat adalah cacat. Hadits yang setelah diteliti ternyata memiliki kecacatan yang berat maka ia tidak dapat diterima sebagai hadits shahih. Misalkan hadits tersebut adalah hadits yang munqathi', mauquf, perawinya fasik atau hafalannya jelek, perawinya ahli bid'ah dan hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut mendukung kebid'ahannya, serta faktor-faktor lainnya.

D. Cara Mengetahui Hadits Itu Shahih/Tidak

Ada tiga cara untuk mengetahui apakah hadits itu shahih ataukah tidak. Berikut ketiga cara tersebut :

  1. Tercantum dalam kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim. Sebagai orang awam tentu cara termudah untuk mengetahui suatu hadits itu shahih adalah dengan mengecek apakah hadits tersebut tercantum di dalam kedua kitab tersebut ataukah tidak. Jika kita menjumpai suatu hadits yang setelah kita cek ternyata ada pada kedua kitab tersebut maka bisa dipastikan jika hadits tersebut adalaha shahih. Karena kedua kitab tersebut merupakan kitab yang diakui oleh para ulama mengenai keshahihannya. Namun, jika ternyata hadits yang kita jumpai tidak terdapat pada kedua kitab tersebut maka kita lanjut pada cara yang kedua.
  2. Dishahihkan oleh Imam atau Ulama yang kredibel. Sebagai orang awam cara termudah untuk mengetahui apakah suatu hadits itu shahih ataukah tidak adalah dengan mengikuti penilaian para imam atau ulama yang kredibel dalam bidang hadits serta memiliki persyaratan yang ketat dalam menilai keshahihan suatu hadits.
  3. Meneliti sendiri. Jika tidak dijumpai penilaian dari para imam dan ulama yang kredibel dari suatu hadits yang kita jumpai maka cara terakhir adalah meneliti sendiri. Jika suatu hadits yang kita teliti sudah terpenuhi syarat-syarat bahwa hadits tersebut adalah shahih maka hadits tersebut dapat kita nyatakan sebagai hadits yang shahih. Namun, untuk meneliti suatu hadits tentu harus memiliki keahlian yang mumpuni dalam bidang ilmu hadits.

Refrensi

  • Musthola Al-Hadits oleh Ibnu Utsaimin
  • Muqoddimah Ibnu Sholah oleh Ibnu Sholah
  • Shahih Bukhari oleh Imam Bukhari

Related Posts :