Hukum Syara' dalam Ushul Fiqh dan Pembagiannya

Hukum Syara' dalam Ushul Fiqh

Hukum syara' adalah salah satu kajian dalam ilmu ushul fiqh. Dengan mengetahui hukum syara' beserta pembagian-pembagiannya maka kita akan lebih mudah dalam memahami syariat agama Islam.

Pada kajian ushul fiqh kali ini, kita akan membahas pengertian hukum syara' secara bahasa dan istilah, pembagian hukum syara' dalam kajian ushul fiqh, dan juga penjelasan rinciannya.

DAFTAR ISI

A. Pengertian Hukum Syara'

Apa pengertian hukum syara' dalam ushul fiqh secara bahasa? Secara bahasa, hukum syara' (arab : الحكم الشرعي) artinya adalah keputusan syariat atau ketentuan syariat. Sedangkan pengertian hukum syara' menurut istilah ushul fiqh adalah :

‌خطابُ ‌الشَّارعُ ‌المتعلِّق بأفعالِ المكلَّفين اقتضاءً أو تخييرًا أوْ وضعًا

Titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, dan peletakan


[Taisir Ilmu Ushul Fiqh hlm. 17]

Berangkat dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa :

  • Hukum syara' adalah apa-apa yang telah ditetapkan oleh syariat yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
  • Hukum syara' menurut istilah ushul fiqh adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik itu perkataan atau perbuatan, berupa melakukan atau meninggalkan sesuatu. Hukum syara' tidak berkaitan dengan keyakinan atau akidah.
  • Mukallaf yang dimaksud adalah siapa saja yang keadaannya dibebani syariat, termasuk anak kecil dan orang gila.
  • Hukum syara' terbagi menjadi dua, yaitu :
    • Hukum berupa tuntutan (perintah atau larangan) baik yang bersifat pasti ataupun tidak pasti, dan hukum berupa pilihan mengerjakan atau meninggalkan. Hukum ini disebut juga dengan istilah hukum taklifi.
    • Hukum berupa hal-hal yang diletakkan oleh pembuat syariat yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya. Hukum ini disebut juga dengan istilah hukum wadh’i.

B. Pembagian Hukum Syara'

Berdasarkan pengertian hukum syara' yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum syara' dalam ushul fiqh terbagi menjadi dua, yaitu :

  • Hukum Taklifi (‌‌الحكم التكليفي)
  • Hukum Wadh'i (‌‌الحكم الوضعي)

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, dan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan. Hukum taklifi terbagi menjadi lima yaitu :

  1. Wajib
  2. Mandub
  3. Haram
  4. Makruh
  5. Mubah

2. Hukum Wadh'i

Hukum wadh'i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum taklifi. Hukum wadh'i terbagi menjadi lima, yaitu :

  1. Sabab
  2. Syarat
  3. Mani'
  4. Sah dan Batal
  5. Azimah dan Rukhshah

C. Hukum Taklifi

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum taklifi dalam ushul fiqh terbagi menjadi lima. Berikut penjelasan lebih rinci mengenai pembagian hukum taklifi :

1. Wajib

Wajib (واجب) adalah perintah syariat yang harus dikerjakan. Orang yang melaksanakan perkara wajib akan diberi pahala dan apabila meninggalkannya maka berhak mendapatkan hukuman. Istilah lain dari wajib diantaranya ada fardhu (فرض) atau faridhah (فريضة), hatman (حتما) atau mahtum (محتوم), dan lazim (لازم).

Menurut kalangan hanafiyyah, fardhu dan wajib itu berbeda. Menurut hanafiyyah, fardhu atau faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil qath'i, seperti dalil yang bersumber dari Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil dzanni, seperti dalil yang bersumber dari hadits ahad, maka ia disebut wajib.

Wajib terbagi menjadi empat bagian yaitu :

  1. Berdasarkan keterikatannya dengan waktu :
    • Wajib muthlaq (واجب مطلق). Wajib muthlaq adalah kewajiban yang waktu pelaksanaannya luas dan tidak terikat dengan waktu. Contoh : qodho’ puasa Ramadhan.
    • Wajib muqayyad (واجب مقيد). Wajib muqayyad adalah kewajiban yang pelaksanaannya terikat oleh waktu. Contoh : sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya.
  2. Berdasarkan ketentuan objeknya :
    • Wajib mu’ayyan (واجب معين). Wajib mu'ayyan adalah kewajiban yang sudah ditentukan, seperti wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan, wajibnya ibadah haji, dan lain sebagainya.
    • Wajib mukhayyar (واجب مخير). Wajib mukhayyar adalah kewajiban yang dibolehkan untuk menentukan salah satu di antara beberapa pilihan. Contoh : kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah yaitu memilih antara memberi makan kepada sepuluh orang misikin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak, atau jika tidak sanggup melakukan di antara tiga pilihan sebelumnya maka ia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
  3. Berdasarkan kadarnya :
    • Wajib muhaddad (واجب محدد). Wajib muhaddad adalah kewajiban yang telah ditentukan kadarnya. Contoh : jumlah rokaat pada sholat wajib, jumlah pembayaran zakat, dan lain sebagainya.
    • Wajib ghairu muhaddad (واجب غير محدد). Wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya. Contoh : berinfak di jalan Allah, memberi makan anak yatim, bersedekah harta, dan lain sebagainya.
  4. Berdasarkan subjek hukumnya :
    • Wajib aini (واجب عيني). Wajib aini adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu. Contoh : shalat lima waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya.
    • Wajib kifa'i (واجب كفائي). Wajib kifa'i adalah kewajiban yang dibebankan secara kolektif. Yaitu apabila suatu kewajiban sudah dilakukan oleh perwakilan dari suatu kelompok maka kewajiban kelompok tersebut dinyatakan gugur. Contoh : sholat jenazah, amar ma'ruf nahi mungkar, berperang, dan lain sebagainya.

2. Mandub

Mandub (مندوب) adalah perintah syariat yang tidak harus dikerjakan. Orang yang mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan pahala dan tidak dihukum apabila meninggalkannya. Istilah lain dari mandub diantaranya ada sunnah (سنة), masnuun (مسنون), mustahab (مستحب) atau istihbab (استحباب), nafl (نفل) atau nafilah (نافلة), tathawwu’ (تطوع), dan fadhilah (فضيلة).

Mandub terdiri dari dua tingkatan yaitu :

  1. Sunnah muakkadah (سنة مؤكدة). Sunnah muakkadah adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi . Contoh : shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.
  2. Sunnah ghairu muakkadah (سنة غير مؤكدة). Sunnah ghairu muakkadah adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi atau sunnah yang sesekali ditinggalkan. Contoh : shalat tarawih, shalat empat rakaat sebelum dzuhur, dan lain sebagainya.

3. Haram

Haram (حرام) adalah larangan syariat yang harus ditinggalkan. Jika seseorang meninggalkan larangan karena mengharapkan ridho dan pahala dari Allah maka ia akan mendapatkan apa yang ia harapkan. Namun, jika seseorang mengerjakan larangan maka ia diancam dengan azab dari Allah . Istilah lain dari haram di antaranya ada mamnu’ (ممنوع) dan mahthur (محطور).

Haram terdiri menjadi dua yaitu :

  1. Haram lidzaatihi (حرام لذاته). Haram lidzaatihi adalah haram karena zatnya diharamkan oleh syariat. Contoh : berbuat syirik, makan babi, mencuri, berzina, durhaka kepada kedua orang tua, menghardik anak yatim, dan lain-lain.
  2. Haram lighairihi (حرام لغيره). Haram lighairihi adalah haram karena ada penyebabnya. Contoh : berdagang hukum asalnya adalah mubah. Namun, jika dilakukan pada saat dikumandangkan adzan shalat jumat maka berdagang pada waktu itu menjadi haram. Penyebab diharamkannya berdagang adalah karena dilakukan pada saat dikumandangkannya adzan shalat jumat.

4. Makruh

Makruh (مكروه) adalah larangan syariat yang tidak harus ditinggalkan. Jika seseorang meninggalkan perkara makruh karena mengharapkan ridho dan pahala dari Allah maka ia mendapatkan apa yang ia harapkan. Namun, jika seseorang mengerjakan perkara makruh ia tidaklah berdosa. Hanya saja perkara makruh itu jika dikerjakan maka akan menurunkan kewibawaan seorang muslim.

Menurut ulama Hanafiyyah makruh terbagi menjadi dua, yaitu :

  1. Makruh tahrim (مكروه تحريم). Makruh tahrim adalah sesuatu yang diharamkan menurut hukum syariat akan tetapi dalilnya bersifat dugaan kuat.
  2. Makruh tanzih (مكروه تنزيه). Makruh tanzih adalah perkara yang dianjurkan untuk ditinggalkan.

Istilah makruh adakalanya dimaksudkan untuk menunjukkan hukum haram. Hal ini terjadi pada ucapan imam Syafi'i, imam Ahmad, dan juga sebagian ahli hadits. Oleh karena itu, jika kita menjumpai istilah "makruh" pada ucapan mereka maka hendaknya kita berhati-hati dan jangan sampai salah menafsirkan. Bisa jadi makruh yang dimaksud oleh mereka adalah haram yang sifatnya wajib untuk dijauhi.

5. Mubah

Mubah (مباح) adalah perkara yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah adalah perkara yang tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan. Contoh : makan, minum, berlari, tidur, berolahraga, dan lain sebagainya. Di kalangan para ulama, mubah juga dikenal dengan istilah halal (حلال) dan juga jaiz (جائِز).

D. Hukum Wadh'i

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum wadh'i dalam ushul fiqh terbagi menjadi lima. Berikut penjelasan lebih rinci mengenai pembagian hukum wadh’i :

1. Sabab

Sabab (سبب) secara bahasa artinya adalah sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dalam istilah ushul fiqh, sabab diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai penanda atas keberadaan suatu hukum. Jika sabab tidak ada maka hukum tersebut menjadi tidak ada. Sabab terbagi menjadi dua yaitu :

  1. Pertama, sabab yang ditetapkan oleh syariat yang di luar batas kemampuan mukallaf. Contoh : tergelincirnya matahari menjadi sabab keberlangsungan diwajibkannya shalat dzuhur, masuknya bulan Ramadhan menjadi sabab diwajibkannya berpuasa, dsb.
  2. Kedua, sabab yang ditetapkan oleh syariat yang berada dalam batas kemampuan mukallaf. Contoh : safar menjadi sabab diperbolehkannya membatalkan puasa di siang hari, zina menjadi sabab ditegakkannya hukum had, dsb.

2. Syarat

Syarat (شرط) adalah sesuatu yang keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya, namun ia bukanlah bagian dari hukum tersebut, bahkan ia berada di luar hukum tersebut, dan keberadaan syarat tidak mengharuskan keberadaan hukum. Contoh : wudhu adalah syarat untuk melaksanakan shalat, namun wudhu bukan bagian dari shalat, dan wudhu tidak mengaruskan adanya shalat.

Syarat sendiri terbagi menjadi dua yaitu :

  1. Pertama adalah syarat syar'i (شرط شرعي). Syarat syar'i adalah syarat yang datang dari syariat itu sendiri. Misalnya seperti suci dari hadats menjadi syarat shalat, haul dan nishab menjadi syarat ditunaikannya zakat mal, dsb.
  2. Kedua adalah syarat ja'li (شرط جعلي). Syarat ja'li adalah syarat yang dibuat oleh mukallaf sendiri dalam hal mu'amalah bukan dalam hal ibadah. Contoh : penjual mensyaratkan pembelian barang lebih dari jumlah tertentu untuk mendapatkan potongan harga.

3. Mani'

Mani' (مانع) adalah sesuatu yang mengharuskan ketiadaannya hukum karena keberadaannya, atau batalnya sabab, yang terkadang terwujudnya sebab syar'i, dan terpenuhinya semua syarat-syaratnya tetapi terdapat mani' yang menyebabkan terhalangnya keberadaan hukum. Contohnya adalah datangnya haul dan nishab merupakan syarat dan sabab wajibnya menunaikkan zakat. Namun, keberadaan hutang menjadi mani' (penghalang) wajibnya menunaikkan zakat. Mani' terbagi menjadi dua :

  1. Pertama, mani' lil-hukm (مانع للحكم). Mani' lil-hukm adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi keberadaan hukum. Contohnya seperti haid pada wanita menjadi penghalang shalat.
  2. Kedua, mani' lisabab (مانع لسبب). Mani' lisabab adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang berfungsinya sabab, sehingga sabab itu tidak lagi mempunyai konsekuensi hukum. Contohnya seperti seorang yang hartanya telah mencapai nishab dan haul, namun karena ia masih memiliki hutang maka terhalanglah kewajiban zakatnya sebab hutangnya.

4. Sah dan Batal

Sah adalah ketika mukallaf mengerjakan suatu perbuatan yang telah terpenuhi syarat-syaratnya, tidak adanya mani' (penghalang), dan adanya suatu sabab yang menyebabkan perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, sah merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sabab dan tidak ada mani', serta memiliki konsekuensi bagi pelakunya yaitu terbebas dari tanggungan hukum yang menjadi tanggung jawabnya.

Contoh : Apabila seseorang melaksanakan shalat dzuhur setelah tergelincinya matahari, didahului dengan bersuci, dan tidak dalam keadaan haid, maka shalatnya dihukumi sah.

Adapun kebalikan dari sah adalah batal. Batal adalah ketika mukallaf mengerjakan suatu perbuatan namun sebagian atau seluruh syaratnya tidak terpenuhi, atau tidak adanya sabab, atau terdapat mani'.

Contoh : Apabila seseorang melaksanakan shalat dzuhur setelah tergelincirnya matahari, didahului dengan wudhu, dan dalam keadaan haid, maka shalatnya batal karena adanya penghalang yaitu haid.

5. Azimah dan Rukhshah

Azimah (عزيمة) adalah ketentuan asal dari hukum-hukum yang disyariatkan tanpa adanya faktor lain. Contoh : Shalat pada waktunya, menyempurnakan shalat, haramnya memakan bangkai, dsb.

Rukhshah (رخصة) adalah ketentuan hukum berupa keringanan bagi mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringan tersebut. Contoh : Bolehnya makan di siang bulan Ramadhan bagi musafir, bolehnya memakan bangkai dalam keadaan darurat, dsb.

E. Ringkasan

  1. Pengertian hukum syara' : titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
  2. Pembagian hukum syara' :
    • Hukum taklifi.
    • Hukum wadh’i.
  3. Hukum taklifi ada lima :
    • Wajib : perintah syariat yang harus dikerjakan.
    • Mandub : perintah syariat yang tidak harus dikerjakan.
    • Haram : larangan syariat yang harus ditinggalkan.
    • Makrub : larangan syariat yang tidak harus ditinggalkan.
    • Mubah : tidak diperintahkan dan tidak dilarang oleh syariat.
  4. Hukum wadh'i ada lima :
    • Sabab : sesuatu yang dijadikan penanda atas keberadaan suatu hukum.
    • Syarat : sesuatu yang keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya dan ketiadaannya berkonsekuensi tidak adanya hukum namun keberadaannya tidak mengharuskan adanya yang disyaratkan.
    • Mani' : sesuatu yang keberadaannya meniadakan hukum.
    • Sah dan batal : sah adalah mengerjakan suatu perbuatan hukum yang sudah sesuai tuntunan syariat, yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sabab, dan tidak ada mani'. Sedangkan batal adalah mengerjakan suatu perbuatan hukum namun sebagian atau seluruh syaratnya tidak terpenuhi, atau tidak adanya sabab, atau terdapat mani'.
    • Azimah dan rukhshah : azimah adalah ketentuan asal dari hukum-hukum yang disyariatkan tanpa adanya faktor lain. Sedangkan rukhshah adalah ketentuan hukum berupa keringanan pada kondisi tertentu yang dibenarkan oleh syariat.

F. Referensi Bacaan

  • Al-Ushul min Ilmil-Ushul oleh Al-Utsaimin
  • Ilmu Ushul Al-Fiqh oleh Abdul Wahab Khalaaf
  • Taisir Ilmu Ushul Fiqh oleh Abdullah Al-Judai'
  • Al-Wadhih fi Ushulil-Fiqh lil-Mubtadi'in oleh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian hukum syara' dalam ushul fiqh dan pembagiannya. Semoga bermanfaat. Amiin.

Related Posts :