Hukum Rambut Panjang Bagi Laki-laki Menurut Agama Islam

Hukum Rambut Panjang Laki-laki

Bismillah, segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikut sunnahnya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di dalam Islam tidak hanya diatur perkara ibadah. Bahkan sampai masalah penampilanpun juga diatur di dalam agama Islam, termasuk rambut. Ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hal-hal yang rinci demi kemaslahatan manusia.

Pada artikel kali ini akan kita bahas bersama apa hukum rambut panjang bagi laki-laki di dalam Islam, dan apa saja adab-adab atau etika yang diajarkan di dalam Islam terkait masalah rambut bagi laki-laki yang dijelaskan di dalam hadits.

Sebelum menginjak pada pembahasan hukum, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu bagaimana ciri-ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam di dalam hadits.

A. Hadits Tentang Ciri Rambut Rasulullah

Hadits-hadits tentang rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sangatlah banyak, berikut ini kami nukilkan sedikit hadits yang menceritakan tentang ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam di dalam hadits yang shahih.

1. Berambut Lebat

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْكَ شَعَرًا

Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam rambutnya lebih lebat darimu


[HR. Bukhari no. 256]

2. Tidak Lurus dan Juga Tidak Keriting

لَيْسَ بِجَعْدٍ قَطَطٍ

Rambut beliau tidak terlalu keriting tidak juga terlalu lurus.


[HR. Bukhari no. 3547]

3. Panjangnya Hingga Ujung Telinga

لَهُ شَعَرٌ يَبْلُغُ شَحْمَةَ أُذُنِهِ

Beliau mempunyai rambut hingga mencapai ujung telinganya.


[HR. Bukhari no. 3551]

كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ

Adalah rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam panjangnya melewati kedua telinganya


[HR. Muslim no. 2338]

4. Panjangnya Hingga Mencapai Kedua Pundak

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضْرِبُ شَعَرُهُ مَنْكِبَيْهِ

Bahwasanya Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam memanjangkan rambutnya hingga kedua pundaknya.


[HR. Bukhari no. 5903]

5. Bergelombang dan Panjangnya Antara Kedua Telinga dan Kedua Bahu

كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجِلًا ، لَيْسَ بِالسَّبِطِ وَلَا الجَعْدِ، بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ

Adalah rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam itu bergelombang, tidak lurus juga tidak keriting, dan menjuntai diantara kedua telinganya dan pundaknya.


[HR. Bukhari no. 5905]

6. Berambut Panjang dan Bagus

مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ أَحْسَنَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Aku tidak pernah melihat seorang berambut panjang yang lebih bagus ketika mengenakan baju merah dari pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.


[HR. Abu Dawud no. 4183]

7. Model Sisiran Rambut Rasulullah

كَانَ يَسْدِلُ شَعْرَهُ، وَكَانَ المُشْرِكُونَ يَفْرُقُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ أَهْلُ الكِتَابِ يَسْدِلُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ بِشَيْءٍ، ثُمَّ فَرَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ

Adalah beliau menjuntaikan rambutnya (yakni membiarkan rambut yang ada di keningnya), sementara orang-orang musyrik membelah rambutnya, sedangkan ahlul kitab mereka menjuntaikan rambutnya. Dan Adalah Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam lebih suka menyamai ahli kitab di dalam hal-hal yang tidak diperintahkan, kemudian Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam membelah rambutnya.


[HR. Bukhari no. 3944]

B. Hukum Rambut Panjang Bagi Laki-laki

Sebagaimana yang kita ketahui dari ciri rambut Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sebelumnya, bahwa beliau memiliki rambut bergelombang yang bagus dan panjang hingga ke ujung telinga bahkan hingga pundaknya. Tidak ada pula larangan untuk berambut panjang ataupun pendek. Namun, tidak juga diperintahkan berambut panjang.

Maka hal ini menunjukkan pada asalnya hukum rambut panjang bagi laki-laki adalah boleh. Tidak dianjurkan, tidak juga dilarang, atau dengan kata lain hukumnya adalah mubah. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini dan beliau menjawab :

هذا أصله جائز، كان العرب يطولون رؤوسهم، والنبي ﷺ كان يعفي رأسه ﷺ، ربما وصل إلى منكبه وربما ارتفع على حسب حلقه حين يحلقه في الحج والعمرة، يحلقه في الحج ويقصره في العمرة عليه الصلاة والسلام، فإذا طوله الإنسان لا لمقصد سيئ لا لأجل النساء ولا لأجل الفتنة فلا حرج في ذلك، وإن كان تطويله في مكان في بلد أو في قرية يتهم فيه بالسوء أو يظن به السوء فينبغي له تركه حتى لا يتهم بالسوء، وإذا طوله من أجل النساء والفتنة ومغازلة النساء كان منكرا، نسأل الله العافية

Memanjangkan rambut pada asalnya hukumnya boleh. Dahulu orang-orang arab memanjangkan rambutnya, dan adalah Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam membiarkan rambutnya memanjang. Adakalanya sampai pundaknya, adakalanya pendek ketika dicukur saat haji maupun umrah. Beliau sallallaahu 'alaihi wasallam menggundul rambutnya saat haji dan memendekkannya saat umrah. Maka apabila seseorang memanjangkan rambutnya bukan karena bermaksud buruk dan bukan karena wanita dan bukan karena fitnah, maka ia tidak berdosa. Namun, apabila ia memanjangkannya di suatu negeri atau di daerah dimana ia dicurigai akan keburukan atau rambut panjang dianggap sesuatu yang buruk maka sepantasnya ia tidak memanjangkannya sehingga ia tidak dicurigai sebagai orang yang buruk. Dan apabila ia memanjangkan rambutnya karena wanita, fitnah, dan untuk memikat wanita maka ini adalah hal yang mungkar. Kami memohon Afiah hanya kepada Allah. [binbaz.org]

Meskipun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa adakalanya memendekkan rambut lebih baik jika berambut panjang malah menimbulkan masalah. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits :

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِي شَعْرٌ طَوِيلٌ، فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ، ‌وَهَذَا ‌أَحْسَنُ

Dari Wa’il bin Hujr ia berkata : Aku mendatangi Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam dan rambutku panjang. Maka ketika aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam berkata : “Lalat! Lalat!” Maka akupun pulang dan memangkasnya. Kemudian keesokan harinya aku mendatangi beliau dan beliau bersabda : “Sesungguhnya aku tidak bermaksud menjelek-jelekkanmu, karena ini jauh lebih baik.”


[HR. Abu Dawud no. 4190]

Dari hadits ini bisa kita ambil pelajaran bahwa pada asalnya boleh hukumnya memanjangkan rambut karena Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam tidak mengingkari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu ketika mendatanginya dalam keadaan berambut panjang.

Namun, ketika Wail bin Hujr melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam terganggung dengan adanya lalat maka ia pun pulang dan mencukur rambutnya.

Keesokan harinya ketika ia bertemu Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam maka beliau menceritakan bahwa ketika ia terganggu dengan lalat ia tidak bermaksud menjelek-jelekannya, dan beliaupun memujinya bahwa hal ini jauh lebih baik.

C. Adab-adab Terhadap Rambut dalam Islam

1. Memuliakan Rambut

Disunnahkan bagi seorang muslim untuk memuliakan rambutnya dengan merawatnya, tidak memodelnya dengan model yang jelek, merapikannya dan lain sebagainya, Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ

Barang siapa yang memiliki rambut maka hendaknya ia memuliakannya.


[HR. Abu Dawud]

2. Menyisir dan Memotong Rambut dari Sebelah Kanan

Disunnahkan memulai dari sebelah kanan dalam perkara apapun, termasuk menyisir. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau menuturkan :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan, baik ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan disetiap perbuatannya.


[HR. Bukhari no. 168]

قَالَ لِلْحَالِقِ: ابْدَأْ بِشِقِّي الْأَيْمَنِ فَاحْلِقْهُ

Beliau berkata pada tukang cukur : Mulailah dari sisi sebelah kanan lalu gundullah


[HR. Abu Dawud no. 1982]

3. Tidak Terlalu Sering Menyisir Rambut

Merapikan rambut adalah hal yang baik, namun Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang lelaki untuk terlalu banyak mengurusi penampilan termasuk menyisir rambut terus-menerus. Diriwayatkan di dalam hadits :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمْتَشِطَ أَحَدُنَا كُلَّ يَوْمٍ، أَوْ يَبُولَ فِي مُغْتَسَلِهِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami menyisir setiap hari atau buang air kecil di tempat pemandiannya.


[HR. Abu Dawud no. 28]

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang perawatan rambut kecuali dua hari sekali.


[HR. Abu Dawud no. 4159]

Hendaknya lelaki merapikan rambut seperlunya saja, tidak setiap kali rambut tidak rapi sedikit lantas disisir, karena ini membuang-buang waktu dan menyerupai sifat wanita yang terlalu sibuk memperhatikan penampilan.

4. Dianjurkan Memangkas Rambut

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa memanjangkan rambut itu boleh-boleh saja. Namun, memangkasnya ketika diperlukan itu lebih baik karena bisa saja rambut panjang menimbulkan adanya masalah pada rambut. Diriwayatkan dari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu beliau mengatakan :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِي شَعْرٌ طَوِيلٌ، فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ: فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ: إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ، ‌وَهَذَا ‌أَحْسَنُ

Suatu ketika Aku mendatangi Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam dan rambutku panjang. Maka ketika aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam berkata : “Lalat! Lalat!” Maka akupun pulang dan memangkasnya. Kemudian keesokan harinya aku mendatangi beliau dan beliau bersabda : “Sesungguhnya aku tidak bermaksud menjelek-jelekkanmu, karena ini jauh lebih baik.”


[HR. Abu Dawud no. 4190]

5. Tidak Mencukur Sebagian Rambut dan Menyisakan Sebagian

Islam mengajarkan keindahan dalam berpenampilan. Maka tidak diperkenankan mencukur rambut dengan model yang tidak baik, yaitu mencukur sebagian dan menyisakannya sebagian. Diriwayatkan dari Ibnu Umar :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأَى صَبِيًّا قَدْ حُلِقَ بَعْضُ شَعْرِهِ وَتُرِكَ بَعْضُهُ، فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ: احْلِقُوهُ كُلَّهُ، أَوِ اتْرُكُوهُ كُلَّهُ

Bahwa Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam melihat anak kecil yang dicukur sebagian dan disisakan sebagian rambutnya, maka beliau melarang hal itu dan berkata : Cukurlah semuanya atau sisakan semuanya.


[HR. Abu Dawud 4195]

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ القَزَعِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melarang model rambut qaza’


[HR. Bukhari no. 5921]

6. Tidak Panjang Menyerupai Wanita

Hendaknya seorang lelaki tidak menyamai wanita dari segi sifat dan penampilan, termasuk rambut. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau mengatakan :

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.


[HR. Bukhari no. 5885]

Berambut panjang adalah boleh, hanya saja memiliki batasan yaitu tidak boleh melebihi pundak. Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ، لَوْلَا طُولُ جُمَّتِهِ، وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ

Sebaik-baiknya laki-laki adalah orang Khuraim Al-Asadiy, mereka tidak memanjangkan rambutnya hingga melewati bahu dan tidak memanjangkan celananya.


[HR. Abu Dawud no. 4089] Hadits ini dhaif menurut Syaikh Al-Albani

Syaikh Utsaimin mengatakan : Hadits ini merupakan dalil bahwa berambut panjang bagi laki-laki merupakan kesombongan dan rambut laki-laki tidak boleh melebihi bahu atau ujung telinga atau yang semisalnya, karena yang biasa berhias dengan rambut panjangnya adalah wanita [Syarah Riyadhus-sholihin]

Demikian pula rambut pada dagu, yakni jenggot, hendaknya tidak dicukur karena dapat menyerupai wanita. Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

Cukurlah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot.


[HR. Bukhari no. 5893]

Baca Juga : Hukum Mencukur Jenggot dalam Islam

7. Mengepang atau Mengikat Rambut

Apabila rambut sudah memanjang maka sebaiknya dikepang atau diikat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Ummu Hani’ radhiyallaahu ‘anha beliau mengatakan :

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ وَلَهُ أَرْبَعُ غَدَائِرَ

Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam datang ke Mekah dan beliau memiliki empat kepangan


[HR. Abu Dawud no. 4191]

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُلَبِّدًا

Sungguh aku melihat Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam rambutnya dikepang


[HR. Bukhari 5914]

Demikan penjelasan hukum rambut panjang bagi laki-laki di dalam Islam, beserta adab Islami dalam merawat rambut. Kami memohon kepada Allah semoga artikel ini memberikan manfaat kepada kita semua. Amiin.

Related Posts :

Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawi

pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawi

Bismillah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya.

Pada pembahasan ilmu hadits kali ini, kita akan membahas pembagian hadits ditinjau dari banyak sedikitnya perawi, atau pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya.

Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi ada dua, yaitu :

  • Mutawatir
  • Ahad

A. Hadits Mutawatir (المتواتر)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits mutawatir :

1. Pengertian Mutawatir

Pengertian Mutawatir Secara Bahasa : Mutawatir adalah isim fa’il yang berasal dari kata At-Tawaatir (التواتر) yang memiliki arti At-Tataabi’ (التتابع) yaitu beriringan satu sama lain.

Sedangkan Secara Istilah, hadits mutawatir adalah :

ما رواه جماعة يستحيل في العادة أن يتواطؤوا على الكذب، وأسندوه إلى شيء محسوس

Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang perawi yang secara adat tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan mereka menyandarkan hadits tersebut pada sesuatu yang dapat diindra. [Mustholahul Hadits]

2. Syarat Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan oleh banyak periwayat disetiap tingkatan sanadnya.

Secara logis tidak mungkin jumlah periwayat yang banyak itu bersepakat untuk merekayasa terhadap hadits atau khabar tersebut. Oleh karenanya suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila terpenuhi 4 syarat :

  1. Diriwayatkan oleh banyak orang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah minimal orang yang meriwayatkannya. Adapun pendapat yang terpilih adalah setidaknya diriwayatkan oleh 10 orang.
  2. Banyaknya orang yang meriwayatkan hadits ini dijumpai di seluruh tingkatan sanadnya.
  3. Secara adat tidak mungkin mereka berkonspirasi untuk berdusta.
  4. Orang yang meriwayatkannya harus mengabarkannya dengan indranya, seperti kalimat : Aku mendengar (سمعنا), atau Aku melihat (رأينا) dan lain sebagainya.

3. Pembagian Hadits Mutawatir

Pertama, hadits mutawatir lafdzi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat yang redaksi dan maknanya sama antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya. Contoh :

مَنْ ‌كَذَبَ ‌عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya dari api neraka.

Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, dan diantara mereka ada 10 sahabat yang telah diberi kabar gembira masuk surga.

Kedua, hadits mutawatir ma’nawi : yaitu hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat namun redaksinya berbeda, namun maknanya sama.

Contohnya seperti hadits tentang syafa’at, mengusap dua khuf, mengangkat tangan ketika berdoa, telaga, dan hadits tentang melihat Allah. Hadits-hadits tersebut sama maknanya antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, hanya saja disampaikan dengan redaksi yang berbeda-beda.

4. Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah ilmu yakin yang mengharuskan seseorang untuk meyakini akan kebenarannya dan tidak boleh meragukan lagi dalam meyakininya bahwa ia benar-benar hadits Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk mengamalkan hadits mutawatir dengan meyakini akan kebenarannya jika hadits itu berupa berita dan melaksanakannya jika hadits itu berupa tuntunan.

B. Hadits Ahad (الآحاد)

Berikut pembahasan rinci mengenai hadits ahad :

1. Pengertian Hadits Ahad

Ahad (الآحاد) secara bahasa merupakan jama’ dari kata ahad (أحد) yang berarti satu.

Sedangkan secara istilah hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawi atau periwayatnya tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.

2. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian Hadits Ahad berdasarkan jumlah perawinya terbagi menjadi 3 :

Pertama, hadits masyhur. Secara bahasa masyhur adalah sesuatu yang menyebar atau populer. Sedangkan secara istilah hadit masyhur adalah hadits yang diriwayatkan 3 orang perawi atau lebih di setiap tingkatan sanadnya akan tetapi tidak sampai derajat mutawatir. Contoh :

المُسْلِمُ ‌مَنْ ‌سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain terselamatkan dari gangguan lisan dan tangannya.

Kedua, hadits aziz. Secara bahasa berasal dari kata ‘azza ya’izzu (عز يعز) yang berarti sedikit atau jarang. Sedangkan secara istilah, hadits aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi. Contoh :

لَا ‌يُؤْمِنُ ‌أَحَدُكُمْ، ‌حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Salah seorang dari kalian belum sempurna keimanannya hingga aku lebih ia cintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.

Ketiga, hadits gharib. Secara bahasa gharib memiliki arti menyendiri, atau asing. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah hadits yang jumlah perawinya hanya satu. Contoh :

إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ ‌بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.

Hadits ini tergolong hadits gharib karena tingkatan sanad mulai dari Umar bin Khattab yang meriwayatkan dari Rasulullah sallallaahu 'alaihi wasallam sampai Yahya bin Sa’id Al-Anshari hanya diriwayatkan oleh satu orang saja. Mereka semua ini dari kalangan tabi’in. Kemudian setelah Yahya banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut.

3. Hukum Hadits Ahad

Kebenaran hadits ahad bersifat dugaan, bisa saja ia benar berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam atau bisa saja salah. Oleh karenanya hadits ahad memberikan faedah ilmu nazhoriy, yakni ilmu yang berhenti di atas teori dan kesimpulan. Sehingga hadits ahad perlu diteliti lebih lanjut mengenai keshahihannya.

Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu yakin jika memiliki indikasi yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil dari Al-Quran dan hadits shahih.

Dari segi derajatnya hadits ahad tidak selamanya shahih. Ada yang shahih lizatihi, shahih lighairihi, hasan lizatihi, hasan lighairihi, dan juga dha’if.

Apabila hadits ahad itu tidaklah dhaif maka kita bisa mengamalkan kandungannya dan meyakini akan kebenarannya.

Namun, apabila hadits itu dhaif, maka ia tidak bisa memberikan faedah apapun, tidak bisa dianggap atau diduga berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan tanpa menjelaskan kelemahannya.

Namun, untuk hadits dha’if berupa anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), sekelompok ulama membolehkannya untuk disampaikan dengan 3 syarat :

  • Pertama, kelemahannya tidak berat.
  • Kedua, amalan yang disebutkan dalam hadits anjuran dan ancaman tersebut memiliki asal dari dalil yang shahih.
  • Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.

Sebagian ulama lain tidak membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if baik dalam fadha’ilul ‘amal maupun hukum, karena semuanya sama-sama syari’at agama.

Demikianlah pembahasan pembagian hadits berdasarkan jumlah perawinya. Semoga bermanfaat.

Oleh : Adam Rizkala

Refrensi :

  • Taisir Mustholahul-Hadits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan.Mustholahul-Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  • Mustholahul Hadits oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Related Posts :