8 Adab Penuntut Ilmu di Dalam Kelas atau Majelis Ilmu

Adab Penuntut Ilmu di Dalam Kelas

Bismillah, Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya.

Pada pembahasan sebelumnya telah kita pelajari bersama Adab Penuntut Ilmu Terhadap Materi Pelajaran. Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari bersama bagaimana Adab Penuntut Ilmu di Dalam Halaqah atau kelas saat mengikuti kegiatan pembelajaran bersama guru yang kami terjemahkan dari kitab “Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’I rahimahullah.

1. Mengikuti Kelas atau Halaqah Seorang Guru dan Mengulang Pelajaran Bersama Teman-teman

Seorang penuntut ilmu hendaknya tetap mengikuti halaqah seorang guru. Bahkan hendaknya ia ikuti semua majelis jika dimungkinkan. Karena hal itu akan menambahkan kebaikan, ilmu, adab, dan kemuliaan baginya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu :

“Janganlah merasa puas mengikuti panjangnya masa belajar kepada seorang guru. Sesungguhnya ia ibarat pohon kurma, kamu tinggal menunggu kapan ada sesuatu yang jatuh darinya kepadamu.”

Berusahalah untuk rutin berkhidmat pada guru (dengan mengikuti kelasnya) dan bersungguh-sungguhlah dalam menjalankannya. Karena hal itu akan memberinya kemuliaan dan penghargaan.

Bila memungkinkan, janganlah ia membatasi hanya mengikuti satu kelas saja, karena itu menunjukkan kurangnya semangat, kebahagiaan, dan lambatnya daya tangkap. Bahkan hendaknya ia ikuti semua pelajaran jika memiliki kecerdasan yang cukup. Berpartisipasilah bersama rekan-rekan hingga seakan-akan semua pelajaran dari guru itu adalah untuk dirinya.

Sesungguhnya semua itu diperuntukkan bagi mereka yang bersungguh-sungguh. Apabila ia tidak mampu mengikuti semuanya maka hendaknya ia memperhatikan yang lebih diprioritaskan.

Bagi orang-orang yang mengikuti majelis guru secara rutin hendaknya mereka saling mengkaji ulang (mudzakarah) terhadap faedah-faedah, masalah-masalah, serta kaidah-kaidah, dan lainnya. Hendaknya mereka juga mengulang-ngulang apa yang diajarkan oleh guru diantara mereka. Karena mengulang-ulang pelajaran terdapat manfaat yang sangat besar.

Waktu terbaik untuk mudzakarah adalah ketika guru bangkit meninggalkan majelis (baru selesai pelajaran) sebelum mereka bubar dari kelas, sebelum akal pikiran terpecah belah, dan sebelum pelajaran yang mereka ingat menghilang dari pemahaman mereka. Kemudian sesudah itu mereka bisa mudzakarah di waktu-waktu yang lainnya.

Al-Khatib mengatakan : “Sebaik-baiknya mudzakarah adalah di malam hari.”

Dahulu sebagian para salaf memulai mudzakarah setelah isya. Dan terkadang mereka tidak bangkit dari majelis mereka hingga mereka mendengar azan subuh.

Apabila seorang murid tidak menjumpai rekan untuk mudzakarah bersamanya maka hendaknya ia melakukannya sendiri. Ulangi makna dan lafal yang telah ia dengar di dalam hati agar ia menempel dalam benak. Sesungguhnya mengulang-ulang makna dengan hati sama halnya dengan mengulang-ulang lafal dengan lisan. Barang siapa yang sekedar menangkap pelajaran ketika di kelas bersama guru lalu setelah itu ia tinggalkan begitu saja dan tidak mengingat-ingatnya kembali maka akan sangat sedikit kemungkinannya untuk bisa sukses.

2. Adab Menghadiri Kelas dan Duduk di Dalamnya

Ketika menghadiri kelas atau majelis maka hendaknya ia memberi salam kepada para hadirin dengan suara yang terdengar oleh mereka. Hendaknya ia memberikan tambahan penghormatan kepada gurunya secara khusus. Demikian pula ketika kelas telah selesai.

Sebagian dari mereka menilai bahwa halaqah ilmu (pada saat kegiatan pembelajaran) termasuk tempat yang tidak layak untuk mengucapkan salam. Namun, pandangan ini bertentangan dengan apa yang sudah menjadi amalan dan kebiasaan. Pandangan ini beralasan jika ditujukan pada satu orang yang sibuk dengan menghafal dan mengulang pelajaran.

Setelah mengucapkan salam, maka janganlah ia melangkahi pundak para hadirin untuk duduk di dekat guru. Bahkan hendaknya ia duduk di tempat yang ia dapatkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

كُنَّا إِذَا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ أَحَدُنَا حَيْثُ يَنْتَهِي

Dahulu ketika kami mendatangi majelis Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam maka salah seorang diantara kami duduk di tempat yang didapatkannya.


[HR. Tirmidzi : 2725]

Namun jika sang guru dan para hadirin memintanya untuk kedepan, atau memang tempat duduknya, atau ia tau bahwa sang guru dan para hadirin mendahulukannya maka tidaklah mengapa.

Hendaknya tidak menyuruh orang lain berdiri atau mendesaknya dengan sengaja. Namun, apabila ada orang lain yang memberikan tempat duduknya maka sebaiknya tidak menerimanya kecuali jika hal itu mengandung kebaikan yang diketahui para hadirin dan mereka mengambil manfaatnya karena ia belajar dekat guru, atau karena memang ia lebih tua umurnya, dan lebih banyak keutamaannya dan kesalihannya.

Tidaklah patut bagi seseorang untuk mendahulukan orang lain untuk duduk lebih dekat dengan guru kecuali bagi orang yang lebih berhak karena lebih tua, lebih berilmu, atau lebih shaleh. Bahkan hendaknya penuntut ilmu bersemangat untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih dekat dengan guru tanpa melangkahi orang lain yang lebih utama untuk duduk dekat guru.

Apabila guru berada di depan maka jamaah yang lebih utama lebih berhak berada di kanan dan kirinya. Jika guru berada di sisi teras atau semisalnya maka orang-orang yang dimuliakan duduk di depannya dekat dinding atau pinggirnya.

Sepatutnya bagi orang-orang yang menghadiri kegiatan pembelajaran agar duduk berkumpul pada satu arah pandang guru. Tujuannya agar pandangan guru saat mengajar bisa tertuju kepada mereka semua. Kebiasaan ini sudah berlaku di dalam majelis-majelis pengajaran bahwa orang-orang yang istimewa duduk di depan guru, sementara orang-orang yang dihormati dari pengawas dan pengunjung di sisi kanan dan kirinya guru.

3. Adab dengan Para Hadirin

Hendaknya berperilaku sopan kepada para hadirin di majelis seorang guru. Sesungguhnya hal itu merupakan sopan santun terhadapnya dan penghormatan terhadap majelis guru, karena mereka adalah rekan-rekannya. Maka hormatilah rekan-rekannya, muliakanlah para senior dan rekan-rekannya. Dan janganlah duduk di tengah-tengah halaqah dan di depan seseorang kecuali dalam keadaan terpaksa. Janganlah duduk diantara dua rekan dan dua sahabat kecuali atas izin mereka berdua. Dan janganlah duduk di atas orang yang lebih utama darinya.

Sepantasnya bagi para hadirin apabila ada orang yang baru datang maka hendaknya ia menyambutnya, serta meluaskan dan melapangkan majelis untuknya dan memuliakannya dangan cara yang pantas. Apabila majelis telah dilapangkan untuknya dan ia merasa sempit maka hendaknya ia rapatkan dirinya dan tidak melapangkannya, tidak memberikan samping tubuhnya atau punggungnya kepada hadirin yang lain, serta berhati-hati darinya dan menjaganya selama sang guru sedang mengajar. Jangan pula ia duduk bersandar di samping tubuh rekannya, atau meletakkn siku di samping tubuh rekannya, atau keluar dari tempat duduknya dengan maju atau mundur.

Janganlah seorang penuntut ilmu berbicara ketika pelajaran sedang berlangsung dengan pembicaraan yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran atau memotong pembahasan sang guru. Ketika memasuki suatu pelajaran maka janganlah ia membicarakan pelajaran sebelumnya atau pelajaran yang lainnya. Karena hal ini dapat mengakibatkan terlewatnya faedah, kecuali atas izin guru atau pengampu pelajaran.

Bila ada sebagian murid yang berlaku tidak sopan pada temannya maka hanya sang guru yang boleh menghardiknya, kecuali guru memberi izin dengan isyarat atau peringatan rahasia diantara keduanya sebagai nasehat.

Jika ada murid yang berlaku tidak sopan pada guru maka hadirin wajib menghardik dan menegurnya, serta membela gurunya sebisa mungkin dalam rangka memenuhi haknya.

Janganlah seorang penuntut ilmu ikut serta (nimbrung) di dalam pembicaraan orang lain, apalagi (ikut nimbrung pembicaraan) guru. Sebagian ahli hikmah mengatakan :

“Diantara sopan santun adalah tidak ikut serta dalam pembicaraan orang lain meskipun ia lebih mengetahui dari pada mereka tentang apa yang dibicarakan.”

Al-Khatib mengatakan : “Janganlah ikut serta dalam pembicaraan orang lain, meskipun engkau mengetahui akar dan cabang pembicaraannya.”

Namun, jika ia tahu bahwa guru atau pembicara tidak keberatan (bila ia ikut serta) maka tidaklah mengapa.

4. Adab Bertanya

Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak malu menanyakan permasalahan yang tidak ia fahami, dan berusaha memahaminya dengan cara yang sopan, ucapan yang baik, dan santun.

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : “Barang siapa yang tipis wajahnya, maka tipis pula ilmunya.”

Mujahid berkata : “Tidak akan mempelajari suatu ilmu orang yang pemalu dan sombong.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

Sebaik-baiknya wanita adalah wanita anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami agama.


(HR. Muslim : 332)

Ummu Sulaim berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الحَقِّ، هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ

Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah wajib mandi ketika dia bermimpi?


(HR. Bukhari : 282)

Sebagian orang arab berkata : “Tidaklah buta orang yang selalu bertanya, akan tetapi buta yang sempurna adalah terdiam lama di atas kebodohan.”

Ada juga yang berkata : “Barang siapa yang tipis wajahnya ketika bertanya maka nampaklah kekurangannya di suatu perkumpulan.”

Janganlah bertanya tidak pada tempatnya kecuali karena diperlukan atau ia tahu bahwa sang guru tidak keberatan. Dan jika guru diam dan tidak menjawab maka janganlah memaksa untuk menjawab. Dan jika guru salah dalam menjawab maka janganlah menyanggahnya di saat itu.

Sebagaimana tidak boleh malu bertanya demikian pula malu mengatakan : “Aku tidak faham.” Ketika guru bertanya kepadanya, karena hal itu (malu bertanya dan berkata tidak faham) membuatnya terlewatkan dari kebaikan, cepat atau lambat.

Adapun kebaikan yang akan segera diperoleh adalah ia dapat menghafal suatu permasalahan dan mengetahuinya, serta sang guru akan menilainya sebagai orang yang jujur, wara’, dan semangat.

Sedangkan kebaikan yang suatu saat ia peroleh adalah ia terselamatkan dari sifat dusta, munafik, dan membiasakan untuk berbenah diri.

Al-Khalil mengatakan : “Kedudukan kebodohan itu antara rasa malu dan sombong.”

Dan diantara adab seorang guru adalah hendaknya ia tidak menanyakan pada orang yang pemalu : “Apakah kamu sudah faham?” akan tetapi menanyakan pertanyaan untuk mengetahui sejauuh mana kepahamannya.

Jika sang guru bertanya padanya maka janganlah mengatakan : “Iya” hingga ia benar-benar memahaminya agar ia tidak kehilangan pemahaman dan tidak terkena dosa dusta.

5. Tidak Mendahului Antrian Orang Lain

Hendaknya memperhatikan antrian dan tidak menyerobot antrian orang lain. Diriwayatkan ada lelaki Anshar datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau, dan datanglah lelaki lain dari Tsaqif, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata :

يَا أَخَا ثَقِيفَ إِنَّ الْأَنْصَارِيَّ قَدْ سَبَقَكَ بِالْمَسْأَلَةِ

Wahai orang tsaqif, sesungguhnya lelaki Anshar ini datang lebih dahulu untuk bertanya


(HR. Baihaqi dalam Kitab Dala-il An-Nubuwwah : 6/293)

Al-Khatib berkata : “Dianjurkan bagi orang yang terlebih dahulu datang untuk mendahulukan orang asing karena kehormatannya kuat dan haknya wajib.”

Demikian pula jika ada orang yang datang sesudahnya memiliki hajat yang mendesak sementara orang yang datang awal mengetahui akan hal itu atau sang guru memberi isyarat untuk mendahulukannya maka dianjurkan untuk mendahulukan orang tersebut.

Maka jika tidak ada satupun alasan dari yang disebutkan maka makruh mendahulukan orang lain dalam antrian. Karena membacakan ilmu dan bersegera dalam melakukannya adalah perkara ibadah. Dan mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh.

Mendapatkan antrian awal adalah dengan datang lebih awal di majelis guru. Dan hak antriannya tidaklah gugur bila ia meninggalkan antriannya untuk suatu keperluan mendesak seperti buang hajat atau memperbaharui wudhu jika dia kembali setelah menyelesaikan hajatnya.

Apabila ada dua orang datang secara bersamaan atau mereka berdua bertikai, maka guru mengundinya atau memilih salah satu diantara keduanya untuk didahulukan apabila memang sang guru adalah pengajar sukarela. Namun bila ia adalah pengajar tetap yang harus mengajar keduanya maka hendaknya ia mengundinya. Namun, apabila sudah ditetapkan peraturan oleh penanggung jawab sekolah untuk mengajar murid-muridnya pada waktu tertentu maka janganlah ia mendahulukan orang lain di waktu itu tanpa izin mereka.

6. Adab Membaca Pelajaran Kepada Guru

Hendaknya ia duduk dihadapan guru sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, membawa kitab atau buku yang hendak ia baca dihadapan gurunya, dan pada saat membaca tidak meletakkannya di atas lantai dalam keadaan terbuka, akan tetapi hendaknya ia membawanya dengan kedua tangannya dan membacakannya dihadapan guru. Janganlah ia membacanya sebelum guru mengizinkannya. Al-Khatib menyebutkan tentang para salaf ia mengatakan : “Seorang murid tidak boleh membaca hingga guru mengizinkannya.”

Janganlah membacakan ilmu ketika guru sedang sibuk, bosan, sedih, marah, haus, mengantuk, gelisah, ataupun lelah. Apabila ia melihat guru memilih untuk berhenti maka berhentilah, tidak perlu menunggu sampai ia mengatakan : “Berhentilah.”

Jika ia tidak mengetahui hal itu, lalu sang guru memintanya untuk berhenti maka berhentilah pada bagian yang diperintahkan oleh guru untuk berhenti dan tidak meminta tambahan. Jika guru telah menentukan kadarnya maka janganlah melampauinya. Seorang murid tidak boleh mengatakan pada rekannya “berhentilah” kecuali dengan isyarat dari gurunya atau ia tau bahwa sang guru menginginkan hal itu.

7. Lanjutan Adab Membaca Pelajaran Kepada Guru

Ketika giliran membaca telah tiba, maka mintalah izin kepada guru sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ketika guru telah mengizinkan maka bacalah ta’awwudz dan basmalah, lalu hamdalah, dan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasllam, kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Kemudian doakanlah sang guru, serta kedua orangtuanya, para gurunya, dirinya, dan seluruh kaum muslimin.

Demikian itulah yang harus dilakukan ketika memulai membaca pelajaran, mengulanginya, menelaahnya, atau membandingkannya di depan guru atau dibelakangnya. Hanya saja ia khususkan sang guru dengan menyebut namanya dalam doa pada saat membacanya dan mendoakan semoga Allah merahmati penulis kitab pada saat membacanya.

Dan doa seorang murid ketika mendoakan gurunya : “Semoga Allah meridhoi engkau.” Atau “Semoga Allah meridhoi guru kami.” Atau “Semoga Allah meridhoi imam kami.” Maksudnya adalah guru kamu. Dan ketika telah selesai pelajaran maka ia juga mendoakan gurunya.

Sang guru juga hendaknya mendoakan muridnya sebagaimana murid mendoakannya. Jika murid tidak membuka bacaannya dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya (yaitu ta’awwudz, basmalah, hamdalah, shalawat, dan doa) karena tidak tahu atau lupa maka sang guru hendaknya mengingatkannya, mengajarkannya, dan memintanya untuk menyebutkannya. Karena hal itu merupakan adab yang paling penting. Di dalam hadits telah dijelaskan bahwa dalam memulai suatu perkara yang penting maka hendaknya ia mulai dengan hamdalah, dan ini adalah salah satu diantara perkara yang penting itu.

8. Adab Kepada Teman-teman

Seorang penuntut ilmu hendaknya memotivasi teman-temannya di dalam menuntut ilmu. Hendaknya ia tunjukkan jalan-jalannya, dan memalingkan mereka dari hal-hal yang menyibukkan mereka dari menuntut ilmu, meringankan beban mereka, saling belajar atau mengkaji bersama mereka pada apa yang ia peroleh berupa faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan permasalahan-permasalahan yang asing, serta menasehati mereka dalam masalah agama. Dengan begitu maka hatinya menjadi bersinar dan ilmunya berkembang. Dan barang siapa yang kikir kepada mereka maka ilmunya tidak akan tumbuh, kalaupun tumbuh maka tidak berbuah, dan para salafpun telah membuktikan hal itu.

Dan janganlah seorang penuntut ilmu berbangga diri kepada mereka, atau ujub dengan kecerdasannya, bahkan hendaknya ia memuji Allah ta’ala atas hal itu, dan meminta tambahan kepada-Nya dengan melanggengkan syukur.

Penerjemah : Adam Rizkala

Sumber Kitab :تذكرة السامع والمتكلم في أدب العالم والمتعلم

KLIK : Download PDF Kitab Asli

Related Posts :