Penjelasan Hadits Tentang Niat dan Faedahnya - Hadits Arbain ke 1
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 2/28/2019
![]() |
Segala puji bagi Allah, kita memuji, memohon
pertolongan, dan memita ampun hanya kepada-Nya
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya hingga hari kiamat.
Adapun pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari
bersama hadits pertama dari kitab arba'in nawawi, yaitu hadits tentang
niat. Pada artikel ini kita akan mengetahui apa maksud dari hadits tersebut,
serta faedah apa saja yang dapat kita ambil. Berikut ulasannya :
A. Hadits Tentang Niat
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ تعالى عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله تعالى
عليه وعلى آله وسلم يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله
فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
B. Terjemahan Hadits
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs Umar bin Al Khattab radhiyallaahu
‘anhu ta’ala, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa ‘alaa aalihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang ia niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia
dapatkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya pada apa yang
ia niatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh kedua imam hadits, yakni
imam Bukhari dan imam Muslim di dalam kedua kitab shahihnya yang mana keduanya
merupakan kitab paling shahih yang pernah disusun.
C. Penjelasan Hadits Tentang Niat
1. Sekilas Tentang Hadits Ini
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi inti
ajaran Islam. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata : “Hadits ini
merupakan sepertiganya ilmu, dan hadits ini masuk di dalam tujuh puluh bab
fikih.”[1]
Imam Ahmad juga mengatakan : “Pokoknya Islam
(dibangun) atas tiga hadits : (yaitu)
(1) haditsnya Umar : [Amal itu tergantung niatnya],
(2) haditsnya ‘Aisyah : [Barang siapa yang membuat
perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, maka ia tertolak],
(3) dan haditsnya Nu’man bin Basyir : [Halal itu jelas
dan haram itu jelas]” [2]
Bahkan sebagian ulama terdahulu mengatakan bahwa hadits ini
sepantasnya diletakkan di bagian pertama dalam kitab-kitab ilmu.
Karena itulah imam Bukhari juga menempatkan hadits ini di
bagian yang pertama dalam kitab shahihnya. Tujuannya adalah mengingatkan
pembaca kitab tersebut agar mengikhlaskan niatnya ketika mempelajari suatu ilmu.
2. Amalan Tergantung Niatnya
Yang dimaksud “إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ” adalah : Bahwa amal-amal itu bisa menjadi rusak atau tidak,
diterima atau ditolak, diberi pahala atau tidak itu disebabkan oleh niatnya.
Adapun niat secara bahasa berarti al-qashdu (القصد) yang berarti
maksud atau tujuan. Sedangkan niat secara syar’i adalah tekat dalam
mengerjakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Niat letaknya di dalam hati, dan ia merupakan amalan
hati. Niat sama sekali tidak ada hubungannya dengan lisan maupun anggota badan.
Sehingga niat seseorang tidak dapat dinilai dari lisan dan perbuatan pelakunya.
Yang mengetahui niat seseorang hanyalah ia sendiri dan
Allah ta’ala. Maka salah apabila niat itu kita ucapkan. Bahkan para
ulama menilainya sebagai perbuatan bid’ah. Karena, tidaklah dijumpai
sama sekali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkan niat
tatkala hendak shalat atau hendak mengamalkan suatu amalan.
3. Mendapat Apa yang Diniatkan
Yang dimaksud “وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى” bahwa manusia akan mendapatkan sesuatu dari apa yang ia
niatkan. Apabila ia
beribadah diniatkan
sebagai ibadah maka ibadahlah yang ia dapatkan. Namun, apabila ibadah diniatkan
hanya sekedar rutinitas maka hanya rutinitaslah yang ia dapatkan.
Niat adalah pembeda antara ibadah dan rutinitas, dan
pembeda antara ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Apabila kita makan atau
minum karena memenuhi keinginan saja maka makan dan minum kita dinilai sebagai
rutinitas.
Namun, apabila kita makan atau minum karena memenuhi
perintah Allah – “makan dan minumlah” (QS. Al-A’raf : 31) – maka makan
dan minum kita dinilai sebagai ibadah. Ini menunjukkan bahwa niat bisa
menjadikan pembeda antara ibadah dan rutinitas.
Karena itulah para ahli ilmu mengatakan bahwa ibadahnya
orang yang lalai hanyalah bernilai sebagai rutinitas, sedangkan rutinitasnya
orang yang tersadar bernilai sebagai ibadah.
Kemudian, niat juga menjadi pembeda antara ibadah satu
dengan ibadah yang lainnya. Apabila ada seseorang yang shalat dua rakaat dan
yang ia niatnya adalah shalat sunnah maka shalat itu dinilai sebagai shalat
sunnah.
Namun, bila ada seseorang yang shalat dua rakaat dan
niatnya adalah sebagai shalat wajib maka shalat itu dinilai sebagai shalat
wajib. Ini menunjukkan bahwa niat bisa menjadi pembeda antara satu ibadah
dengan ibadah lainnya, walaupun ibadah itu sama dari sisi cara dan gerakannya.
4. Hijrah untuk Allah dan Rasul
Setelah disebutkannya tentang masalah niat, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam memberi contoh dalam masalah niat ini dengan kasus hijrah.
Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan. Adapun secara
syar’i hijrah berarti berpindah dari negeri kafir menuju negeri islam.
Adapun maksud dari “فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله” adalah bahwa
barang siapa yang niat hijrahnya ikhlash karena mengharapkan wajahnya Allah
agar Allah terima hijrahnya dan
Allah catat sebagai golongan orang yang berhijrah, serta hijrah karena
mengamalkan sunnah rasul-Nya maka hijrahnya ini kepada Allah dan Rasul-Nya.
Perlu ditekankan lagi bahwa nilai yang diambil
dari hijrah tersebut bukan dari apa yang tampak pada hijrahnya. Namun, nilai
yang diambil adalah dari maksud, tujuan atau niat hijrahnya.
Apabila niat hijrahnya untuk menolong agama Allah dan
Rasul-Nya maka hijrahnya dinilai sebagai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hijrah yang seperti inilah yang diterima oleh Allah dan ia diberi pahala atas
hijrahnya.
Apabila ia telah keluar berhijrah dengan niat tersebut
lantas ternyata ia meninggal dunia di tengah perjalanan hijrahnya maka ia
dicatat oleh Allah sebagai orang yang berhijrah. Allah ta’ala berfirman :
وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ
Barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah.[3]
5. Hijrah untuk Wanita dan Dunia
Maksud dari “وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ” adalah barang siapa yang niat hijrahnya dari negeri kafir
menuju negeri Islam kepada selain Allah, yakni karena ketamakannya terhadap
dunia, atau karena ingin menjumpai wanita yang ingin ia nikahi agar bisa
menikahinya, maka hasil atau nilai dari hijrahnya hanya kepada apa yang ia
niatkan.
Ia tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah azza wa
jalla dan ia juga tidak akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang
berhijrah. Meskipun tampaknya ia berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam maka
sama sekali tidak diberi pahala oleh Allah dan tidak dicatat oleh Allah sebagai
orang yang berhijrah. Maka ia hanya akan mendapatkan dunia dan wanita yang jadi
tujuan hijrahnya.
6. Asbabul Wurudil Hadits (Penyebab Munculnya Hadits)
Dalam hadits tersebut kita mengetahui bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menyinggung masalah seorang yang hijrahnya bertujuan untuk
dunia dan menikahi wanita.
Penyebab beliau menyinggung masalah itu adalah adanya
seorang yang hijrah dari Mekah ke Madinah untuk menikahi wanita yang konon
bernama Ummu Qois. Karena itulah kisah ini dikenal dengan kisah Muhajir Ummu
Qois.
Namun, menurut Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal
Hikam, riwayat yang menyebutkan kisah ini banyak ditulis dalam kitab-kitab mutaakhhiriin
dan beliau tidak menjumpai sanad yang shahih tentang riwayat kisah ini.
D. Faedah Hadits
1. Merupakan Hadits yang Menjadi Intinya Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa hadits
ini merupakan poros atau inti dari ajaran Islam. Para ulama menjelaskan bahwa
inti dari ajaran Islam terdapat dalam dua hadits, yaitu haditsnya Umar tentang
niat, dan haditsnya Aisyah tentang tertolaknya amalan bid’ah.
Kedua hadits ini tidak dapat terpisahkan. Karena hadits
tentang niat merupakan timbangan amalan hati, sedangkan hadits tentang
tertolaknya amalan bid’ah merupakan penopang amalan anggota badan.
Maka dapat dikatakan bahwa syarat diterimanya amalan ada
dua, yaitu :
- Niatnya ikhlas karena Allah
- Ittiba' atau mengikuti apa yang sudah disyariatkan
Contoh :
- Apabila ada seseorang mengamalkan ibadah dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi ibadah yang diamalkannya merupakan amalan bid’ah, maka apabila ditinjau dari niatnya dapat dikatakan niatnya sudah baik. Akan tetapi apabila ditinjau dari amalannya maka ini bukanlah amalan yang baik. Maka ia tidak mendapatkan pahala atas amalan yang dikerjakannya bahkan berdosa. Karena telah jelas bahwa amalan bid’ah adalah amalan yang tertolak.
- Apabila ada seseorang melaksanakan shalat dan sudah sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Islam tanpa menambah-nambahnya, akan tetapi ia niatkan shalat itu karena mencari perhatian orang lain, maka apabila ditinjau dari sisi amalannya dapat dikatakan amalannya sudah baik. Akan tetapi apabila ditinjau dari niatnya maka niatnya bukanlah niat yang baik. Maka ia juga tidak mendapatkan pahala dari shalat yang dikerjakannya.
2. Wajibnya Menata Niat Sebelum Melaksanakan Ibadah
Apabila kita ingin melaksanakan suatu ibadah, hendaknya
kita menata niat terlebih dahulu dan tidak menyamakan niat antara ibadah satu
dengan ibadah lainnya. Maka kita wajib memisahkan niat antara satu ibadah
dengan ibadah lainnya.
Contoh :
- Apabila seseorang ingin melaksanakan shalat dhuhur maka ia wajib meniatkan shalatnya sebagai shalat dhuhur. Jangan sampai ia berniat pada niat shalat yang lainnya, atau bahkan tidak terbesit niat sama sekali di dalam hatinya. Karena setiap shalat niatnya berbeda-beda, dan shalat tanpa diiringi niat maka akan dinilai sebagai rutinitas.
Lalu, apabila ada seseorang keluar di waktu dhuhur dalam
keadaan sudah berwudhu lalu ia memasuki masjid, akan tetapi tidak ada terbesit
di dalam hatinya bahwa ia mau melaksanakan shalat dhuhur, dan hanya terbesit di
hatinya bahwa ia ke masjid karena sudah memasuki waktu shalat wajib, maka
apakah ini sudah mencukupi?
Maka ada dua jawaban dalam masalah ini :
- Menurut madzhab hambali, ini tidak cukup. Karena ia tidak menentukan atau menegaskan shalat apa yang ingin ia kerjakan.
- Menurut yang lain, tidaklah dipersyaratkan untuk menegaskan sesuatu yang sudah tertentu. Maka cukuplah bagi dia meniatkan shalat itu dan menentukan shalat dengan ketentuan waktunya.
Menurut Syaikh Al Utsaimin, dalam kitabnya Syarah Arbain Nawawi, pendapat yang benar dalam
masalah ini adalah pendapat yang kedua. Terkadang seseorang datang dengan
tergesa-gesa untuk mengikuti shalat berjamaah namun tidak terbesit di dalam
hatinya bahwa ia berniat shalat dhuhur.
Akan tetapi yang terbesit dalam hatinya hanyalah berniat
bahwa ia melaksanakan shalat wajib di waktu itu, dan tidaklah ia keluar dari
rumahnya untuk shalat berjamaah kecuali dengan niat shalat tersebut. Kasus
seperti inilah yang banyak terjadi dalam keseharian kita.
3. Anjuran untuk Senantiasa Ikhlas Karena Allah
Dalam hadits tersebut terdapat anjuran bagi kita agar
kita senantiasa ikhlas semata mengharapkan ridha Allah azza wa jalla
dalam beribadah. Hal ini dikarenakan ikhlas merupakan penopang utama terpenting
yang mana manusia diciptakan untuk itu. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[4]
4. Hijrah Merupakan Amal Shalih
Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa hijrah
merupakan amal shalih apabila dikerjakan dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya.
Setiap amalan yang dimaksudkan untuk Allah dan Rasul-Nya maka ia adalah amal
shalih. Hal ini dikarenakan niatnya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dan setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah adalah ibadah.
Hijrah hukumnya wajib bagi setiap mukmin yang tidak mampu
menjalankan agamanya dengan baik dinegeri kafir sehingga keislamannya tidak
bisa sempurna kecuali dengan hijrah.
Hukum wajibnya hijrah ini tidak hanya dikhususkan untuk
Nabi dan para sahabatnya saja. Hukum hijrah ini terus berlaku hingga menjelang datangnya
hari kiamat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ
التَّوْبَةُ، وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ
مَغْرِبِهَا
Hijrah ini tidak terputus sampai
kesempatan bertaubat terputus, dan kesempatan bertaubat tidak akan terputus
sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya.[5]
Lalu, bagaimana apabila ia masih mampu menjalankan
agamanya?
Jawabannya : Apabila ia berada di negeri kafir akan
tetapi ia tetap mampu menjalankan agamanya dengan baik, sementara pemerintah
setempat dan orang-orang di negeri tersebut tidak ada yang mencegah dirinya
untuk menjalankan agamanya, maka hukumnya mustahabbah.
Adapun apabila ia berada di negeri fasik yang tampak dan
jelas kefasikannya, maka apabila ia khawatir dirinya terjerumus pada kefasikan
tersebut maka ia wajib berhijrah. Namun, apabila ia tidak khawatir terjerumus
maka tidak wajib.
Bahkan apabila masih ada perbaikan di negeri tersebut
maka ia wajib memperbaiki negeri tersebut dengan cara berdakwah, memerintahkan
kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran.
Demikianlah hadits tentang niat dan artinya beserta
penjelasan dan faedahnya. Semoga bermanfaat dan barokah.
Oleh : Adam
Rizkala
SEKILAS TENTANG KITAB HADITS ARBA'IN NAWAWI
Hadits
Arbain An-Nawawi Kitab hadits Arbain an-Nawawi merupakan kitab yang
menghimpun hadits-hadits penting yang termasuk Jawami al-Kalim (singkat
tapi padat makna). Kitab ini berukuran kecil dan tidak asing di tengah
kaum Muslimin, bahkan banyak dihafal oleh para penuntut ilmu di berbagai
penjuru dunia. Hal tersebut karena walaupun kitab ini kecil, namun
sarat dengan nilai-nilai dasar Syariat Islam yang sangat penting, yang
hanya memuat 42, hadits namun merupakan intisari ajaran Islam.
Oleh
karena itu, kami menyajikan buku ini untuk Anda, dalam format: memuat
matan hadits Arbain an-Nawawi dan terjemahnya, berikut intisari
kandungan hadits berdasarkan syarah Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, yang disajikan dengan bahasa yang lugas dan jelas, simpel
dan praktis, yang menjadikan buku ini cocok untuk dibaca oleh semua
kalangan, baik tua maupun muda, kalangan terpelajar maupun masyarakat
awam. Buku ini adalah rujukan primer bagi kaum Muslimin, bahkan patut
dimasyarakatkan agar dihafal.
Apabila Anda berminat memiliki kitab ini, dapatkan dengan mengklik gambar di bawah ini :
[1] Lihat : Jami’
Al-Ulum wa Al-Hikam (Bairut: Dar Ibn Katsir) hlm. 31
[2] Ibid.
[3] QS. An-Nisa’
ayat 100
[4] QS.
Adz-Dzaariyat ayat 56
[5] HR. Abu Dawud
no. 2479
Ajibb👍
ReplyDelete