MENU

Kitab Qowaidul Arba : 4 Kaidah Memahami Tauhid dan Syirik


4 Kaidah Memahami Tauhid

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan taufiq dan hidayah kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.

Sebagai seorang muslim kita wajib memahami konsep tauhid dan syirik dalam agama kita. Konsep ini telah dijelaskan dengan mudah oleh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dalam kitabnya Qowaidul Arba’.

Kitab ini membahas empat kaidah utama dalam memahami tauhid dan syirik. Berikut ini terjemahan dari kitab Qowa’idul Arba’ (Empat Kaidah) yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab rahimahullah :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Aku memohon kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung, semoga Ia melindungi engkau di dunia dan akhirat, dan semoga Ia jadikan engkau diberkahi di manapun engkau berada, dan semoga Ia jadikan engkau ketika diberi maka bersyukur, dan ketika dicoba maka bersabar, dan ketika berbuat dosa maka beristighfar, karena ketiga hal inilah merupakan tanda kebahagiaan seseorang.

Ketahuilah! Semoga Allah membimbingmu untuk mentaati-Nya :

Bahwa Al-Hanifiyyah,[1] yakni agamanya Ibrahim adalah tatkala engkau menyembah Allah semata dengan mengikhlaskan agama ini untuk-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(QS. Adz-Dzariyat : 56)

Maka jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah, bahwa ibadah itu tidak dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid. Sebagaimana shalat tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah.

Jika syirik telah masuk ke dalam ibadah maka ibadah itu akan rusak, seperti hadats ketika masuk ke dalam thaharah.

Jika engkau telah mengetahui bahwa apabila syirik itu mencampuri ibadah maka syirik itu akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta pelakunya akan menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka engkaupun (seharusnya) mengetahui bahwa perkara terpenting yang wajib bagimu adalah mengenal hal itu.

Semoga Allah membebaskanmu dari jerat ini, yaitu syirik kepada allah, yang mana Allah telah berfirman tentang hal itu :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
(QS. An-Nisa’ : 48)

Dan hal itu semua dapat diketahui dengan mengenal empat kaidah yang telah Allah sebutkan dalam kitab-Nya.

1. Kaidah Pertama

Hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu mengakui bahwa Allah ta’ala adalah sang Pencipta dan sang Pengatur.

Namun, hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
(QS. Yunus : 31)

2. Kaidah Kedua

Bahwa mereka (kaum musyrikin) mengatakan : “Tidaklah kami berdoa kepada mereka (berhala) dan menghadapkan wajah kepada mereka melainkan agar mendapatkan kedekatan dan syafa’at.[2]

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(QS. Az-Zumar : 3)

Dan dalil syafa’at adalah firman Allah ta’ala :

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah".
(QS. Yunus : 18)

Syafa’at itu ada dua macam :
  • Syafa’at yang ditiadakan
  • Syafa’at yang ditetapkan
Adapun syafa’at yang ditiadakan adalah syafa’at yang diminta dari selain Allah terhadap parkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.
(QS. Al-Baqarah : 254)

Sedangkan syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta dari Allah.

Adapun yang memberi syafa’at adalah orang yang dimuliakan dengan syafa’at. Sedangkan orang yang diberi syafa’at adalah orang yang Allah ridhai ucapan dan amalannya setelah izin Allah. Sebagaimana yang telah Allah ta’ala firmankan :

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya
(QS. Al-Baqarah : 255)

3. Kaidah Ketiga

Bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus kepada manusia yang berebada-beda peribadatannya.

Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah para Nabi dan orang shalih, ada yang menyembah bebatuan dan pepohonan, dan ada yang menyembah kepada matahari dan bulan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerangi mereka semua dan tidak membeda-bedakannya diantara mereka. Dalilnya adalah firman-Nya ta’ala :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
QS. Al-Baqarah : 193

Dalil (menyembah) matahari dan bulan (merupakan kesyirikan) adalah firman Allah ta’ala :

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan
(QS. Fush-shilat : 37)

Dalil (menyembah) malaikat (merupakan kesyirikan) adalah firman Allah ta’ala :

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا

dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.
(QS. Ali Imran : 80)

Dalil (menyembah) para Nabi (merupakan kesyirikan) adalah firman-Nya ta’ala :

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".
(QS. Al-Maidah : 116)

Dalil (menyembah) orang-orang shalih (merupakan kesyirikan) adalah firman-Nya ta’ala :

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya
(QS. Al-Isra’ : 57)

Dalil (menyembah) bebatuan dan pepohonan (merupakan kesyirikan) adalah firman-Nya ta’ala :

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ ﴿١٩﴾ وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ ﴿٢٠﴾
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, (19) dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (20)
(QS. An-Najm : 19-20)

Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsiy radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah keluar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain. Waktu itu kami baru saja masuk Islam.

Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mana mereka beriktikaf di situ dan mereka gantungkan senjata-senjata mereka di pohon itu, yang mana pohon itu bernama Dzatu Anwath.

Ketika kami melewati pohon tersebut, kami mengatakan : “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.” (Al-Hadits)[3]

4. Kaidah Keempat

Bahwa orang-orang musyrik pada zaman kita ini kesyirikannya lebih parah daripada orang-orang muysrik terdahulu.

Karena orang-orang musyrik terdahulu hanya melakukan perbuatan syirik pada saat lapang. Adapun ketika dalam keadaan sulit mereka justru mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah.

Sementara orang-orang musyrik di zaman kita ini, mereka senantiasa melakukan kesyirikan baik di saat lapang maupun susah.

Dalil (perihal orang musyrik terdahulu) adalah firman Allah ta’ala :

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)
(QS. Al-Ankabut : 65)

Diterjemahkan oleh : Adam Rizkala

Ringkasan

Dari keempat kaidah tersebut dapat kita ambil beberapa poin sebagai berikut :
  • Pengakuan seseorang terhadap Allah sebagai pencipta dan pengatur tidak cukup untuk menjadikan ia sebagai muslim. Karena orang kafirpun mengakui Allah sebagai penciptanya.
  • Orang musyrik menjadikan berhala mereka sebagai sesembahan dalam rangka mencari syafaat dan memerantarai mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah.
  • Rasulullah memerangi semua peribadatan kepada selain Allah apapun bentuknya tanpa membeda-bedakannya.
  • Orang musyrik terdahulu langsung berdoa kepada Allah saat dalam keadaan sulit namun mereka kembali syirik ketika sudah dalam keadaan lapang. Namun, orang musyrik zaman sekarang lebih parah, karena dalam keadaan apapun (sulit maupun lapang) tetap berbuat syirik.
Dari kesemua itu dapat kita ambil pelajaran dan kesimpulan sebagai berikut :
  • Untuk menjadi seorang muslim, seseorang harus mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.
  • Di dalam ibadah kepada Allah, dilarang menjadikan berhala sebagai perantara baik itu para Nabi, malaikat, orang-orang shalih, para wali, pohon ataupun batu.
  • Segala peribadatan kepada selain Allah apapun bentuknya adalah kesyirikan.
  • Seorang muslim dalam keadaan apapun harus senantiasa mentauhidkan Allah dalam ibadahnya baik dalam keadaan lapang maupun sulit.


[1] Syaikh Shalih Al-Fauzan menerangkan dalam kitab syarah Qowa’idul Arba’ bahwa Al-Hanifiyyah adalah agama Al-Hanif, dan ia adalah Ibrahim alaihis sholatu was salam. Al-Hanif ialah menghadap kepada Allah dan berpaling kepada selain-Nya.
[2] Syaikh Shalih Al-Fauzan menerangkan bahwa orang-orang musyrik itu hanya menjadikan sesembahan (berhala) mereka sebagai pemberi syafa’at, yakni menjadi perantara di sisi Allah untuk menyampaikan kebutuhan mereka.
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam kitab sunanya no. 2180 dan Imam Ahmad dalam kitab musnadnya no. 21390.

No comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)