Nasehat Islami : Jalan yang Lurus VS Jalan yang Menyimpang
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 6/23/2019
![]() |
Kita sebagai umat Islam meyakini dan sepakat bahwa satu-satunya agama yang
benar adalah agama Islam. Dan kita meyakini bahwa semua agama di luar Islam
adalah agama yang tidak akan pernah diterima oleh Allah.
Namun, yang
menjadi permasalahan adalah umat Islam sendiri berpecah menjadi beberapa
golongan. Hal ini tidak bisa kita pungkiri mengingat Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam telah menubuwatkan hal ini dan pada hari ini sudah kita
saksikan bukti dari nubuwat beliau.
Maka, diantara
Islam-Islam yang ada pada saat ini, ISLAM MANAKAH YANG BENAR? Islam
sebelah mana yang harus kita jadikan pijakan dalam ilmu dan amal? Islam manakah
yang meniti jalan yang lurus?
Apakah Islam
model wahabi?
Apakah Islam
model aswaja?
Apakah Islam
model hizbut tahrir?
Apakah Islam
model ikhwanul muslimin?
Islam yang
manakah yang benar??
Untuk
mengetahui Islam manakah yang benar maka sepatutnya kita kenali kebenaran
itu sendiri. Dengan mengetahui kebenaran itulah maka kita akan mengetahui
siapa yang berada di pihak yang benar.
Oleh karena
itu, pada artikel ini akan kami paparkan Islam seperti apakah yang harus kita
ikuti. Bismillah., mari kita mulai, :
1. Dibalik Surat Al-Fatihah
Sebagai seorang
muslim tentu kita pasti melaksanakan shalat 5 waktu setiap hari. Di setiap
rakaat shalat yang kita laksanakan kita diwajibkan untuk membaca surat
Al-Fatihah sebagai rukun dalam shalat.
Namun,
kebanyakan dari kita tidak memahami kandungannya secara mendalam. Padahal apabila kita mau menyelami surat tersebut maka akan
tersingkap dahsyatnya rahasia dibalik surat tersebut.
Diantara
dahsyatnya surat Al-Fatihah adalah bahwa ternyata di surat itulah terjadi
pembagian antara jalan yang lurus dan jalan yang sesat dan menyimpang. Allah ta’ala
berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (6)
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (7)
(QS. Al-Fatihah : 6-7)
Dari kedua ayat
tersebut Allah ta’ala mengisyaratkan sekaligus mengabarkan kepada kita
bahwa jalan yang ditempuh manusia ada 3, yakni :
- Jalannya orang yang lurus/istiqomah
- Jalannya orang yang dimurkai
- Dan Jalannya orang yang tersesat
Jalan yang
pertama adalah jalan yang harus kita tempuh, sedangkan jalan yang kedua dan
ketiga adalah jalan menyimpang yang harus kita hindari.
Lalu, apakah
makna dari ketiga jalan tersebut? Mari kita bahas satu persatu :
Jalan yang Lurus
Jalan lurus
yang dimaksud pada surat Al-Fatihah ayat 6, diterangkan oleh Allah pada ayat
selanjutnya, yaitu ayat yang ke-7 :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka
(QS. Al-Fatihah : 7)
Namun, ayat ini
masih membutuhkan perincian, mengingat kalimat : “الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” (orang-orang
yang telah engkau beri nikmat kepada mereka) bermakna umum. Oleh karena
itu, para ahli tafsir menafsirkan ayat ini dengan firman Allah :
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ
وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang
mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.
(QS.
An-Nisa’ : 69)
Dari penafsiran
ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang
ditempuh oleh para Nabi, para shiddiqiin, para syuhada’, dan
orang-orang shalih.
Jalan yang Dimurkai
Pada potongan
ayat selanjutnya Allah menyebutkan bahwa jalan yang lurus bukanlah jalan
orang-orang yang dimurkai. Lantas, siapakah mereka yang dimurkai oleh Allah
ini?
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh orang yang dimurkai
oleh Allah adalah orang Yahudi.[1]
Hal ini dikarenakan telah sampai kebenaran kepada mereka akan tetapi
mereka tidak mau mengikutinya. Allah ta’ala berfirman :
بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ
أَن يَكْفُرُوا بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَن يُنَزِّلَ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ
فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍ ۚ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Alangkah buruknya
(hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada
apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena
itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk
orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.
(QS.
Al-Baqarah : 90)
Ayat tersebut
menggambarkan kepada kita bahwa penolakan ahli kitab terhadap apa yang
diturunkan oleh Allah adalah karena kedengkian, bukan karena kebodohan atau
ketidaktahuan.
Sebetulnya
mereka telah mengetahui perihal kedatangan Nabi terakhir yang ada di dalam
kitab-kitab mereka. Bahkan mereka mengenal cirinya dengan detail sebagaimana mereka mengenal
ciri anak mereka sendiri. Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
Orang-orang (Yahudi
dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.
(QS.
Al-Baqarah : 146)
Dari sinilah
kita bisa mengetahui bahwa jalan yang dimurkai adalah jalan bagi mereka yang
mengetahui kebenaran akan tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran itu sendiri.
Jalan yang Sesat
Setelah
disebutkannya jalan yang dimurkai maka jalan selanjutnya adalah jalan yang
sesat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa jalan
yang sesat adalah jalannya orang Nasrani.
Allah ta’ala
berfirman tentang ihwal kesesatan mereka :
قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا
كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ
orang-orang yang
telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus
(QS.
Al-Maidah : 77)
Para ulama
tafsir[2]
menjelaskan bahwa mereka tersesat karena mereka tidak mengetahui kebenaran.
Mereka tidak melandaskan ilmu dalam amalan mereka sehingga mereka tidak bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Mereka bagaikan orang yang berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak mengetahui petunjuk arahnya.
Mereka bagaikan orang yang berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak mengetahui petunjuk arahnya.
Inilah jalan
yang ketiga, yaitu jalannya mereka yang tidak melandaskan ilmu dalam
menjalankan agamanya.
2. Ciri-ciri Jalan yang Lurus
Islam
Pada pembahasan
sebelumnya telah kita ketahui bersama bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang
ditempuh oleh para Nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan
orang-orang shalih. Maka jalan yang seperti apakah itu?
Tidak
dipungkiri lagi, bahwa jalan yang ditempuh oleh para Nabi adalah Islam itu
sendiri. Mereka (para Nabi) adalah orang-orang yang beragama Islam, yaitu agama
yang mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Allah ta’ala
berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن
رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا
فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak
mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku".
(QS.
Al-Anbiya’ : 25)
Ayat tersebut
menunjukkan bahwa agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam, yaitu agama
tauhid; agama yang menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Berikut ini firman-firman
Allah dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa agama para Nabi adalah Islam :
Agama
Nabi Nuh adalah Islam :
وَأُمِرْتُ
أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
dan aku disuruh
supaya aku termasuk golongan orang-orang muslim
(QS.
Yunus : 72)
Agama
Nabi Ibrahim adalah Islam :
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا
وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan
seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi muslim
dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
(QS.
Ali Imran : 67)
Maka barang
siapa yang mengatakan bahwa Ibrahim adalah bapak tiga agama (Yahudi, Nasrani,
dan Islam) maka sungguh ia adalah orang yang bodoh atau berdusta!
Agama
Nabi Musa adalah Islam :
وَقَالَ مُوسَىٰ يَا قَوْمِ إِن
كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ
Berkata Musa:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang muslim".
(QS.
Yunus : 84)
Agama Nabi Isa adalah Islam :
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنْهُمُ
الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ
قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ
بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Maka tatkala Isa
mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang
akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para
hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong
(agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah orang-orang muslim.
(QS.
Ali Imran : 52)
Berpedoman Al-Quran dan As-Sunnah
Sebagaimana
fenomena yang terjadi saat ini, bahwa Islam sendiri terpecah-belah menjadi
beberapa golongan. Masing-masing dari golongan itu saling mengklaim bahwa
golongan merekalah yang benar.
Agama Islam
sendiri sebenarnya adalah jalan yang lurus. Namun kini banyak golongan dalam
Islam yang membuat perkara baru dalam Islam dan mengklaim bahwa perkara itu
adalah bagian dari Islam. Padahal perkara yang mereka buat itu bukanlah berasal
dari Islam. Inilah yang disebut dengan bid’ah.
Maka Islam yang
murni adalah Islam yang berpedoman dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Islam yang
sejati adalah Islam yang tidak dikurangi maupun ditambah. Inilah Islam yang
benar-benar sesuai dengan wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku tinggalkan dua perkara dikalangan kalian yang
kalian tidak akan tersesat apabila berpegang pada keduanya : (yaitu) kitabullah
dan sunnah nabi-Nya.
(HR. Malik dalam kitab Muwatho’ : 5/1323)
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila kita senantiasa
berpegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah maka kita tidak akan tersesat. Karena
keduanya itu adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah ta’ala
berfirman :
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا
سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ
Mereka berkata:
"Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi
memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.
(QS.
Al-Ahqaf : 30)
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya
kamu (Muhammad)
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(QS.
Asy-Syura : 52)
Memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan Benar
Ketika kita berbicara mengenai golongan atau sekte dalam Islam maka sebagian
besar dari mereka mengklaim bahwa mereka berpegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Bahkan mereka dengan bangganya berargumentasi dengan dalil-dalil Quran dan Sunnah untuk membenarkan pemahaman golongan mereka.
Bahkan mereka dengan bangganya berargumentasi dengan dalil-dalil Quran dan Sunnah untuk membenarkan pemahaman golongan mereka.
Namun sayang, dalil-dalil yang mereka jadikan argumentasi untuk
membenarkan kesesatan golongan mereka, tidak sesuai dengan pemahaman yang
benar. Hal ini dikarenakan mereka menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits
dengan pemikiran mereka sendiri.
Lantas, bagaimanakah cara kita memahami Al-Quran dan
As-Sunnah dengan pemahaman yang benar??
Maka jawabannya adalah
memahami Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman
orang-orang yang menyaksikan turunnya Al-Quran dan menyaksikan apa yang
dikerjakan dan disabdakan Rasulullah saat beliau masih hidup.
SIAPAKAH
MEREKA ITU?
Siapa lagi kalau bukan para
sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan orang yang mengikuti mereka dari
kalangan tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Mereka itulah yang kita
sebut dengan salafusshalih.
Mengapa pemahaman mereka
terhadap Al-Quran dan As-Sunnah adalah pemahaman yang benar dan jauh dari
kesesatan? Ada 3 dalil yang menunjukkan bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman
yang lurus.
Yang
pertama, dalil dari Al-Quran :
فَإِنْ
آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا
Maka jika mereka
beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk
(QS.
Al-Baqarah : 137)
Pada ayat
tersebut Allah mengisyaratkan kepada kita bahwa jika kita mau beriman
sebagaimana keimanan para sahabat maka sesungguhnya kita telah memperoleh
petunjuk. Dalam artian kita berada di jalan yang benar.
Ayat ini
membuktikan bahwa keimanan atau akidah para sahabat adalah akidah yang selamat
dari penyimpangan.
Dalam ayat yang
lain, jalan yang ditempuh oleh para sahabat adalah yang dapat menghindarkan
kita dari kesesatan. Karena apabila kita menempuh selain jalannya para
sahabat maka Allah akan biarkan kita leluasa dalam kesesatan. Allah ta’ala
berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.
(QS.
An-Nisa : 115)
Yang kedua, dalil dari As-Sunnah :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ،
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku (para
sahabat), kemudian orang yang sesudahnya (para pengikut sahabat/tabi’in),
kemudian orang yang sesudahnya (para pengikut tabi’in/tabi’ut tabi’in)
(HR. Bukhari : 2652)
Hadits di atas menunjukkan bahwa generasi yang terbaik
– baik itu pemahamannya terhadap agama, akidahnya, ilmunya, dan
pengamalannya – adalah generasinya para sabahat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in.
Selain itu, Rasulullah juga memerintahkan kita untuk
berpegang dengan sunnahnya para khalifah yang tidak lain dan tidak bukan mereka
adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Sesungguhnya barang siapa dari kalian yang hidup setelahku
akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpeganglah dengan sunnahku
dan sunnahnya para khalifah yang mendapat petunjuk dan juga lurus. Berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
(HR. Abu Dawud : 4607)
Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa setelah
wafatnya Rasulullah akan terjadi perselisihan yang sangat banyak. Dan saat ini
kita melihat sendiri perselisihan itu telah terjadi dan masing-masing dari perselisihan
yang ada juga mengklaim berpegang dengan dalil Al-Quran dan As-Sunnah
Oleh karena itu, selain berpegang dengan Al-Quran dan
As-Sunnah kita juga diwajibkan berpegang dengan sunnahnya para khalifah, yaitu
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum.
Yang ketiga, dalil dari akal :
Alasan bahwa pemahaman para salafusshalih (para
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) adalah pemahaman yang
benar adalah karena mereka menyaksikan sendiri dalam konteks apa Al-Quran
diturunkan, serta mendengar dan menyaksikan sendiri apa yang diucapkan dan
diperbuat oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya.
Maka dalam hal ini mereka lebih mengetahui bagaimana
cara beragama yang benar karena dalam menjalankan agamanya mereka dibimbing
langsung oleh guru mereka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hati mereka juga lebih ikhlas, jauh dari riya’ dan
nifaq, serta bersih dari hawa nafsu. Sehingga pemahaman mereka terhadap agama tidak
mengikuti hawa nafsu. Penafsiran mereka terhadap Al-Quran dan As-Sunnah juga
jauh dari kepentingan duniawi dan kepentingan golongan.
Berbeda dengan orang saat ini yang pemahaman mereka
dilandaskan atas dasar kepentingan duniawi dan kepentingan kelompok. Akibatnya
mereka menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah berdasarkan kepentingan mereka tanpa
mengikuti pemahaman para sahabat.
Pemahaman mereka terhadap bahasa Arab juga sangatlah
fasih. Sehingga mereka sangat mengetahui apa yang dimaksud oleh Al-Quran dan
apa yang disabdakan Rasulullah karena kemampuan pemahaman bahasa Arab mereka
yang sangat mendalam.
3. Ciri-ciri Jalan yang Menyimpang
Jalan Selain Islam
Allah ta’ala berfirman :
وَمَن
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
(QS.
Ali Imran : 85)
Kekufuran
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Fatihah
ayat 7, bahwa jalan yang menyimpang adalah jalannya orang Yahudi. Yaitu menolak
kebenaran setelah mengetahuinya.
Pada hakikatnya mereka telah mengetahui kebenaran akan
tetapi mereka kufur terhadap kebenaran itu sendiri bahkan mereka membunuh para
Nabi yang menyampaikan kebenaran itu, sehingga mereka dimasukkan kedalam neraka
oleh Allah.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ
اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ
يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan
membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah
mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih.
(QS.
Ali Imran : 21)
Syirik
Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa jalan yang
lurus adalah jalan Islam, yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Kebalikan
dari tauhid itu sendiri adalah kesyirikan. Dan kesyirikan ini adalah jalan
menyimpang yang akan menggelincirkan pelakunya ke dalam api neraka.
Allah ta’ala berfirman :
وَمَن
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya.
(QS.
An-Nisa : 116)
Bid’ah, Kebodohan, dan Hawa Nafsu
Bid’ah adalah keyakinan atau perbuatan baru dalam perkara
agama yang tidak ada dalam agama Islam. Diantara penyebab munculnya bid’ah
adalah mengikuti hawa nafsu dan kebodohan.
Apabila kita melihat umat Islam saat ini maka kita
akan mendapati betapa mirisnya umat Islam saat ini banyak yang terjerumus ke
dalam ritual-ritual yang sesungguhnya bukan berasal dari Islam.
Hal ini dikarenakan kurangnya ilmu yang mereka miliki
sehingga mereka beramal tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya muncullah perbuatan bid’ah
atau ritual ibadah yang tidak disyariatkan dalam Islam dikalangan mereka.
Bid’ah adalah jalan yang sesat dan pelakunya diancam
akan dimasukkan ke dalam neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
Takutlah kalian terhadap perkara-perkara yang baru,
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
(HR. Abu Dawud : 4607)
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Sejelek-jeleknya perkara adalah hal yang baru, dan
setiap hal yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat,
dan setiap yang sesat itu di neraka.
(HR. Nasa’iy : 1578)
Inilah jalan yang harus kita hindari karena ini
merupakan jalannya orang-orang Nasrani yang mana kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Oleh karena itu, ilmu adalah
kunci agar kita tidak terjerumus ke dalam jalannya kaum Nasrani.
Kesimpulan
Alhamdulillah, setelah kita
bahas panjang lebar dapat kita simpulkan manakah jalan yang lurus dan manakah
jalan yang menyimpang. Dari pembahasan yang begitu rinci tadi dapat kita
simpulkan bahwa jalan yang
lurus hanyalah satu, yaitu :
Agama Islam
yang berpegang teguh dengan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
Islam yang seperti itulah
yang berada di jalan yang lurus. Yaitu Islam yang ditempuh oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam dan para sahabat. Sedangkan pecahan Islam selain itu maka ia
adalah jalan yang sesat dan menyimpang.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا
مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Umatku akan terpecah belah
menjadi 73 millah (golongan). Semuanya berada di neraka kecuali satu millah
(golongan).
Para sahabat bertanya :
Siapakah itu wahai Rasulullah?
Beliau menjawab : “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
(HR. Tirmidzi : 2641)
Dari hadits tersebut bisa
kita ambil faedah bahwa agama Islam yang tidak mengikuti Nabi dan para sahabat
adalah sesat dan terancam siksaan neraka. Hadits ini sangatlah agung karena
mencakup maksud dari jalan yang lurus itu sendiri, yaitu :
Al-Quran
Yang mana Nabi dan para
sahabatnya berada di atasnya adalah Islam yang tentunya pasti berpedoman dengan
Al-Quran itu sendiri. Karena Al-Quran adalah petunjuk ke jalan yang lurus sebagaimana yang
telah dibahas panjang lebar sebelumnya.
As-Sunnah
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam adalah seorang
penunjuk kepada jalan yang lurus.
Oleh karena itu, bila kita istiqomah meniti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
berarti kita telah meniti jalan yang lurus.
Pemahaman Sahabat
Demikian pula para sahabat
tentu juga berada di jalan yang lurus. Maka, dengan mengikuti cara mereka dalam
memahami Al-Quran dan As-Sunnah berarti kita telah menempuh jalan yang lurus.
Oleh : Adam Rizkala
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)