MENU

Tanya Jawab Seputar Puasa Ramadhan [Bagian 1]



Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkannya sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya dengan niat tertentu.

Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal. Apabila tidak melaksanakannya tanpa ‘udzur maka ia telah terjerumus dalam dosa besar dan wajib menunaikan kafaratnya.

Berbicara soal puasa, biasanya diantara kita ada yang bertanya-tanya tentang hukum ini dan itu. Tentu sebagai orang awam, kita membutuhkan jawaban yang jelas agar dapat menenangkan hati.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, akan kami paparkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan umum seputar puasa Ramadhan. Pada artikel ini akan kita bahas empat tema tanya jawab, diantaranya :
  • Bulan Ramadhan
  • Sahur
  • Puasanya musafir
  • Puasanya orang sakit

1. Tanya Jawab Tentang Bulan Ramadhan

Pertanyaan : “Apakah menyambut datangnya bulan Ramadhan termasuk perkara bid’ah?”

Jawaban : Tidak. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pun memberitakan kabar gembira tentang datangnya bulan Ramadhan kepada para sahabatnya, beliau bersabda :

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Ramadhan telah datang, (ia adalah) bulan yang berkah, dimana Allah azza wajalla telah mewajibkan puasa atas kalian. Di bulan itu pintu langit dibuka, dan pintu neraka Jahannam di tutup, dan setan pembangkang dibelenggu. Demi Allah, di bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh ia tidak mendapatkannya.
(HR. Nasa’i : 2106)

Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Di negara kita ada yang menentukan awal Ramadhan dengan metode hisab ada juga yang dengan metode melihat hilal. Bagaimana menyikapinya?”

Jawaban : Para ulama sepakat bahwa menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal). Apabila dalam keadaan darurat maka ditentukan dengan hitungan selesainya bulan Sya’ban 30 hari. Allah ta’ala berfirman :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu
(QS. Al-Baqarah : 185)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji
(QS. Al-Baqarah : 189)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ، صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ، وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ

Janganlah berpuasa sebelum bulan Ramadhan. Berpuasalah karena melihat (hilal), dan berbukalah (idul fitri) kerena melihat (hilal). Apabila ada mendung yang menghalangi di bawahnya maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.
(HR. Nasa’i : 2130)

Adapun penentuan awal Ramadhan dengan metode hisab adalah perkara yang diada-adakan. Walaupun memang hasil penentuan awal Ramadhan dengan metode hisab tidak meleset dengan metode melihat hilal.

Maka, sikap kita adalah mengikuti metode yang lebih selamat (jelas dalilnya), yaitu dengan ru’yatul hilal. Selain itu, dengan mengikuti metode ini berarti kita telah mentaati pemerintah dalam hal yang makruf dan meminimalisir timbulnya perselisihan. 

Selanjutnya, kita hargai mereka yang menggunakan metode hisab serta tidak mencacinya dan semacamnya. Wallaahu a’lam.

2. Tanya Jawab Tentang Sahur

Pertanyaan : “Bolehkah berpuasa tanpa sahur?”

Jawaban : Berpuasa tanpa sahur adalah hal yang kurang diperkenankan. Karena hal itu menyelisihi sunnah. Meskipun hukum puasanya tetap sah apabila sudah berniat sebelumnya.

Justru yang benar disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk melaksanakan sahur, karena di dalam sahur terdapat keberkahan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

Sahurlah! Karena sesungguhnya ada keberkahan di dalam sahur.
(HR. Bukhari : 1923)

Bahkan pembeda puasa antara kaum muslimin dengan ahli kitab adalah dari segi makan sahurnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ

Pembeda antara puasa kita dan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.
(HR. Muslim : 1096)

Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Bolehkah melanjutkan makan ketika masuk waktu imsak?”

Jawaban : Apabila imsak yang Anda maksud adalah waktu larangan makan dan minum saat 10 atau 15 menit sebelum terbitnya fajar maka perkara ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).

Justru kita disunnahkan sahur di akhir waktu, yakni ketika mendekati waktu subuh, asalkan tetap mempertimbangkan waktu agar makan sahurnya tidak tergesa-gesa atau menabrak waktu terbitnya fajar shadiq. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ، وَعَجَّلُوا الْفِطْرَ

Umatku akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan mempercepat berbuka.
(HR. Ahmad : 21507)[1]

Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya biasanya makan sangat banyak di waktu sahur. Tujuannya agar kuat menjalani puasa. Apakah ini diperbolehkan?”

Jawaban : Makan terlalu banyak adalah menyelisihi Adab. Adab makan yang benar adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidaklah manusia memenuhi bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah anak adam memakan makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak bisa maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.
(HR. Tirmidzi : 2380)

Wallaahu a’lam.

3. Tanya Jawab Tentang Puasanya Musafir

Pertanyaan : “Bolehkah seseorang tidak berpuasa ketika safar dengan menggunakan pesawat, sementara perjalanan dengan pesawat tidaklah terlalu melelahkan?”

Jawaban : Boleh. Karena kebolehan ifthar (berbuka) adalah karena safarnya, bukan karena lelahnya. Adapun diperbolehkannya ifthar ketika safar adalah karena Allah yang menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman :

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(QS. Al-Baqarah : 185)

Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya ingin bersafar besok pagi, bolehkah saya tidak berpuasa sejak fajar besok?”

Jawaban : Tidak boleh. Anda tidak disebut sebagai musafir sebelum Anda melakukan safar. Oleh karena itu, dispensasi bolehnya ifthar (tidak berpuasa/berbuka) tidak berlaku ketika Anda dalam keadaan tidak bersafar. Karena seseorang dikatakan safar adalah tatkala ia sudah menaiki kendaraannya dan keluar untuk bersafar.

Ketika Anda bertekad untuk safar di esok paginya, maka hendaknya Anda tetap berniat puasa sebelum fajar tiba, kemudian dilanjut ifthar ketika sudah keluar dari rumah menaiki kendaraan untuk bersafar. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saat saya menunggu kedatangan pesawat, matahari sudah tenggelam dan adzan telah dikumandangkan, lalu sayapun berbuka. Ketika naik pesawat, saya melihat matahari muncul kembali. Apakah saya tetap puasa sampai matahari tenggelam lagi?”

Jawaban : Tidak. Karena Anda telah menyempurnakan puasa Anda selama sehari. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya safar ke suatu tempat dan saya berniat mukim selama lebih dari sepekan, kemudian barulah pulang. Apakah saya tetap wajib berpuasa?”

Jawaban : Tetap wajib. Anda tidak diperkenankan mengambil dispensasi bagi musafir apabila sudah berniat mukim lebih dari 4 hari. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Namun, apabila Anda tidak mengetahui kapan Anda akan menyelesaikan keperluan Anda, dan tidak menentukan berapa lama Anda bermukim di sana, meskipun Anda sudah bermukim lebih dari 4 hari, maka Anda boleh mengambil dispensasi bagi musafir. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya adalah seorang sopir bus. Ketika bulan Ramadhan saya tetap nyopir pulang-pergi ke luar kota. Terlebih lagi ketika musim mudik di bulan Ramadhan, jadwal nyopir saya semakin padat. Apakah saya tetap harus berpuasa?”

Jawaban : Tidak. Anda boleh tidak berpuasa karena Anda adalah musafir saat pulang-pergi ke luar kota. Dan ayat yang menyebutkan tentang safar berlaku umum, baik itu jarang maupun sering. Namun, Anda tetap wajib membayarnya di hari yang lain. Wallaahu a’lam.

4. Tanya Jawab Tentang Puasanya Orang Sakit

Pertanyaan : “Apakah mengalami sakit yang ringan juga diperbolehkan mengambil rukhshah?”

Jawaban : Tidak. Yang diperbolehkan mengambil rukhshah (dispensasi) adalah penyakit yang memberatkan bagi orang yang berpuasa. Namun, apabila penyakit itu ringan namun akan bertambah parah dan berbahaya apabila tetap menjalankan puasa maka diperbolehkan berbuka dan wajib menggantinya di hari yang lain. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Apa ukuran ringan dan beratnya suatu penyakit sehingga saya diperbolehkan untuk tidak berpuasa?”

Jawaban : Ukurannya adalah berdasarkan pertimbangan diri Anda sendiri. Karena Andalah yang lebih mengerti tentang diri Anda. Namun, dalam mempertimbangkan berat ringannya penyakit itu harus berdasarkan bukti atau alasan yang kuat. Tidak boleh menimbangnya berdasarkan persangkaan yang dibuat-buat. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Apabila saya terkena penyakit berat, namun tidak membahayakan diri saya apabila berpuasa, bolehkah saya tetap berpuasa?”

Jawaban : Pilihlah mana yang lebih utama menurut Anda, yakni yang paling ringan apabila Anda menjalankannya. Hendaknya kita meneladai akhlak Nabi kita dalam memilih suatu perkara :

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَين إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا

Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diberi pilihan dari dua perkara yang dihadapinya, melainkan beliau mengambil yang paling ringan selama bukan perkara dosa.
(HR. Bukhari : 3560)

Apabila berpuasa lebih ringan bagi Anda maka silahkan berpuasa. Namun, apabila tidak berpuasa lebih ringan bagi Anda maka Anda boleh tidak berpuasa. Karena, Andalah yang lebih mengerti tentang kondisi diri Anda.Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya pingsan ketika siang hari, dan baru sadar ketika menjelang maghrib, apakah puasa saya sah?”

Jawaban : Sah. Asalkan memang sudah berpuasa sejak subuh. Namun, apabila pingsan itu dimulai sejak subuh dan baru sadar setelah maghrib maka puasanya tidak sah (menurut mayoritas ulama), dan wajib menggantinya di hari yang lain. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Apabila saya berpuasa, lalu di siang hari saya merasakan sangat lapar dan haus serta khawatir akan membahayakan tubuh saya. Bolehkan di saat itu saya membatalkan puasa saya?”

Jawaban : Boleh dengan syarat kekhawatiran itu berdasarkan pertimbangan dugaan kuat, bukan sekedar pertimbangan dugaan yang dibuat-buat. Anda juga wajib membayarnya di lain hari. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Saya adalah pekerja berat. Dan saya merasakan sangat kelelahan apabila berpuasa. Apakah saya boleh tidak berpuasa?”

Jawab : Tidak boleh. Anda tetap wajib berpuasa sejak subuh, karena Anda tidak digolongkan orang yang sakit dan musafir. Urusan kuat atau tidaknya menyempurnakan puasa hingga maghrib itu urusan belakangan, yang penting Anda berpuasa terlebih dahulu.

Adapun apabila di tengah hari kemudian Anda merasa sangat berat dan khawatir akan bahaya yang menimpa diri Anda, maka Anda boleh berbuka. Namun, setelah berbuka maka hendaknya Anda melanjutkannya hingga maghrib. Dan Anda juga terkena kewajiban menggantinya di hari yang lain.

Saran kami, hendaknya Anda meminta perubahan jadwal kerja Anda di malam hari atau meminta keringanan kerja kepada atasan Anda. Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Apabila seseorang terkena penyakit menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya dan apabila tidak berpuasa tidak mungkin juga apabila dibayar di hari yang lain, maka apa yang harus ia lakukan?”

Jawaban : Ia wajib memberikan makanan kepada orang miskin di hari dimana ia tidak berpuasa. Allah ta’ala berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin
(QS. Al-Baqarah : 184)

Wallaahu a’lam.

Pertanyaan : “Orang tua saya sakit lalu beliau tidak berpuasa Ramadhan. Selesai Ramadhan beliau sembuh dan Allah berikan beliau umur. Namun, ketika Allah berikan beliau umur, ternyata beliau tidak sempat menggantinya hingga wafat, bagaimana hukumnya?”

Jawaban : Pihak keluarganya wajib membayarkankan fidyah untuk si mayit. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ

Apabila seseorang sakit pada Bulan Ramadhan kemudian meninggal dan belum melakukan puasa maka diberikan makan untuknya dan ia tidak berkewajiban untuk mengqadha, dan apabila ia memiliki kewajiban nadzar maka walinya yang mengqadha untuknya.
(HR. Abu Dawud : 2041)

Wallaahu a’lam.

Demikianlah tanya jawab tentang puasa Ramadhan yang kami paparkan. Insya Allah untuk tanya jawab seputar puasa tema selanjutnya akan kami susun pada artikel bagian kedua.

Baca bagian kedua : Klik!

Oleh : AdamRizkala


[1] Sanadnya lemah menurut Syu’aib Al-Arnauth.

No comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)