Tanya Jawab Seputar Puasa Ramadhan [Bagian 1]
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 5/02/2019
![]() |
Puasa adalah menahan diri dari makan
dan minum serta segala sesuatu yang membatalkannya sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya dengan niat tertentu.
Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim
yang baligh dan berakal. Apabila tidak melaksanakannya tanpa ‘udzur maka
ia telah terjerumus dalam dosa besar dan wajib menunaikan kafaratnya.
Berbicara soal puasa, biasanya diantara kita ada yang bertanya-tanya
tentang hukum ini dan itu. Tentu sebagai orang awam, kita membutuhkan jawaban
yang jelas agar dapat menenangkan hati.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, akan kami paparkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan umum seputar puasa Ramadhan. Pada artikel ini akan kita bahas empat tema tanya jawab, diantaranya :
- Bulan Ramadhan
- Sahur
- Puasanya musafir
- Puasanya orang sakit
1. Tanya Jawab Tentang Bulan Ramadhan
Pertanyaan : “Apakah menyambut datangnya bulan Ramadhan
termasuk perkara bid’ah?”
Jawaban : Tidak. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
pun memberitakan kabar gembira tentang datangnya bulan Ramadhan kepada para
sahabatnya, beliau bersabda :
أَتَاكُمْ
رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ
تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ
وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ
أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Ramadhan telah datang, (ia adalah) bulan yang berkah, dimana
Allah azza wajalla telah mewajibkan puasa atas kalian. Di bulan itu pintu
langit dibuka, dan pintu neraka Jahannam di tutup, dan setan pembangkang
dibelenggu. Demi Allah, di bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari pada
seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh ia
tidak mendapatkannya.
(HR. Nasa’i : 2106)
Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Di negara kita
ada yang menentukan awal Ramadhan dengan metode hisab ada juga yang dengan
metode melihat hilal. Bagaimana menyikapinya?”
Jawaban : Para ulama sepakat bahwa
menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal).
Apabila dalam keadaan darurat maka ditentukan dengan hitungan selesainya bulan
Sya’ban 30 hari. Allah ta’ala berfirman :
فَمَن شَهِدَ
مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu
(QS.
Al-Baqarah : 185)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji
(QS. Al-Baqarah : 189)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
لَا
تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ، صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ، وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ،
فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ
Janganlah berpuasa sebelum bulan Ramadhan. Berpuasalah karena
melihat (hilal), dan berbukalah (idul fitri) kerena melihat (hilal). Apabila ada mendung yang menghalangi
di bawahnya maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.
(HR. Nasa’i : 2130)
Adapun penentuan awal Ramadhan dengan metode hisab adalah
perkara yang diada-adakan. Walaupun memang hasil penentuan awal Ramadhan dengan
metode hisab tidak meleset dengan metode melihat hilal.
Maka, sikap kita adalah
mengikuti metode yang lebih selamat (jelas dalilnya), yaitu dengan ru’yatul
hilal. Selain itu, dengan mengikuti metode ini berarti kita telah mentaati
pemerintah dalam hal yang makruf dan meminimalisir timbulnya perselisihan.
Selanjutnya, kita hargai mereka yang menggunakan metode hisab serta tidak mencacinya dan semacamnya. Wallaahu a’lam.
Selanjutnya, kita hargai mereka yang menggunakan metode hisab serta tidak mencacinya dan semacamnya. Wallaahu a’lam.
2. Tanya Jawab Tentang Sahur
Pertanyaan : “Bolehkah berpuasa tanpa sahur?”
Jawaban : Berpuasa tanpa sahur adalah hal yang kurang diperkenankan. Karena hal itu menyelisihi sunnah. Meskipun hukum
puasanya tetap sah apabila sudah berniat sebelumnya.
Justru yang benar disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk
melaksanakan sahur, karena di dalam sahur terdapat keberkahan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي
السَّحُورِ بَرَكَةً
Sahurlah! Karena
sesungguhnya ada keberkahan di dalam sahur.
(HR. Bukhari : 1923)
Bahkan pembeda puasa antara kaum
muslimin dengan ahli kitab adalah dari segi makan sahurnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا
وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ
Pembeda antara
puasa kita dan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.
(HR. Muslim : 1096)
Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Bolehkah melanjutkan makan ketika masuk
waktu imsak?”
Jawaban : Apabila
imsak yang Anda maksud adalah waktu larangan makan dan minum saat 10 atau 15
menit sebelum terbitnya fajar maka perkara ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).
Justru kita disunnahkan
sahur di akhir waktu, yakni ketika mendekati waktu subuh, asalkan tetap
mempertimbangkan waktu agar makan sahurnya tidak tergesa-gesa atau menabrak waktu terbitnya fajar
shadiq. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا
أَخَّرُوا السَّحُورَ، وَعَجَّلُوا الْفِطْرَ
Umatku akan
senantiasa dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan mempercepat
berbuka.
(HR. Ahmad : 21507)[1]
Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Saya biasanya makan sangat banyak di
waktu sahur. Tujuannya agar kuat menjalani puasa. Apakah ini diperbolehkan?”
Jawaban : Makan terlalu banyak adalah menyelisihi Adab. Adab makan
yang benar adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ
وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ،
فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ
لِنَفَسِهِ
Tidaklah manusia
memenuhi bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah anak adam memakan
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak bisa maka sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.
(HR. Tirmidzi : 2380)
Wallaahu
a’lam.
3. Tanya Jawab Tentang Puasanya Musafir
Pertanyaan : “Bolehkah seseorang tidak berpuasa ketika
safar dengan menggunakan pesawat, sementara perjalanan dengan pesawat tidaklah
terlalu melelahkan?”
Jawaban : Boleh. Karena kebolehan ifthar (berbuka) adalah
karena safarnya, bukan karena lelahnya. Adapun diperbolehkannya ifthar
ketika safar adalah karena Allah yang menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya.
Allah ta’ala berfirman :
وَمَن كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
(QS.
Al-Baqarah : 185)
Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan
: “Saya ingin bersafar besok pagi, bolehkah saya tidak berpuasa sejak
fajar besok?”
Jawaban
: Tidak boleh. Anda tidak disebut sebagai musafir sebelum Anda melakukan safar.
Oleh karena itu, dispensasi bolehnya ifthar (tidak berpuasa/berbuka)
tidak berlaku ketika Anda dalam keadaan tidak bersafar. Karena seseorang dikatakan safar adalah tatkala ia sudah menaiki kendaraannya dan keluar untuk bersafar.
Ketika Anda bertekad untuk safar di esok paginya, maka hendaknya Anda tetap berniat
puasa sebelum fajar tiba, kemudian dilanjut ifthar ketika sudah keluar dari
rumah menaiki kendaraan untuk bersafar. Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Saat
saya menunggu kedatangan pesawat, matahari sudah tenggelam dan adzan telah
dikumandangkan, lalu sayapun berbuka. Ketika naik pesawat, saya melihat
matahari muncul kembali. Apakah saya tetap puasa sampai matahari tenggelam
lagi?”
Jawaban : Tidak. Karena
Anda telah menyempurnakan puasa Anda selama sehari. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Saya
safar ke suatu tempat dan saya berniat mukim selama lebih dari sepekan,
kemudian barulah pulang. Apakah saya tetap wajib berpuasa?”
Jawaban : Tetap wajib.
Anda tidak diperkenankan mengambil dispensasi bagi musafir apabila sudah berniat
mukim lebih dari 4 hari. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Namun, apabila Anda
tidak mengetahui kapan Anda akan menyelesaikan keperluan Anda, dan tidak menentukan
berapa lama Anda bermukim di sana, meskipun Anda sudah bermukim lebih dari 4
hari, maka Anda boleh mengambil dispensasi bagi musafir. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Saya
adalah seorang sopir bus. Ketika bulan Ramadhan saya tetap nyopir pulang-pergi
ke luar kota. Terlebih lagi ketika musim mudik di bulan Ramadhan, jadwal nyopir
saya semakin padat. Apakah saya tetap harus berpuasa?”
Jawaban : Tidak. Anda
boleh tidak berpuasa karena Anda adalah musafir saat pulang-pergi ke luar kota.
Dan ayat yang menyebutkan tentang safar berlaku umum, baik itu jarang maupun
sering. Namun, Anda tetap wajib membayarnya di hari yang lain. Wallaahu
a’lam.
4. Tanya Jawab Tentang Puasanya Orang Sakit
Pertanyaan : “Apakah mengalami sakit yang ringan juga diperbolehkan mengambil rukhshah?”
Jawaban : Tidak. Yang
diperbolehkan mengambil rukhshah (dispensasi) adalah penyakit yang memberatkan bagi orang
yang berpuasa. Namun, apabila penyakit itu ringan namun akan bertambah parah dan
berbahaya apabila tetap menjalankan puasa maka diperbolehkan berbuka dan wajib menggantinya
di hari yang lain. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Apa
ukuran ringan dan beratnya suatu penyakit sehingga saya diperbolehkan untuk
tidak berpuasa?”
Jawaban : Ukurannya
adalah berdasarkan pertimbangan diri Anda sendiri. Karena Andalah yang lebih
mengerti tentang diri Anda. Namun, dalam mempertimbangkan berat ringannya penyakit itu
harus berdasarkan bukti atau alasan yang kuat. Tidak boleh menimbangnya berdasarkan persangkaan yang
dibuat-buat. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Apabila
saya terkena penyakit berat, namun tidak membahayakan diri saya apabila
berpuasa, bolehkah saya tetap berpuasa?”
Jawaban : Pilihlah mana
yang lebih utama menurut Anda, yakni yang paling ringan apabila Anda
menjalankannya. Hendaknya kita meneladai akhlak Nabi kita dalam memilih suatu perkara :
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَين إِلَّا
أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
Tidaklah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diberi pilihan dari dua perkara yang
dihadapinya, melainkan beliau mengambil yang paling ringan selama bukan perkara
dosa.
(HR. Bukhari
: 3560)
Apabila berpuasa lebih ringan
bagi Anda maka silahkan berpuasa. Namun, apabila tidak berpuasa lebih ringan bagi
Anda maka Anda boleh tidak berpuasa. Karena, Andalah yang lebih mengerti
tentang kondisi diri Anda.Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Saya
pingsan ketika siang hari, dan baru sadar ketika menjelang maghrib, apakah
puasa saya sah?”
Jawaban : Sah. Asalkan memang
sudah berpuasa sejak subuh. Namun, apabila pingsan itu dimulai sejak subuh dan
baru sadar setelah maghrib maka puasanya tidak sah (menurut mayoritas ulama),
dan wajib menggantinya di hari yang lain. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Apabila
saya berpuasa, lalu di siang hari saya merasakan sangat lapar dan haus serta
khawatir akan membahayakan tubuh saya. Bolehkan di saat itu saya membatalkan
puasa saya?”
Jawaban : Boleh dengan
syarat kekhawatiran itu berdasarkan pertimbangan dugaan kuat, bukan sekedar pertimbangan dugaan yang dibuat-buat. Anda juga wajib membayarnya di lain hari. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Saya
adalah pekerja berat. Dan saya merasakan sangat kelelahan apabila berpuasa.
Apakah saya boleh tidak berpuasa?”
Jawab : Tidak boleh. Anda
tetap wajib berpuasa sejak subuh, karena Anda tidak digolongkan orang yang
sakit dan musafir. Urusan kuat atau tidaknya menyempurnakan puasa hingga
maghrib itu urusan belakangan, yang penting Anda berpuasa terlebih dahulu.
Adapun apabila di tengah
hari kemudian Anda merasa sangat berat dan khawatir akan bahaya yang menimpa
diri Anda, maka Anda boleh berbuka. Namun, setelah berbuka maka hendaknya Anda
melanjutkannya hingga maghrib. Dan Anda juga terkena kewajiban menggantinya di
hari yang lain.
Saran kami, hendaknya
Anda meminta perubahan jadwal kerja Anda di malam hari atau meminta keringanan
kerja kepada atasan Anda. Wallaahu a’lam.
Pertanyaan : “Apabila
seseorang terkena penyakit menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya dan apabila
tidak berpuasa tidak mungkin juga apabila dibayar di hari yang lain, maka apa
yang harus ia lakukan?”
Jawaban : Ia wajib
memberikan makanan kepada orang miskin di hari dimana ia tidak berpuasa. Allah ta’ala
berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin
(QS.
Al-Baqarah : 184)
Wallaahu
a’lam.
Pertanyaan : “Orang tua saya sakit lalu beliau tidak berpuasa Ramadhan. Selesai Ramadhan beliau sembuh dan Allah
berikan beliau umur. Namun, ketika Allah berikan beliau umur, ternyata beliau tidak
sempat menggantinya hingga wafat, bagaimana hukumnya?”
Jawaban : Pihak
keluarganya wajib membayarkankan fidyah untuk si mayit. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ
فِي رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ
قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ
Apabila seseorang sakit pada Bulan Ramadhan kemudian
meninggal dan belum melakukan puasa maka diberikan makan untuknya dan ia tidak
berkewajiban untuk mengqadha, dan apabila ia memiliki kewajiban nadzar maka
walinya yang mengqadha untuknya.
(HR. Abu Dawud : 2041)
Wallaahu
a’lam.
Demikianlah tanya jawab
tentang puasa Ramadhan yang kami paparkan. Insya Allah untuk tanya jawab seputar
puasa tema selanjutnya akan kami susun pada artikel bagian kedua.
Baca bagian kedua : Klik!
Baca bagian kedua : Klik!
Oleh : AdamRizkala
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)