Pengertian Ushul Fiqh Secara Etimologi dan Terminologi dan Sejarahnya
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 5/14/2019
![]() |
Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah Islam dan Iman kepada kita semua.
Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya,
para sahabatnya, serta para pengikutinya.
Pada
kesempatan kali ini, kita akan mempelajari bersama ilmu ushul fiqh yang
merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam kajian agama Islam.
A. Apa itu Ushul Fiqh?
1. Pengertian Ushul Fiqh Secara Etimologi
Ushul Fiqh (أُصُوْلُ
الْفِقْهِ)
secara etimologi terdiri dari dua suku kata yaitu ushul dan fiqh.
Berikut ini pengertian dari masing-masing kedua suku kata tersebut :
a. Pengertian Ushul
Ushul (أُصُوْلٌ) secara etimologi adalah
bentuk jamak dari kata ash-lun (أَصْلٌ) yang berarti
asal, pokok, atau pondasi; yakni sesuatu yang menjadi pondasi suatu bangunan baik itu yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Contohnya akar pohon yang mana ia merupakan pondasi dari
pohon itu sendiri. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً
طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي
السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit
(QS. Ibrahim : 24)
b. Pengertian Fiqh
Adapun fiqh (فِقْهٌ) secara bahasa bermakna
fah-mun (فَهْمٌ) yang artinya pemahaman
mendalam yang memerlukan pengerahan akal pikiran.
Pengertian ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala :
وَاحْلُلْ
عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي *يَفْقَهُوا قَوْلِي
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, sepaya mereka
memahai perkataanku,
(QS. Thaha : 27 – 28)
Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, fiqh secara terminologi
adalah :
مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
الْعَمَلِيَّةِ بِأَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
2. Pengertian Ushul Fiqh Secara Terminologi
Adapun pengertian ushul fiqh secara terminologi adalah :
عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنْ أَدِلَّةِ الْفِقْهِ
الْإِجْمَالِيَّةِ وَكَيْفِيَّةِ الْاِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالِ
الْمُسْتَفِيْدِ
Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang umum dan
cara mengambil faedah dari dalil tersebut serta membahas keadaan orang yang
mengambil faedah.[2]
Ushul fiqh adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang
bersifat global, yaitu berupa kaidah-kaidah umum; seperti :
- Perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum tersebut.
- Larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum tersebut.
- Sahnya suatu amalan menunjukkan amalan tersebut telah terlaksana.
- Dan sebagainya.
Kemudian di dalam ilmu ini dibahas pula tata cara pengambilan
faedah hukum dari dalil-dalil yang ada dengan mempelajari hukum-hukum lafadz
dan penunjukkannya; seperti umum, khusus, mutlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan
sebagainya.
Dengan memiliki ilmu tersebut maka kita bisa mengambil
faedah-faedah hukum atau mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil fiqh yang ada.
Selain itu, dibahas juga dalam ilmu ini tentang ihwal mustafid.
Atau bisa juga disebut dengan mujtahid; yaitu mereka yang memiliki
kapasitas ilmu sehingga mampu mengambil faedah hukum dari dalil yang ada.
Pembahasan mengenai mustafid ini mencakup syarat-syaratnya,
tingkatan-tingkatannya, hukumnya, dan semacamnya.
Di sisi lain, dibahas juga tentang muqallid; yakni
orang awam yang belum memiliki kapasitas ilmu untuk bisa mengambil faedah
hukum. Sehingga mereka mengikuti para mujtahid yang sudah memiliki
kapasitas untuk itu.
B. Perbedaan Antara Fiqh dan Ushul Fiqh
1. Objeknya
Objek kajian atau pembahasan dalam ilmu ushul fiqh
secara umum mencakup 3 hal :
- Sumber dan dalil hukum syar’i secara global
- Hukum syar’i yang terkandung dalam dalil secara global
- Kaidah ushuliyyah dan metode istinbath hukum syar’i
Perbedaannya dengan fiqh adalah :
Pertama : Bahwa ushul fiqh hanya membahas sumber dan dalil
hukum syar’i secara global, seperti ijma’ dapat dijadikan dalil,
penunjukkan lafadz umum itu bersifat persangkaan, istihsan itu
dapat dijadikan hujjah, dan semacamnya.
Sedangkan fiqh yang dibahas dalilnya bersifat rinci,
seperti dalil wajibnya niat dalam suatu amalan adalah “Sesungguhnya amalan itu
tergantung niatnya.” dan sebagainya.
Kedua : Bahwa ushul fiqh hanya membahas hukum syar’i secara
global yang terkandung dalam sebuah dalil; seperti: apa hukum yang terkandung
dalam dalil ini? Wajibkah? Atau haramkah? Atau selainnya?
Sementara fiqh membahas hukum syar’i secara
terperinci; seperti : niat dalam shalat itu hukumnya wajib, takbiratul ihram
itu hukumnya wajib, berbicara dalam shalat itu hukumnya haram, dan sebagainya.
Ketiga : Bahwa ushul fiqh membahas kaidah dan metode istinbath
hukum, sementara fiqh membahas hukum perbuatan mukallaf.
2. Tujuannya
Dari segi tujuannya, ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari
kaidah dalam rangka menghasilkan hukum syar’i. Sehingga dengan ilmu inilah
seseorang bisa mengambil kesimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil yang ada.
Sementara ilmu fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari
status hukum mukallaf atau menetapkan hukum pada setiap perbuatan mukallaf.
Dengan ilmu ini maka kita bisa mengetahui status hukum yang diperbuat oleh mukallaf.
Dari perbedaan tersebut dapat kita
ringkas sebagai berikut :
Fiqh
|
Ushul Fiqh
|
Dalilnya rinci
|
Dalilnya global
|
Pembahasan hukum syar’i secara
rinci
|
Pembahasan hukum syar’i secara
global
|
Tujuannya mengetahui hukum
perbuatan mukallaf
|
Tujuannya mengetahui kaidah
istinbath
dalil
|
Agar lebih mudah
memahami perbedaan kedua ilmu diatas, tentu kita harus mempelajari keduanya.
Dengan mempelajari itulah maka kita akan merasakan dan dapat menyimpulkan
perbedaan diantara kedua disiplin ilmu tersebut.
C. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Sebagaimana yang kita
ketahui, bahwa keberadaan dalil adalah dimaksudkan untuk menghasilkan hukum
yang bisa diterapkan. Namun, keberadaan dalil tidak dapat diketahui kandungan
hukumnya tanpa adanya kaidah baku untuk menentukannya.
Nah, dengan ilmu ushul fiqh
inilah kita mempelajari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama
agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada.
Maka dapat kita katakan bahwa
tujuan mempelajari ushul fiqh adalah agar kita bisa menerapkan kaidah
pada dalil-dalil yang ada sehingga bisa menghasilkan hukum syar’i yang bisa
diamalkan.
Berikut gambaran ringkasnya :
Kaidah Ushul > Dalil-dalil > Hukum
Contoh : Dalil perintah menunjukkan hukum wajib > Dirikanlah shalat > Shalat hukumnya wajib
D. Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh
1. Menyingkap Hukum Permasalahan Kontemporer
Di era modern ini
permasalahan kaum muslimin semakin lama semakin kompleks. Banyak sekali
masalah-masalah kontemporer yang tidak diketahui status hukumnya.
Oleh karena itu, dengan
mempelajari ushul fiqh inilah seseorang dapat memecahkan permasalahan
tersebut.
2. Mengkaji dan Menguji Ulang Ijtihad Ulama Terdahulu
Sebagaimana yang kita
ketahui, bahwa kebenaran hanya ada pada Al-Quran dan As-Sunnah. Sementara kebenaran ijtihad para ulama tidak
bersifat absolut. Karena bagaimanapun kemampuan mereka dalam berijtihad mereka
adalah manusia yang berusaha memahami syariat Islam dengan segenap kemampuan
mereka.
Yang patut kita pegang adalah
bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mengklaim ijtihad mereka benar
sepenuhnya.
Selain itu, banyak sekali
terjadi perselisihan pendapat antara salah satu ulama dengan ulama lainnya,
terutama dalam permasalahan-permasalahan hukum yang tidak dijumpai dalil tegas
yang menunjukkan status hukumnya.
Disamping itu, ijtihad yang
mereka hasilkan juga terikat dengan ruang dan waktu. Apa yang mereka upayakan
dalam menyingkap status hukum suatu permasalahan yang belum ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentunya mempertimbangkan
kemaslahatan pada tempat dan apa yang terjadi saat itu.
Maka dengan ilmu ushul fiqh
inilah kita bisa mengkaji dan menguji ulang pendapat-pendapat ulama terdahulu.
Sehingga kita bisa mengetahui mana pendapat yang benar atau yang lebih kuat diantara pendapat yang ada sehingga dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum.
E. Sejarah Singkat Ilmu Ushul Fiqh
Berikut ini sejarah singkat
perkembangan ilmu ushul fiqh sejak zaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wasallam hingga penyusunannya secara sistematis dalam sebuah kitab berjudul
“Ar-Risalah” yang disusun oleh ulama yang sangat berilmu Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah.
1. Masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
Pada hakikatnya ilmu ushul
fiqh ini sudah ada sejak zaman Nabi. Namun, ilmu ini masih berupa praktek dan
belum berupa teori yang di susun dalam kitab-kitab. Bahkan ilmu ini lahir
sebelum ilmu fiqh. Karena mustahil fiqh ada tanpa adanya ushul fiqh.
Sebagaimana ilmu bahasa Arab,
tentunya ilmu bahasa Arab sudah ada sejak dahulu. Namun, baru berupa praktek,
belum berupa teori yang dibukukan secara sistematis.
Bukti keberadaan ilmu ushul
fiqh ini dapat kita ketahui dari kisah Rasul saat mengirimkan pasukannya untuk
mengepung perkampungan bani Quraidhah.[3]
Sebelum pasukan itu berangkat
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berpesan pada pasukannya :
لاَ
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah salah
seorang kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidahah.”
Namun, ditengah perjalanan,
waktu Ashar pun tiba. Ketika waktu Ashar hampir berlalu sementara perjalanan
masih jauh maka sebagian sahabat justru malah melaksanakan shalat Ashar.
Sementara sebagian sahabat
lainnya tetap melanjutkan perjalanan dan baru melaksanakan shalat Ashar pada
malam hari sesampainya di perkampungan Bani Quraidhah.
Dari kisah ini terjadi
perbedaan pemahaman antara sebagian sahabat dengan sebagian lainnya.
Pemahaman yang pertama
memahami pesan Nabi secara tekstual, yakni “Tidak
akan melaksanakan shalat Ashar apapun yang terjadi hingga sampai di tempat
tujuan, yakni perkampungan Bani Quraidhah.”
Sementara pemahaman yang kedua,
memahami pesan Nabi secara kontekstual, yakni “Bercepatlah agar bisa
sampai bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba sehingga kalian bisa shalat
Ashar di sana.”
Perbedaan pemahaman ini tidaklah
tercela. Karena kedua kelompok ini memiliki dasar masing-masing dalam memahami
pesan Nabi. Bahkan, ketika kasus tersebut dilaporkan pada Nabi pun beliau tidak
mencelanya.
2. Masa Sahabat radhiyallaahu ‘anhum
Pada masa ini permasalahan
baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya mulai bermunculan. Tentu
permasalahan-permasalahan tersebut perlu diketahui status hukumnya.
Terputusnya wahyu dan wafatnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan permasalahan
tersebut tidak bisa ditanyakan langsung kepada beliau.
Oleh karena itu, para sahabat
berusaha keras mengerahkan segenap pikirannya (berijtihad) untuk menjawab
status hukum pada permasalahan tersebut. Karena tuntutan tersebutlah ilmu ushul
fiqh semakin berkembang.
Mereka (para sahabat) memperoleh
kemampuan berijtihad melalui pengalaman mereka dan pengamatan mereka terhadap cara
Nabi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Selain itu, kemampuan mereka
terhadap bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya membuat mereka semakin mudah dalam
menyingkap status hukum pada permasalahan baru yang dihadapi.
Sahabat yang terkenal dengan
kemampuannya dalam berijtihad saat itu, diantaranya :
- Empat Khulafa’ur Rasyidin
- Ibnu Mas’ud
- Ibnu Abbas
- Aisyah binti Abu Bakar
- Ibnu Umar
- dll
3. Masa Tabi’in radhiyallaahu ‘anhum
Pada masa ini lapangan
istinbath hukum semakin meluas, seiring semakin banyaknya persoalan yang mereka
hadapi sehingga memerlukan kejelasan status hukum pada persoalan tersebut.
Dalam menetapkan suatu hukum
mereka menggunakan metode yang berbeda-beda; ada yang dengan metode qiyas,
maslahah, amal ahli madinah, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul corak
fikih yang berbeda diantara dua kota yaitu Madinah dan Irak.
Beberapa tabi’in yang tampil
sebagai mujtahid saat itu, diantaranya :
- Sa’id Ibnu Musayyab
- Ibrahim An-Nakha’i
- Alqamah
4. Masa Imam Madzhab rahimahumullah
Perbedaan aliran fikih tersebut
semakin tampak pada masa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Aliran tersebut
diantaranya :
- Madzhab Ahlir Ra’yi (Aliran Fiqh Rasional)
- Madzhab Ahlil Hadits (Aliran Fiqh Tradisional)
Madzhab ahlir
ra’yi atau disebut juga madrasah ahlir
ra’yi berdiri di Irak yang diprakarsai oleh Imam Abu Hanifah. Sedangkan madzhab
ahlil hadits atau disebut juga madrasah alhlil hadits berdiri di
Madinah yang diprakarsai oleh Imam Malik.
Perbedaan tersebut disebabkan
beberapa faktor diantaranya :
- Letak geografis Irak yang jauh dari sumber hadits yakni Madinah
- Banyak pemalsuan hadits di Irak sehingga sangat berhati-hati dalam menerima riwayat hadits
- Di Madinah apabila terjadi pemalsuan hadits lebih mudah diketahui mengingat banyaknya ulama hadits di sana.
- Kebutuhan hukum di Irak sangat kompleks, mengingat di sana adalah kota metropolitan
- Kondisi Madinah masih homogen dan kebutuhan terhadap hukum tidak begitu kompleks
Pada masa Imam Syafi’i perkembangan
ilmu fikih menjadi lebih pesat lagi. Adanya perbedaan corak fikih antara Irak
dan Madinah menjadikan perdebatan antara ke dua kubu tersebut semakin sengit.
Pada masa ini Imam Syafi’i
menyaksikan langsung perdedebatan antara kedua kubu madzhab fikih yang
berkembang saat itu. Dan saat itu, beliau juga belajar langsung dari kedua aliran
fikih tersebut, yakni belajar langsung kepada Imam Malik, dan kepada salah satu
muridnya Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
Dengan pengetahuannya yang
luas itulah beliau menyusun secara sistematis metode kerangka berpikir yang
harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum dalam
kitabnya yang terkenal “Ar-Risalah”.
RINGKASAN
A. Pengertian
- Ushul Fiqh secara bahasa = Pondasi Pemahaman
- Ushul Fiqh secara istilah = Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh secara umum dan tata cara mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada serta tentang ihwal mujtahid.
B. Perbedaan dengan Fiqh
Fiqh
|
Ushul Fiqh
|
Dalilnya rinci
|
Dalilnya global
|
Pembahasan hukum syar’i secara
rinci
|
Pembahasan hukum syar’i secara
global
|
Tujuannya mengetahui hukum
perbuatan mukallaf
|
Tujuannya mengetahui kaidah
istinbath
dalil
|
C. Tujuan Mempelajari
- Mengetahui kaidah berfikir yang harus ditempuh untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada.
D. Manfaat Mempelajari
- Menyingkap status hukum permasalahan kontemporer
- Mengkaji dan menguji ulang hasil kesimpulan hukum ulama terdahulu
E. Sejarah Singkat
- Masa Nabi = Baru berupa praktek dan belum menjadi teori
- Masa Sahabat = Permasalahan baru muncul dan perlu diketahui status hukumnya. Maka para sahabat berusaha segenap kemampuan mereka menyingkap status hukum tersebut dengan ilmu yang mereka miliki.
- Masa Tabi’in = Permasalahan semakin komplek dan mulai muncul perbedaan aliran fiqh antara Irak dan Madinah.
- Masa Imam Madzhab = Muncul corak fiqh rasional yang diprakarsai imam Abu Hanifah dan corak fiqh tradisional yang diprakarsai imam Malik. Dua corak tersebut dipelajari imam Syafi’i. Kemudian kerangka berfikir yang beliau tempuh dalam mengambil kesimpulan hukum disusun secara sistematis dalam sebuah kitab berjudul “Ar-Risalah.”
Oleh : Adam Rizkala