13 Adab Penuntut Ilmu Kepada Guru
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 3/19/2019
![]() |
Apabila kita melihat fenomena terkini, betapa banyaknya
penuntut ilmu yang tidak memperhatikan adab-adabnya dikala menuntut ilmu.
Sehingga ilmu yang diperolehnya hanya sekedar informasi
dalam kepala yang digunakan untuk berbangga-banggaan, mengajak debat tanpa adab
dan etika, dan keburukan lainnya.
Berikut ini akan kita bahas bersama “Adab
Penuntut Ilmu Kepada Guru” yang merupakan kelanjutan artikel “Adab
Penuntut Ilmu Terhadap Dirinya.”
Pada bab ini akan kita bahas bersama tiga belas adab
penuntut ilmu yang wajib diperhatikan oleh setiap penuntut ilmu. Berikut ketiga
belas adab penuntut ilmu kepada gurunya menurut Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’i :
1. Memilih Guru
Seorang penuntut ilmu hendaknya memperhatikan[1]
dan memohon pilihan kepada Allah[2]
kepada siapakah ia harus mengambil ilmu, memperoleh akhlak yang baik dan
memperoleh adab darinya.
Jika memungkinkan, hendaknya ia mengambil ilmu dari
seorang yang sempurna keahliannya, nyata belas kasihnya, tampak muru’ahnya[3],
diketahui iffahnya[4],
dikenal penjagaannya, baik mengajarnya, serta bagus pemahamannya.
Dalam menuntut ilmu, janganlah seorang thalibul ilmi
memilih guru yang kurang wara’, atau kurang agamanya, atau tidak
memiliki akhlak yang baik. Sebagian As-Salaf mengatakan :
هَذَا الْعِلْمُ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ
تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah
dari siapa engkau mengambil agama kalian.
Hendaknya ia tidak membatasi diri untuk mengambil ilmu
dari orang-orang yang terkenal saja dan meninggalkan orang-orang yang tidak
terkenal.
Imam Al-Ghazali dan lainnya memandang bahwa hal itu
adalah kesombongan atas ilmu dan pandangan yang bodoh. Karena hikmah adalah
barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin yang akan ia pungut dimanapun ia
jumpai, yang akan ia manfaatkan dimanapun ia peroleh, dan yang akan ia sandarkan karunia pada
siapapun yang memberikan hikmah itu kepadanya.
Sesungguhnya melarikan diri karena takut akan kebodohan
itu ibarat lari dari terkaman singa, dan seorang yang lari dari singa tidak
akan meremehkan petunjuk dari siapapun orang yang menunjukkannya pada jalan
keselamatan.
Ketika sang guru yang tidak terkenal itu ternyata adalah
seorang yang diharapkan keberkahannya maka justru manfaatnya lebih merata dan
apa yang diperoleh dari sisinya jauh lebih sempurna.
Ketika engkau menyelidiki ihwal para salaf
dan khalaf maka engkau tidak akan menguasai manfaat yang dihasilkannya
dan mendapati kesuksesan yang dicapainya kecuali ketika sang guru adalah
seorang yang memiliki ketakwaan yang melimpah, kasih sayang, serta bukti
yang nyata dalam menasehati murid-muridnya.
Demikian pula ketika engkau mengambil ibrah dari
kitab-kitab yang disusun oleh orang yang bertakwa dan zuhud maka engkau akan menjumpai
kebermanfaatan yang melimpah serta
keberuntungan yang lebih banyak dengan menyibukkan diri dengannya.
Hendaknya penuntut ilmu bersungguh-sungguh mencari ilmu
kepada seorang guru yang sempurna pengetahuannya terhadap ilmu syar’i dan ia
juga terikat dengan para guru di zamannya yang banyak membahas ilmu dan sering
berijtima’, bukan guru yang mengambil ilmu dari perutnya kitab (autodidak) dan
tidak dikenal dekat dengan lingkungan para guru.
Imam Syafi’i mengatakan :
مَنْ تَفَقَّهَ مِنْ بُطُوْنِ الْكُتُبِ ضَيَّعَ
الْأَحْكَامَ
Barang siapa yang mencari kefahaman
dari tengah-tengahnya kitab (tidak menelaah kitab secara keseluruhan) maka ia
telah menyia-nyiakan hukum-hukum.
Sebagian dari mereka mengatakan :
مِنْ أَعْظَمِ الْبَلَيَّةِ تَشْيُخُ الصَّحِيْفَة
Termasuk bencana yang paling besar
adalah berguru pada Ash-Shahiifah.
(Maksudnya yakni orang yang belajar dari lembaran-lembaran.)
2. Menaati Guru
Seorang penuntut ilmu hendaknya menaati gurunya disetiap
perkara, serta tidak keluar dari pendapat dan aturannya. Bahkan semestinya
hubungan ia dengan gurunya bagaikan hubungan orang sakit yang diarahkan oleh
seorang dokter spesialis.
Lalu hendaknya ia berkonsultasi dengan gurunya terhadap
apa yang ia kehendaki. Dan sepantasnya ia mencari ridhanya dalam perkara yang
telah ia kerjakan, bersungguh-sungguh dalam menghormatinya, serta
mendekat kepada Allah dengan berkhidmat padanya.
Ketahuilah, bahwa merendah kepada guru adalah kemuliaan,
tunduk kepadanya adalah kebanggaan, dan rendah hati kepadanya adalah keluhuran.
Telah disebutkan bahwa imam Syafi’i rahimahullah
pernah dicela karena tawadhu’nya terhadap ulama, lalu beliau mengatakan
:
أَهِينُ لَهُمْ نَفْسِي لِكَيْ يُكْرِمُونَهَا ...
وَلَنْ تُكْرَمَ النَّفْسُ الَّتِي لَا تُهِينُهَا
Aku merendahkan diriku pada mereka
agar mereka muliakan diriku . . . Diri yang tidak pernah dihinakan tidak akan
pernah mulia.[5]
Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu, dengan kemuliaan,
kehormatan, dan martabatnya pernah memegang kendaraannya Zaid bin Tsabit Al
An-Shaariy (dalam rangka merendahkan diri) dan ia pun berkata : “Seperti inilah
kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami.”[6]
Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Khalaf Al-Ahmar :
لَا أَقْعُدُ إِلَّا بَيْنَ يَدَيْكَ، أُمِرْنَا
أَنْ نَتَوَاضَعَ لِمَنْ نَتَعَلَّمُ مِنْهُ
Tidaklah aku duduk kecuali di depanmu, aku diperintah agar bisa tawadhu' kepada seorang yang aku belajar ilmu
darinya.
Imam Al-Ghazali mengatakan :
فَلَا يُنَالُ العِلْمُ
إِلَّا بِالتَّوَاضُعِ وَإِلْقَاءِ السَّمْعِ
وَمَهْمَا أَشَارَ عَلَيْهِ شَيْخُهُ بِطَرِيْقٍ
فِي التَّعْلِيْمِ فَلْيُقَلِّدْهُ وَلْيَدَعْ رَأيَهُ فَخَطَأُ مُرْشِدِهِ
أَنْفَعُ لَهُ مِنْ صَوَابِهِ فِي نَفْسِهِ
Apapun yang diarahkan oleh guru
kepada muridnya, hendaknya murid itu tetap mengikutinya dan meninggalkan
pendapatnya. Karena kesalahan gurunya itu lebih bermanfaat baginya dari pada kebenaran di dalam dirinya. [8]
Allah telah mengenalkan hal itu di dalam kisahnya Nabi
Musa dan Khidhir alaihimassalam. Allah ta’ala berfirman :
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.[9]
(Khidir mengucapkan hal ini pada Musa) padahal kedudukan
Musa adalah sebagai orang mulia yang berbicara kepada Allah di dalam
kerisalahannya dan tinggi keilmuannya sehingga Khidhir mempersyaratkan pada
Musa untuk tetap diam (ketika belajar pada Khidir).
فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ
لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
Maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”[10]
3. Memuliakan Guru
Hendaknya penuntut ilmu memandang gurunya bahwa ia adalah
sosok yang harus dimuliakan, dan meyakini bahwa ia memiliki derajat yang
tinggi. Karena sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan pada kebermanfaatannya.
Dahulu sebagian As-Salaf ketika berangkat menuju
gurunya maka ia bersedekah dengan sesuatu dan berdo’a : “Ya Allah tutupilah aib
guruku dariku dan janganlah Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”
Imam Syafi’i mengatakan :
كُنْتُ أَصْفَحُ الوَرَقَةَ بَيْنَ يَدَي مَالِكٍ
صَفْحًا رَفِيْقًا هَيْبَةً لَهُ لِئَلاَّ يَسْمَعَ وَقْعَهَا
Dahulu aku membalik selembar kertas
di hadapan imam Malik (guru imam Syafi’i) dengan halus karena merasa segan
padanya dan agar ia tidak mendengar suara kertas (yang aku balik)
Ar-Raabi’ bin Sulaiman Al-Muraadi mengatakan :
وَاللهِ مَا اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ
وَالشَّافِعِي يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ
Demi Allah, tidaklah aku berani
minum air sedangkan imam Syafi’i melihatku karena aku segan padanya
Dahulu, sebagian anak-anak khalifah menghadiri majelis
Syariik bin Abdullah An-Naja’i, lalu ia bersandar di tembok dan meminta kepada
Syariik sebuah hadits.
Namun, Syariik tidak menoleh kepadanya. Maka ia meminta
lagi, namun syarik juga tidak menoleh. Ia pun berkata : “Apakah engkau
meremehkan anaknya seorang khalifah?”
Syarik menjawab : “Tidak, akan tetapi ilmu itu lebih
mulia di sisi Allah dari pada aku menyia-nyiakannya.”
Diriwayatkan pula : “Ilmu ini lebih bagus berada di sisi
ahlinya dari pada mereka menyia-nyiakannya.”
Seorang penuntut ilmu hendaknya berbicara dengan sopan
kepada gurunya.
Janganlah ia berbicara kepada gurunya dengan kata ganti
“kamu” dan memanggilnya dari jauh, namun hendaknya ia mengatakan : “Wahai
tuanku/Pak, Wahai ustadz/Pak guru.”
Al-Khathiib mengatakan :
وَإِذَا خَاطَبَ الطَّالِبُ
الْمُحَدِّثَ عَظَّمَهُ فِي خِطَابِهِ بِنِسْبَتِهِ إِيَّاهُ إِلَى الْعِلْمِ،
مِثْلَ أَنْ يَقُولَ لَهُ: أَيُّهَا الْعَالِمُ، أَوْ أَيُّهَا الْحَافِظُ،
وَنَحْوَ ذَلِكَ
Ketika seorang murid
berbicara pada seorang ahli hadits maka ia harus mengagungkannya dengan
menisbatkan ilmu kepadanya, contoh ia ucapkan :
Dan ketika sang guru tidak ada janganlah ia menyebut
namanya kecuali disandingkan dengan hal yang mengagungkannya seperti :
“Syaikh fulan berkata, atau ustadz fulan berkata,
atau syaikh kami berkata, atau hujjatul islam berkata, dan semisalnya.”
4. Mengetahui Keutamaan Guru dan Menjaga Haknya
Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui haknya guru dan
tidak lupa dengan jasa-jasa gurunya. Syu’bah bin Al Hajjaaj mengatakan :
كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنَ الرَّجُلِ الْحَدِيْثَ
كُنْتُ لَهُ عَبْدًا مَا يَحْيَا
Ketika aku mendengar hadits dari
seseorang maka aku menjadi budaknya selama ia hidup.
Dan termasuk hal itu adalah ia mengagungkan kehormatannya
dan menyanggah bila ada orang yang menggunjingnya serta marah dengan gunjingan
itu. Apabila ia tidak sanggup maka hendaknya ia berdiri dan memisahi gerombolan pergunjingan
tersebut.
Kemudian, sepantasnya seorang murid mendoakan gurunya
sepanjang hidupnya, meramut keturunannya, kerabatnya, dan orang tercintanya
setelah wafatnya. Dan juga hendaknya ia berziarah ke kuburnya, memintakan
ampunan untuknya, dan bersedekah untuknya.
Hendaknya ia menempuh jalannya dan petunjuknya, menjaga
kebiasaannya dalam ilmu dan agama, mengikuti jejaknya dalam rutinitas dan
ibadahnya, beradab dengan adab-adabnya, dan tidak meninggalkan bimbingannya.
5. Bersabar dengan Kasarnya Guru
Seorang murid hendaknya bersabar ketika guru berbuat
kasar/marah dan bersabar atas akhlak yang kurang baik darinya.
Janganlah ia meninggalkan diri dari bermulazamah[12]
dengannya dan kebaikan aqidahnya. Hendaknya seorang thalib menafsirkan
perbuatan-perbuatan yang tampak dari syaikhnya bahwa yang benar adalah
menyelisihinya dengan penafsiran yang baik.
Apabila sang guru berbuat kasar padanya maka sepantasnya
seorang muridlah yang memulai untuk meminta maaf, bertaubat dari apa yang telah
terjadi dan beristighfar kepada Allah.
Lalu seorang thalib hendaknya menisbatkan kejadian itu
pada faktor yang menyebabkan gurunya berbuat kasar dan menjadikan hal itu
sebagai teguran atas dirinya.
Karena sesungguhnya hal itu lebih mengekalkan kecintaan
pada gurunya, lebih menjaga hatinya, dan lebih bermanfaat bagi seorang thalib
di dunia maupun akhirat.
Sebagian As-Salaf mengatakan :
مَنْ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى ذُلِّ التَّعْلِيْمِ
بَقِيَ عُمُرَهُ فَي عَمَايَةِ الْجَهَالَةِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَيْهِ آلَ أَمْرُهُ
إِلَى عِزِّ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Barang siapa yang tidak bersabar
atas hinanya belajar maka tersisalah umurnya dalam kesesatan dan kebodohan, dan
barang siapa yang sabar atasnya maka perkaranya akan kembali menuju kemuliaan
dunia dan akhirat.
Sebagian mereka juga mengatakan :
اصْبِرْ لِدَائِكَ إِنْ جَفَوْتَ طَبِيْبَهُ . . .
وَاصْبِرْ لِجَهْلِكَ إَنْ جَفَوْتَ مُعَلِّمًا
Bersabarlah dengan penyakitmu jika kamu mengacuhkan dokternya . . . bersabarlah dengan kebodohanmu jika kamu mengacuhkan gurumu
Ibnu Abbas mengatakan :
ذَلَلْتُ طَالِبًا لِطَلَبِ الْعِلْمِ، فَعَزَزْتُ
مَطْلُوبًا
Aku merendah sebagai seorang murid lalu
aku mulia sebagai seorang guru.[13]
Mu’aafaa bin Imran berkata :
مَثَلُ الَّذِي يغضبُ عَلَى العَالِمِ مَثَلُ
الَّذِي يَغْضَبُ عَلَى أَسَاطِيْنِ الْجَامِعِ
Perumpamaan orang yang marah pada
guru bagaikan orang yang marah pada kumpulan tiang (pilar masjid) jami'.
Imam Syafi’i mengatakan :
قِيْلَ لِسُفْيَان بن عُيَيْنَة: إَنَّ قَوْمًا
يَأْتُوْنَكَ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ تَغْضَبُ عَلَيْهِمْ يُوْشِكُ أَنْ
يَذْهَبُوْا أَوْ يَتْرُكُوْكَ، فَقَالَ لِلْقَائِلِ: هُمْ حَمْقَى إِذًا مِثْلُكَ
إِنْ تَرَكُوْا مَا يَنْفَعُهُمْ لِسُوْءِ خُلُقِي
Seseorang berkata pada Sufyan ibnu
Uyainah :
“Sesungguhnya ada suatu kaum yang
datang padamu dari penghujung bumi yang engkau murka pada mereka sehingga
mereka berjalan cepat pergi dan meninggalkanmu.”
Maka Sufyan berkata pada orang yang
berkata itu :
“Jikalau seperti itu maka mereka adalah orang dungu sepertimu, jika mereka meninggalkan
apa yang bermanfaat buat mereka lantaran buruknya akhlakku.”
Abu Yusuf berkata :
خَمْسَةٌ يَجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ
مُدَارَاتُهُمْ، وَعَدَّ مِنْهُمْ الْعَالِم لَيُقْتَبَسَ مِنْ عِلْمِهِ
Ada lima hal yang wajib bagi manusia
untuk mengitarinya : salah satunya adalah ulama yang dapat diperoleh faedah
dari ilmunya.
6. Bersyukur Kepada Guru
Seorang penuntut ilmu hendaknya bersyukur kepada gurunya
atas penjelasan yang banyak sekali keutamaan di dalamnya.
Ia juga harus bersyukur atas teguran darinya karena
kekurangan atau kemalasan yang menimpanya, atau karena kurangnya perhatian atau
karena selain itu. Tentunya, dari penjelasan dan teguran tersebut terdapat
bimbingan dan kebaikan di dalamnya.
Seorang penuntut ilmu juga harus mengetahui bahwa semua
yang diberikan oleh guru berupa peramutan dan perhatian kepada dirinya adalah
nikmat dari Allah ta’ala.
Sesungguhnya dengan bersyukur itu lebih menyenangkan hati
sang guru dan membangkitkan perhatian dengan kebaikannya.
Ketika sang guru menerangkan (ilmu) kepadanya dengan tata
krama yang sedikit atau kekurangan yang timbul darinya sementara ia sudah
mengetahui kekurangan guru itu sebelumnya maka janganlah ia menunjukkan bahwa
ia mengetahui kekurangan itu dan hendaknya ia melupakannya.
Justru seorang thalib hendaknya bersyukur kepada
gurunya atas faedah yang diberikan dan perhatian darinya.
Namun, apabila terdapat udzur dalam hal itu dan
memberitahu sang guru akan udzur tersebut membuahkan kebaikan maka
tidaklah mengapa. Dan jika tidak memberi tahupun juga tidak mengapa, kecuali
apabila karena tidak menerangkan udzurnya itu berakibat mafsadah
maka ia wajib memberitahunya.
7. Adab Masuk dan Meminta Izin Pada Guru
Janganlah seorang thalib itu memasuki tempat gurunya
(baik itu rumah guru, kelas dimana sang guru sedang mengajar, ruang guru, dsb)
kecuali dengan meminta izin kepada sang guru, baik itu ketika sang guru sedang
sendiri maupun bersama orang lain.
Apabila sang guru sudah mengetahui permintaan izin
tersebut lalu ia tidak mengizinkannya maka hendaknya ia pergi, dan janganlah
mengulang permintaan izin kembali.
Namun apabila ia ragu apakah sang guru sudah mengetahui
permintaan izinnya atau belum, maka ia boleh mengulang permintaan izinnya
maksimal tiga kali atau tiga ketukan pintu.
Hendaknya ia mengetuk pintu dengan ringan serta bertata
krama, yakni yang pertama mengetuknya dengan kuku-kuku jari, bila belum
terdengar oleh guru maka lalu dengan jari, bila belum terdengar juga maka
dengan cincin.
Apabila tempatnya jauh dari pintu maka boleh dengan
mengeraskan suara yang sekiranya terdengar dan tidak boleh lebih keras dari
itu.
Apabila ia izin bergerombolan maka yang dahulu memberi salam adalah yang lebih afdhal diantara mereka dan
yang lebih tua, kemudian barulah yang lainnya.
Sepantasnya seorang penuntut ilmu masuk ke tempat gurunya
dengan keadaan yang sempurna, yakni dengan badan dan baju yang bersih, suci
serta rapi.
Hendaknya ia juga sudah memotong kuku dan rambutnya serta
terhindar dari bau yang tidak sedap. Lebih-lebih apabila ia memasuki majelis
ilmu, maka hal ini lebih ditekankan lagi, karena ia merupakan majelis dzikir
dan tempat berkumpul dalam kegiatan ibadah.
Ketika seorang thalib masuk ke tempat gurunya sedangkan
ada orang yang sedang berbicara dengannya, atau sang guru sedang shalat, atau
berdzikir, atau menulis, atau sedang menelaah kitab, maka diamlah dan pergilah
dan jangan langsung berbicara atau mengutarakan cerita.
Namun hendaknya ia salam dan pergi dengan segera, kecuali
apabila sang guru memerintahkan kita untuk tetap berada di tempat. Dan ketika
ia berada di tempat itu maka janganlah berlama-lama kecuali sang guru
mengizinkannya.
Sepantasnya bagi seorang thalib memasuki tempat sang guru
dan duduk di sisinya dengan hati yang bersih dari kesibukan serta pikiran yang
jernih dan tidak dalam keadaan mengantuk, marah, sangat lapar, haus, atau
semisalnya.
Tujuannya adalah agar hatinya lapang saat menerima
pelajaran dan memahami apa yang ia dengarkan.
Apabila ia menghadiri tempat syaikhnya dan ia
tidak menjumpai syaikhnya dalam keadaan duduk (sedang mengajar), maka
tunggulah dia agar ia tidak tertinggal pelajaran. Karena sesungguhnya setiap
pelajaran yang tertinggal tidak bisa tergantikan.
Janganlah penuntut ilmu mendatangi gurunya diwaktu malam.
Apabila sang guru sedang tidur maka bersabarlah hingga ia terbangun, atau
hendaknya ia pergi dan kembali pulang, dan bersabar adalah yang terbaik
untuknya.
Telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah duduk menunggu
dalam rangka mencari ilmu di depan pintu rumah Zaid bin Tsabit hingga ia
terbangun. Maka dikatakanlah kepada Ibnu Abbas : “Maukah kami bangunkan ia
untukmu?”
Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak”. Seringkali beliau lama
menetap ditempat itu, dan mataharilah yang mengetuk pintunya. Demikian itulah
yang dilakukan oleh mereka para salaf.
Janganlah petuntut ilmu meminta dibacakan ilmu dari gurunya
diwaktu yang memberatkan gurunya, atau diwaktu yang bukan rutintas gurunya
membacakan ilmu.
Jangan pula ia membuat waktu khusus selain waktu
mengajarnya, walaupun ia adalah seorang pimpinan atau pemuka di suatu kaum. Hal itu dikarenakan termasuk
perbuatan sombong dan bodoh kepada guru dan ilmu.
Bisa jadi sang guru merasa sungkan karenanya sehingga ia
meninggalkan sesuatu yang lebih penting baginya di waktu itu (hanya untuk
membacakan ilmu pada muridnya).
Namun, apabila sang guru yang memulai dengan menentukan
waktu tertentu atau waktu khusus karena berhalangan untuk menghadiri para
jamaahnya atau karena suatu kemaslahatan maka hal itu tidaklah mengapa.
8. Adab Duduk Bersama Guru
Seorang penuntut ilmu sepantasnya duduk di depan gurunya
dengan duduk yang beradab sebagaimana duduknya seorang anak kecil di depan
gurunya. Atau hendaknya ia duduk dengan bersila dengan rendah hati, badan yang
tenang, dan mulut yang terdiam, serta khusyuk.
Ia juga hendaknya mendengarkan sambil memandang kearah
gurunya. Lalu, ia juga menerima kuliah dari gurunya sambil berkonsentrasi
terhadap ucapan gurunya, sehingga gurunya tidak perlu mengulangi ucapannya
lagi.
Janganlah ia menoleh apabila bukan dalam keadaan terdesak
dan jangan pula melihat-lihat ke kanan, kiri atau keatas. Tidaklah pantas apabila
ia memandang kecuali memandang gurunya.
Janganlah ia membuat kekacauan dengan membuat kegaduhan,
atau berpaling kepada kegaduhan tersebut, terutama ketika membahas pelajaran.
Janganlah ia menyingsingkan lengan bajunya, membuka kedua
lengannya, bermain dengan kedua tangan dan kakinya, atau dengan anggota tubuh
lainnya.
Janganlah ia memainkan janggut, atau memegang mulutnya, atau memain-mainkan hidungnya, atau mengorek-ngorek
hidungnya, atau membuka mulutnya.
Janganlah ia mengetok-ngetok giginya, dan juga
menghentakkan kakinya, atau menulis diatas tanah dengan jari-jari kakinya.
Jangan pula ia menjalin jari-jarinya atau memainkan
kancingnya. Janganlah ia bersandar dihadapan gurunya ke tembok atau bantal atau tiang ataupun menyandarkan tangannya disitu.
Janganlah ia menghadapkan tubuhnya kepada gurunya dari samping
atau dari belakangnya, dan janganlah menyandarkan tangannya ke belakangnya atau
ke sampingnya.
Janganlah ia banyak bicara yang tidak perlu dan janganlah
ia menceritakan sesuatu yang membuatnya tertawa atau perkataan yang kotor.
Termasuk pula pembicaraan yang buruk atau adab yang buruk.
Janganlah ia menertawakan sesuatu yang tidak aneh, atau
menertawakan keanehan di hadapan gurunya. Apabila ia tidak dapat menahannya
maka hendaknya ia tersenyum dengan senyuman yang tidak menimbulkan suara sama
sekali.
Jangan pula seorang penuntut ilmu berdehem tanpa ada
keperluan, meludah, dan membuang dahak selama hal itu memungkinkan.
Janganlah ia membunyikan dahak dari mulutnya, bahkan
hendaknya ia mengeluarkan dahak itu dari mulutnya dengan tisu atau kain perca.
Hendaknya ia menjaga celana dan pakaiannya yang
terkendor. Hendaknya juga ia menenangkan badannya ketika sedang pembahasan dan
pembelajaran.
Ketika bersin hendaknya ia berusaha meredam suara
bersinnya, serta menutupi wajahnya dengan tisu atau semisalnya. Ketika menguap
maka hendaknya ia berusaha menutupi mulutnya.
Ali radhiyallaahu ‘anhu mengatakan :
مِنْ حَقِّ العَالِمِ عَلَيْكَ أَنْ تُسَلِّمَ
عَلَى الْقَوْمِ عَامَّةً وَتَخُصَّهُ بِالتَّحِيَّةِ وَأَنْ تَجْلِسَ أَمَامَهُ
وَلَا تُشِيْرَنَّ عِنْدَهُ بَيَدَيْكَ وَلَا تَغْمِز بِعَيْنَيْكَ غَيْرَهُ،
وَلَا تَقُوْلَنَّ: قَالَ فُلَانٌ خِلَافَ قَوْلِهِ، وَلَا تَغْتَابَنَّ عِنْدَهُ
أَحَدًا، وَلَا تَطْلُبَنَّ عَثْرَتَهُ وَإِنْ زَلَّ قَبِلْتَ مَعْذِرَتَهُ،
وَعَلَيْكَ أَنْ تُوَقِّرَهُ للهِ تَعَالَى، وَإِنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ سَبَقْتَ
الْقَوْمَ إِلَى خِدْمَتِهِ وَلَا تُسَارَّ فِي مَجْلِسِهِ وَلَا تَأْخُذْ
بِثَوْبِهِ وَلَا تُلَحِّ عَلَيْهِ إَذَا كَسَلَ، وَلَا تَشْبَعَ مِنْ طُوْلِ صُحْبَتِهِ
فَإِنَّمَا هُوَ كَالنَّخْلَةِ تَنْتَظِرُ مَتَى يَسْقُطُ عَلَيْكَ مِنْهَا شَيْءٌ
Termasuk haknya seorang guru adalah
wajib bagi engkau menyampaikan salam pada kaum secara umum dan memberikannya
sebuah kekhususan dengan penghormatan.
Hendaknya engkau duduk di depannya
dan janganlah menunjuk-nunjuk dengan kedua tanganmu, dan jangan pula memandang dengan kedua matamu kepada selainnya.
Janganlah engkau mengatakan :
“Seorang fulan telah menyelisihi ucapannya.”
Jangan mengumpat seorangpun di
sisinya dan mencari-cari kesalahannya.
Apabila ia terjatuh dalam kesalahan
maka hendaknya engkau menerima udzurnya. Wajib bagimu untuk mengagungkan gurumu
karena Allah ta’ala.
Seandainya ia memiliki keperluan
maka engkau dahulukan pelayanannya pada kaum, dan janganlah engkau
berbisik-bisik di majelisnya, dan menarik bajunya.
Janganlah engkau mencelanya ketika
ia sedang malas, dan janganlah merasa puas berlama-lama belajar dengannya.
Sungguh Ali radhiyallaah a’nhu menghimpun wasiat
ini sebagai wasiat yang sudah mencukupi.
Sebagian para ulama juga berkata :
“Termasuk perbuatan yang
mengagungkan seorang guru adalah janganlah ia duduk di sampingnya, di tempat
shalatnya, atau di bantalnya. Apabila sang guru memerintahkan demikian maka
janganlah ia melakukannya kecuali ketika sang guru memerintahkan hal itu dengan
tegas dan engkau merasa keberatan jika menyelisihi perintahnya. Tidaklah
mengapa ia mengerjakan perintahnya di dalam keadaan seperti itu, kemudian
hendaknya ia kembali pada apa yang dikehendaki oleh adab.”
Banyak orang-orang yang membahas tentang dua perkara yang
manakah yang lebih utama untuk dijadikan pegangan: Mengerjakan perintahnya atau
mengikuti adabnya?
Jawabannya apabila sang guru bersikukuh dengan
perintahnya sehingga engkau merasa keberatan untuk menolaknya maka memenuhi
perintahnya jauh lebih utama.
Namun, apabila tidak maka mengikuti adab atau tata krama
jauh lebih utama; karena sang guru membolehkan itu bertujuan untuk kebaikan,
menampakkan penghormatan, dan perhatian kepadanya. Maka hendaknya ia bersedia
menerima hal itu karena ia wajib mengagungkan gurunya dan bertata krama
dengannya.
9. Berbicara yang Baik dengan Gurunya
Seorang penuntut ilmu hendaknya berbicara dengan cara
yang baik terhadap gurunya dengan segenap kemampuannya.
Janganlah ia berkata dengan perkataan yang kurang sopan,
seperti : “Lho, kenapa?” atau “Kami tidak puas” atau “Siapa yang menukil
riwayat ini?” atau “Terletak dimana?” dan yang semacam itu.
Apabila ia hendak memperoleh faedah darinya maka
hendaknya ia berperilaku sopan dalam menanyakan hal itu, kemudian di majelis
yang lain lebih utama untuk memperoleh faedah.
Sebagian salaf mengatakan : “Barang siapa yang
berkata pada gurunya ‘Kenapa?’ maka ia tidak akan beruntung selamanya.”
Ketika sang guru mengatakan tentang suatu hal, maka
janganlah penuntut ilmu mengatakan :
“Tuh kan, aku bilang.”
atau “Itu juga terpikir olehku.”
atau “Aku sudah pernah dengar.”
atau “Tuh kan, begini juga apa yang dikatakan si fulan.”
Demikian pula jangan berkata :
“Kata si fulan ini tidak begini.”
atau “Si fulan meriwayatkan tidak begini.”
atau “Ini tidak benar.” dan semacamnya.
Jika seorang guru berteguh hati di atas suatu ucapan atau
dalil dan pendapat yang benar tidak tampak olehnya atau menyelisihi kebenaran karena
kelalaiannya maka janganlah seorang penuntut ilmu merubah raut wajah atau pandangan
matanya atau berisyarat kepada orang lain seakan-akan mengingkari apa yang
dikatakan gurunya.
Bahkan hendaknya ia menampakkan kegembiraannya, walaupun
sang guru itu keliru karena kelalaiannya atau kurangnya kecermatan dalam
keadaan itu. Karena sesungguhnya manusia yang terjaga dari kekeliruan hanyalah
para Nabi shallallaahu ala’ihim wa sallam.
Hendaknya ia juga berusaha menjaga cara bicaranya
terhadap sang guru agar tidak melampaui batas sebagaimana yang dilakukan
orang-orang dalam pembicaraannya dan tidak melunakkan ucapannya, seperti :
“Kamu kok begitu?”
atau “Faham, nggak?”
atau “Denger, nggak?”
atau “Ngerti, nggak?”
atau “Hey, orang-orang!” dan semisalnya.
Demikian pula juga janganlah ia bercerita padanya dengan
cerita yang dibicarakan oleh orang lain dengan cara berbicara yang kasar kepada
guru – walaupun itu hanyalah cerita – contoh :
“Kata si fulan kepada si fulan engkau itu kurang baik,
dan engkau tidak memiliki kebaikan.” dan semisalnya.
Bahkan ketika ia ingin bercerita hendaknya ia menggunakan
kinayah[15],
contoh :
“Seorang fulan mengatakan pada fulan : Ada seorang nan
jauh di sana, sangat sedikit kebaikannya. Dan tidaklah ada kebaikan di sisi
orang tersebut.” dan semisal itu.
Hendaknya penuntut ilmu menjaga diri agar tidak
mengagetkan gurunya dengan bentuk bantahan. Hal ini sering kali terjadi pada
kebanyakan orang yang tidak memperbaiki tata kramanya. Contoh :
Syaikh/Guru berkata : “Apakah engkau mengatakan begini?”
Maka murid menjawab : “Aku tidak mengatakan hal itu!”
atau
Syaikh itu berkata : “Apakah seperti ini pertanyaan yang engkau
maksud?” atau “Seperti inikah yang terlintas dalam pikiranmu?”
Maka murid menjawab : “Bukan itu yang kumaksud!” atau
“Itu tidak terlintas dalam pikiranku!”
Bahkan seharusnya ia berbicara dengan lembut, yakni dengan
tidak membantah gurunya.
Demikian pula ketika sang guru bertanya dengan tujuan
memastikan, seperti mengucapkan :
“Apakah engkau mengatakan begini?”
“Beginikah yang engkau maksud?”
Maka janganlah ia bergegas membantahnya, dengan
mengucapkan : “Nggak!” atau “Bukan itu maksudku!”
Bahkan seharusnya ia diam atau menyiratkan hal itu dengan
ucapan yang lembut yang maksudnya dapat difahami oleh gurunya.
Apabila ia terpaksa harus mengintisarikan maksud dan
ucapannya maka ucapkanlah :
“Sekarang, aku katakan begini.”
Atau boleh juga ia mengulangi maksudnya dan mengulangi
ucapannya, dan janganlah ia mengatakan :
“yang aku katakan tadi..”
atau “yang aku maksud tadi...”
Karena hal itu termasuk bagian dari membantahnya.
Demikian pula sepantasnya ia mengatakan hal-hal seperti
ini pada tempatnya :
“Mengapa?”
dan “Kami kurang puas dengan penjelasan itu.”
atau “Kalau kami dilarang hal itu, bagaimana?”
atau “Kalau kami ditanya seperti ini, bagaimana?”
atau “Kalau dikemukakan seperti ini, bagaimana?” dan
semacamnya.
Hal semacam ini tujuannya agar ia menanyakan jawaban
terhadap orang yang bertanya padanya dengan adab yang baik dan ungkapan yang
ramah.
10. Adab Mendengarkan Guru
Ketika seorang penuntut ilmu mendengarkan gurunya sedang
membahas suatu permasalahan hukum, faedah yang asing, menceritakan sebuah
cerita, atau melantunkan sebuah syair, sementara ia sudah hafal akan hal itu,
maka hendaknya ia mendengarkan gurunya seperti orang yang membutuhkan faedah
dalam suatu keadaan, berpura-pura haus akannya, dan merasa gembira terhadapnya,
seakan-akan ia belum pernah mendengarkan hal itu sama sekali.
Atho’ bin Abi Robah mengatakan :
إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيْثَ مِنَ الرَّجُلِ
وَأَنَا أَعْلَمُ بِهِ مِنْهُ فَأُرِيْهِ مِنْ نَفْسِي أَنِّي لَا أُحْسِنُ مِنْهُ
شَيْئًا
Aku pernah mendengar hadits dari
seorang lelaki, sementara aku lebih mengetahui hadits itu dari pada dia. Maka
akupun memperlihatkan diriku seakan aku tidak lebih baik darinya sedikitpun.
Dilain itu beliau juga mengatakan :
إِنَّ الشَّابَّ لَيَتَحَدَّثُ بِحَدِيْثٍ
فَأَسْتَمِعُ لَهُ كَأَنِّي لمَ ْأَسْمَعْهُ وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ
يُوْلَدَ
Sesungguhnya ada seorang pemuda
menyampaikan suatu hadits. Lalu aku mendengarkan hadits itu seakan-akan aku
belum pernah mendengarnya. Padahal, aku sudah pernah mendengar hadits itu
sebelum pemuda itu dilahirkan.
Apabila sang guru menanyakan padanya tatkala menguji
hafalan yang dimilikinya maka janganlah katakan : “Iya, saya sudah hafal.”
Karena hal itu seakan-akan mengungkapkan ketidakbutuhan terhadap ilmu dari
guru.
Jangan juga mengatakan : “Tidak, saya belum hafal.”
Karena itu merupakan suatu kebohongan.
Bahkan seharusnya ia mengatakan : “Aku senang bila aku
memperoleh faedah dari sang guru.” atau “Aku akan mendengarkannya.” atau
“Ilmuku masih jauh”.
Apabila ia mengetahui bahwa sang guru itu lebih
mengutamakan ilmu dengan hafalannya karena senang akan hal itu, atau menunjuknya
di akhir pelajaran dalam rangka menguji kecermatan dan hafalannya, atau dalam
rangka menunjukkan hasilnya, maka tidaklah mengapa ia mengikuti kehendak
gurunya agar ia ridha dan cenderung terhadapnya.
Tidaklah pantas bagi penuntut ilmu mengulang soal yang
telah ia ketahui, dan meminta keterangan pada apa yang telah ia fahami. Karena
itu hanyalah menyianyiakan waktu dan membuat guru menjadi bosan.
Az-Zuhri mengatakan :
إِعَادَةُ الْحَدِيْثِ أَشَدُّ مِنْ نَقْلِ
الصَّخْرِ
Mengulang hadits lebih berat dari
pada memindahkan batu yang besar.
Janganlah penuntut ilmu itu kurang memperhatikan dan
kurang berusaha memahami.
Jangan juga ia menyibukkan otaknya dengan pikiran
sehingga ia meminta gurunya untuk mengulang apa yang dikatakannya. Karena hal
itu termasuk adab yang buruk.
Bahkan hendaknya ia benar-benar mendengarkan perkataan
gurunya, menghadirkan pikirannya terhadap apa yang ia dengarkan sejak awal
pelajaran.
Dahulu para syaikh tidak mengulangi hal
serupa ketika diminta oleh sang murid untuk mengulangnya, bahkan membentaknya
sebagai hukuman kepadanya.
Apabila ia tidak mendengarkan ucapan gurunya karena
jaraknya yang jauh, atau tidak memahaminya walaupun sudah berusaha
mendengarkan, maka hendaknya ia meminta pengulangan pada sang guru atau meminta
pemahaman setelah ia mengemukakan alasannya dengan cara yang ramah.
11. Adab Berbicara pada Guru Saat Pelajaran
Seorang penuntut ilmu janganlah mendahului gurunya pada
penjelasan suatu permasalahan, menjawab soal darinya, atau dari selainnya.
Janganlah juga ia mengiringi pembicaraannya dan jangan
menunjukkan bahwa ia tau akan hal itu atau menunjukkan pencapaiannya sebelum
gurunya.
Namun, apabila sang guru yang menawarkan hal itu
kepadanya sebagai sebuah permulaan atau sebagai sebuah rangsangan maka tidaklah
mengapa.
Sepantasnya seorang penuntut ilmu tidak memotong
pembicaraan gurunya, dan juga jangan mendahuluinya dan jangan mengiringi
pembicaraannya. Bahkan hendaknya ia bersabar sampai sang syaikh
menyelesaikan pembicaraannya kemudian baru boleh ia berbicara.
Janganlah ia berbicara bersama kawannya tatkala sang guru
sedang berbicara bersamanya atau bersama jamaah majelis.
Hendaknya pikirannya selalu hadir atau fokus kearah
gurunya; dimana ketika ia diperintahkan dengan suatu hal, atau ditanya tentang
sesuatu, atau ia ditunjuk maka sang guru tidak perlu mengulang untuk yang kedua
kalinya.
Bahkan
hendakya ia bergegas kepada gurunya sesegera mungkin dan tidak memprotes atau
menyanggahnya dengan ucapan : “Bagaimana kalau itu tidak begitu?”
12. Adab Melayani Guru
Ketika
seorang sang syaikh menyerahkan sesuatu pada muridnya maka hendaknya ia
menerima dengan tangan kanannya. Apabila ia menyerahkan sesuatu pada gurunya
juga hendaknya ia menyerahkan dengan tangan kanannya.
Apabila
sesuatu yang diserahkan itu merupakan lembaran untuk dibaca; seperti fatwa,
kisah, tulisan syar’i, atau yang semacamnya : maka hendaknya ia
menyiarkannya terlebih dahulu baru ia mengembalikan kertas itu padanya.
Janganlah ia mengembalikannya dalam keadaan terlipat, kecuali ketika ia mengetahui
atau menyangka bahwa gurunya lebih mengutamakan hal itu.
Ketika
ia hendak mengambil lembaran dari sang guru hendaknya ia bergegas mengambilnya
dan menyiarkannya sebelum lembaran itu dilipat atau ditimbun.
Ketika
ia menyerahkan sebuah kitab pada gurunya hendaknya ia menyerahkannya dalam
keadaan siap dibuka dan dibaca tanpa perlu mengarahkannya. Apabila sang guru
hendak melihat pada judul tertentu atau halaman tertentu maka hendaknya ia
menyerahkannya dalam keadaan terbuka. Janganlah pula ia memberikan coretan
terhadap kitab atau lembaran tersebut.
Ketika ia menyerahkan kitab atau lembaran pada gurunya
dengan jarak yang jauh maka janganlah ia mengulurkan tangannya, dan jangan juga
membuat sang guru itu mengambil kertas atau kitab itu dengan mengulurkan
tangannya. Bahkan seharusnya ia berdiri dekat di sisinya, dan jangan
menyerahkannya dengan keadaan merangkak.
Ketika
ia duduk di hadapannya maka adabnya juga seperti itu. Janganlah ia duduk
terlalu mendekat dengannya, karena itu adalah adab yang buruk.
Janganlah
ia meletakkan kakinya, tangannya atau anggota tubuh lainnya, atau pakaiannya,
diatas pakaian gurunya, atau di atas bantalnya, atau di atas permadaninya. Jangan pula ia menunjuk-nunjuk
dengan tangannya, atau mendekatkan tangannya pada wajah atau dada gurunya, atau
menyentuh sesuatu dari anggota badannya.
Ketika
hendak menyerahkan pena pada gurunya untuk menulis maka hendaknya ia menyiapkan
tinta terlebih dahulu sebelum memberikan kepadanya. Apabila ia meletakkan
tempat tinta di hadapannya maka hendaknya tempat tinta itu dalam keadaan
terbuka tutupnya agar siap digunakan untuk menulis.
Apabila ia menyerahkan sebuah pisau pada gurunya maka
janganlah ia mengarahkan mata pisau padanya, atau menghadapkan tangkai pisaunya
sementara tangannya menggenggam mata pisaunya.
Bahkan seharusnya ia membentangkannya, dan membungkus
mata pisau ke arahnya, dengan menggenggam ujung tangkainya berikutnya baru mata
pisaunya, dengan keadaan tangkai pisau itu disebelah kanan gurunya.
Apabila ia menyerahkan sajadah untuk sholat maka yang
pertama ia lakukan adalah membentangkannya. Adapun adabnya adalah
membentangkannya ketika sang guru bermaksud untuk itu.
Ketika ia membentangkannya maka hendaknya ia melipat
bagian akhir ujung kirinya seperti adatnya kaum shufi. Apabila sudah
terlipat maka hendaknya ia menjadikan bagian tepinya ke sebelah kiri orang yang
shalat, [disarankan lihat footnote :[16]]
walaupun di sajadah itu terdapat gambar mihrab yang dimaksudkan untuk
dihadapkan ke arah kiblat bila memungkinkan.
Janganlah ia duduk dengan syaikh di atas sajadah,
dan janganlah ia shalat di atasnya apabila tempatnya dalam keadaan suci.
Ketika sang syaikh berdiri maka hendaklah ia
bergegas untuk mengambil sajadah dengan tangannya atau lengan atasnya – jika
diperlukan – dan juga menyiapkan sandalnya bila hal itu tidak memberatkan
gurunya.
Hendaknya ia juga meniatkan itu semua hanya untuk
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dan juga kemudian kepada hati
gurunya. Ada yang mengatakan bahwa :
“Ada empat hal yang orang terhormat pun tidak akan
merendahkannya walaupun ia adalah seorang amir (pemimpin) : (yaitu) mematuhi
aturan di majelis bapaknya, melayani ulama yang ia belajar darinya, bertanya
tentang apa yang tidak diketahuinya, dan melayani tamunya.”
13. Adab Berjalan Bersama Guru
Apabila seorang penuntut ilmu berjalan bersama syaikhnya
maka hendaknya ia berada di depannya ketika malam hari, dan dibelakangnya
ketika siang hari. Kecuali apabila keadaan tidak mengendaki demikian seperti
karena berdesakan atau selainnya.
Hendaknya ia juga mendahuluinya saat melangkahi
tempat-tempat yang tidak diketahui keadaannya, seperti lumpur, lubang, atau
tempat-tempat membahayakan lainnya.
Hendaknya ia menjaga percikan pakaian gurunya, dan ketika
di keramaian hendaknya ia menjaga itu dengan badannya; bisa di depannya atau
juga di belakangnya.
Apabila ia berjalan berada di depannya, hendaknya ia
menengoknya sesekali. Apabila guru itu mengajaknya berbicara ketika berjalan
sementara mereka berdua berada di sebuah naungan, maka hendaknya ia berada di
sebelah kanannya, boleh juga di sebelah kirinya.
Caranya, ia menghampirinya perlahan-lahan tanpa
menolehkan wajah kepadanya dan memperkenalkan para pembesar yang berada di
dekatnya atau di hadapannya apabila sang guru tidak mengetahuinya.
Janganlah ia berjalan di sebelah syaikhnya kecuali
karena keperluan atau disuruh. Hendaknya ia juga menghindar dari
berdesak-desakan, dengan bahunya atau dengan kendaraannya apabia sedang
berkendara, dan mendempetkan pakaiannya.
Lalu, hendaknya ia mengikutkannya ke arah naungan ketika
musim panas atau ke arah matahari ketika musim dingin atau ke arah yang
matahari tidak menyinari wajahnya ketika ia menoleh kearahnya.
Janganlah seorang thalib berjalan diantara guru
dan orang yang sedang berbicara padanya. Hendaknya ia mundur atau maju ke depan
menjauhi keduanya tatkala mereka sedang berbicara, dan janganlah mendekat,
mendengarkan, atau menoleh.
Apabila mereka berdua membicarakan masalah hadits maka
hendaknya ia datang dari sebelahnya yang lain, dan janganlah ia memberatkan
keduanya.
Apabila ada dua orang yang berjalan bersama sang guru
maka hendaknya kedua orang itu yang satu berada di samping kanan dan yang satu
di samping kirinya.
Adapun yang di samping kanannya adalah yang lebih tua di
antara keduanya. Apabila tidak di samping kanan kirinya maka yang paling tua di
berada di depan dan yang muda di belakang.
Apabila seorang murid bertemu gurunya di jalan maka
hendaknya ia yang memulai dengan ucapan salam. Janganlah ia menuju ke arahnya
apabila jaraknya jauh, dan janganlah memanggil dan mengucapkan salam dari jauh,
atau dari belakangnya. Bahkan hendaknya ia mendekat kepadanya, dan menyusulnya
baru kemudian ia mengucapkan salam.
Janganlah seorang penuntut ilmu berisyarat untuk
mengambil tindakan di jalan hingga ia meminta pendapat kepadanya. Hendaknya ia
bertatakrama terhadap apa yang di isyaratkan oleh gurunya dengan menolak
pendapatnya sendiri.
Janganlah ia berkata terhadap apa yang dipandang gurunya
bahwa itu salah dengan ucapan : “Ini salah.” atau “Ini tidak sesuai
pendapatku.” Bahkan hendaknya ia berbicara dengan baik dengan mengucapkan :
“Kalau menurutku yang seperti ini yang lebih baik.” Janganlah ia berkata :
“Menurutku begini.” dan lain sebagainya.
Alih Bahasa : Adam Rizkala
[1]
Maksudnya mempertimbangkan dan berfikir dengan mendalam.
[2]
Yakni dengan shalat istikharah.
[5]
Lihat Al Madkhol lil Baihaqi hal. 376
[6]
Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan dalam Al-Ma’rifah wa At-Taarikh 1/484
[7]
Lihat Ihya’ Ulum Ad-Diin 1/50
[8]
Ibid.
[9]
QS. Al-Kahfi ayat 67
[10]
QS. Al-Kahfi ayat 70
[11]
Lihat Al-Jaami’ Al-Akhlaq Ar-Raawi wa Aadaab As-Saami’ 1/182
[12]
Menetap dan tinggal bersama gurunya dalam rangka mencari ilmu.
[13]
Lihat Al-Mujalasah wa Jawahir Al-‘Ilmi 4/439 no. 1635 dan isnadnya dhaif.
[14]
Diriwayatkan oleh Al-Khatiib dalam kitabnya Al-Fiqh wa Al-Mutafaqqih (2/197)
dan selainnya dengan sanad munqathi’.
[15]
Sindiran halus
[16]
Muhaqqiq kitab ini mengatakan bahwa : Adat ini tidak saya ketahui asalnya, dan
tidak sepantasnya adat ini dijadikan sebagai syi’ar. Karena
sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi kita Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)