Tafsir Surat Al Fatihah ayat 1-7
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 2/13/2019
![]() |
Tafsir Surat Al-Fatihah |
Surat Al-Fatihah dinamai dengan
“Al-Fatihah” (yang berarti pembukaan) karena dengan surat ini qiraat
dalam shalat dibuka.
Surat
ini juga dinamai dengan nama “Ummul Kitab (Induknya Kitab)” dan juga nama-nama
yang lain seperti : Al-Hamdu, Ash-Shalah, Asy-Syifaa’, Ar-Ruqyah,
Al-Waaqiyah, Al-Kaafiyah, dan Asas Al-Quran.
Imam
Bukhari mengatakan : Surat ini dinamai “Ummul Kitab” karena surat ini
dijadikan sebagai pembuka di dalam mushaf Al Quran, dan juga dengan surat ini qiraat
dalam shalat dibuka.
Imam
Thabari juga mengatakan : Orang Arab menamai setiap kumpulan perkara atau
pembukaan pada setiap perkara dengan nama “umm” maka dari itulah mereka menyebut
kulit yang melapisi otak dengan istilah “ummu ar-ra’si” (أُمُّ الرَّأْسِ),
mereka juga menamai panji suatu pasukan yang berkumpul dibawahnya dengan
sebutan “umm”.
Dzur
Rummah melantunkan sebuah syair yang berbunyi :
عَلَى رَأْسِهِ أمّ
لَنَا نَقْتَدِي بِهَا * جماع أمور لَيْسَ نَعْصِي لَهَا أمراً
Diujung tombak itu ada panji milik kami yang kami
jadikan panutan dalam segala urusan, yang mana kami tidak akan mengkhianatinya
sama sekali[1]
Imam
Ahmad meriwayatan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau bersabda tentang Ummul Quran :
هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ،
وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
Ia adalah Ummul Quran (induknya Al Quran), dan ia
adalah As-Sab’u Al-Matsaaniy (tujuh yang diulang-ulang), dan dia adalah
Al-Quran Al-‘Adziim (Al Quran yang agung).[2]
A. Keutamaan Surat Al Fatihah
1. Surat yang Paling Agung dalam Al Quran
عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ
المُعَلَّى، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي،
قَالَ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا
دَعَاكُمْ؟، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ
قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ المَسْجِدِ، فَأَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ
نَخْرُجَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ قُلْتَ: لَأُعَلِّمَنَّكَ
أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ قَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ،
هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي، وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Dari Abu Sa’id Al-Mu’alli, ia berkata : Dahulu aku sedang
shalat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggilku, maka akupun tidak
menjawabnya.
Aku berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku sedang
shalat”.
Beliau menjawab : “Bukankah Allah telah berfirman :
(penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu)?”
Lalu beliau bersabda : “Maukah engkau saya ajarkan surat
yang paling agung di dalam Al Quran sebelum engkau keluar dari masjid?”
Lalu beliau menjabat tanganku. Ketika aku ingin keluar
maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, tadi engkau mengatakan (saya akan ajarkan
engkau surat yang paling agung dalam Al Quran.)”
Beliau bersabda : “(Surat itu adalah)
Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin (surat Al-Fatihah) ia adalah As-Sab’u
Al-Matsaaniy (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan Al-Quran Al-‘Adziim (Al Quran
yang agung) yang diberikan kepadaku”[3]
2. Terbagi Antara Allah dan Hamba-Nya
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ فِي التَّوْرَاةِ، وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ أُمِّ الْقُرْآنِ
وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ مَقْسُومَةٌ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah Azza wa jalla tidak menurunkan di dalam Taurat
maupun Injil semisal Ummul Quran (Surat Al-Fatihah), surat ini adalah As-Sab’u
Al-Matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang), dan ia dibagi-bagi antara
Aku dan diantara hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta.[4]
3. Sebagai Ruqyah untuk Mengobati Penyakit
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الخُدْرِيِّ، قَالَ: كُنَّا فِي مَسِيرٍ لَنَا فَنَزَلْنَا، فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ،
فَقَالَتْ: إِنَّ سَيِّدَ الحَيِّ سَلِيمٌ، وَإِنَّ نَفَرَنَا غَيْبٌ، فَهَلْ
مِنْكُمْ رَاقٍ؟ فَقَامَ مَعَهَا رَجُلٌ مَا كُنَّا نَأْبُنُهُ بِرُقْيَةٍ،
فَرَقَاهُ فَبَرَأَ، فَأَمَرَ لَهُ بِثَلاَثِينَ شَاةً، وَسَقَانَا لَبَنًا،
فَلَمَّا رَجَعَ قُلْنَا لَهُ: أَكُنْتَ تُحْسِنُ رُقْيَةً أَوْ كُنْتَ تَرْقِي؟
قَالَ: لاَ، مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِأُمِّ الكِتَابِ، قُلْنَا: لاَ تُحْدِثُوا
شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَ - أَوْ نَسْأَلَ - النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدِينَةَ ذَكَرْنَاهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: وَمَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ اقْسِمُوا
وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
Dari Sa’id Al-Khudriyyi ia berkata : Suatu ketika di
tengah perjalanan kami singgah di suatu tempat. Lalu datanglah seorang budak
wanita dan ia berkata :
“Sesungguhnya kepala desa kami sedang sakit, sementara
orang-orang kami sedang tidak ada, apakah diantara kalian ada yang bisa
meruqyah?”
Maka berdirilah salah seorang lelaki beranjak dengan
wanita itu yang kami sendiri tidak tahu apakah lelaki itu bisa meruqyah.
Lalu iapun meruqyahnya dan ternyata kepala desa itu
sembuh. Lalu kepala desa itu memerintahkan lelaki itu untuk membawa 30 ekor
kambing, dan kamipun diberi minum susu.
Setelah pulang, kami bertanya pada lelaki itu : “Apakah
engkau orang yang pandai meruqyah?”
Ia menjawab : “Tidak, aku meruqyahnya hanya dengan surat
Al-Fatihah.”
Kami berkata : “Janganlah kalian berbuat apa-apa sampai
kita datangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau bertanya pada
beliau.”
Ketika kami sampai di Madinah, kami ceritakan kejadian
itu pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliaupun bersabda :
“Siapa yang memberi tahu bahwa (surat Al-Fatihah) itu
adalah ruqyah? Bagikanlah kambing itu dan berikan juga bagian itu padaku.[5]
4. Surat yang Belum Pernah Diberikan Kepada Nabi Sebelum Muhammad
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: هَذَا
بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ،
فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ
يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ، وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ
أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ،
وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا
أُعْطِيتَهُ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Ketika Jibril duduk
disamping Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, beliau mendengar suara pintu
terbuka dari langit, maka beliaupun mengangkat kepalanya dan bersabda :
“Itu adalah salah satu pintu langit yang dibuka hari ini,
yang mana pintu tersebut belum pernah dibuka sama sekali kecuali hari ini.”
Lalu turunlah malaikat dari langit itu, dan Jibril
berkata : “Ini adalah malaikat yang turun kebumi yang belum pernah turun sama
sekali kecuali di hari ini.”
Lalu ia memberi salam dan berkata :
“Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu,
yang mana kedua cahaya tersebut belum pernah diberikan kepada Nabi sebelummu
: (yaitu) surat Al-Fatihah, dan akhir dari surat Al-Baqarah. Tidaklah
engkau membaca satu huruf dari kedua surat itu kecuali pasti akan diberikan
kepadamu.”[6]
5. Allah Menjawab Hamba-Nya yang Membaca Surat Al-Fatihah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ - ثَلَاثًا - غَيْرُ تَمَامٍ.
فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ
بِهَا فِي نَفْسِكَ؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا
قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً
فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي - فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،
فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا
لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Barang siapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah
maka shalatnya cacat
dan tidak sempurna, cacat dan tidak sempurna, cacat dan tidak sempurna.”
Abu Hurairah ditanya : “Bila kami dibelakang imam
(bagaimana)?”
Rasulullah menjawab : “Bacalah sendiri dengan samar.
Karena aku mendengar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
bahwa Allah ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi) :
Aku membagi sholat diantara-Ku dan hamba-Ku dua bagian
dan hamba-Ku mendapat apa yang ia minta.
Tatkala ia membaca “Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin”
maka Allah berfirman ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’ . . .
dikala ia membaca “Arrahmaanirrahiim” maka Allah
berfirman ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’ . . .
ketika ia membaca “Maaliki yaumiddiin” maka Allah
berfirman ‘Hamba-Ku telah mengangungkan-Ku’ dan Allah berfirman lagi ‘Hamba-Ku
telah mengakui kekuasaan-Ku’ . . .
ketika ia membaca “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”
maka Allah berfirman ‘Inilah bagian antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan
mendapat yang ia minta’ . . .
ketika ia membaca “Ihdinashshiraathal mustaqiim,
shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhaaalliin.”
maka Allah berfirman ‘Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia
minta[7]
B. Hal-hal yang Berkaitan dengan Surat Al-Fatihah
1. Kedudukan Surat Al-Fatihah dalam Shalat
Surat
Al-Fatihah disebut juga dengan memakai lafadz “Shalat” yang artinya
adalah bacaan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah :
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ
وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya[8]
Hal
ini menunjukkan keagungan kedudukan qira’at (bacaan Al-Fatihah) dalam
shalat, karena ia merupakan salah satu rukun yang terbesar, sebagaimana
disebutkannya dengan lafadz “qira’at” bahwa yang dimaksud dengan “qira'at”
itu adalah shalat seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 78 yang
berbunyi :
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ
Dan
yang dimaksud dengan (وَقُرْآنَ الْفَجْرِ)
adalah shalat fajar (subuh)
2. Haruskah Membaca Al-Fatihah dalam Shalat?
Apakah
qira’at dalam shalat itu diharuskan dengan membaca surat Al-Fatihah
ataukah cukup bila membaca selain surat Al-Fatihah? Maka ada dua pendapat yang
terkenal dalam masalah ini :
A. Tidak Harus Al-Fatihah
Menurut
hanafiyyah dan orang-orang yang sepakat dengannya dari kalangan para muridnya
berpendapat bahwa surat Al-Fatihah bukan suatu keharusan, bahkan surat apapun
dari Al-Quran jika dibaca dalam shalat maka sudah mencukupi. Mereka berdalil
dengan keumuman firman Allah ta’ala :
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.[9]
Dan
juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
إِذَا قُمْتَ إِلَى
الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ
Ketika engkau berdiri untuk shalat maka bertakbirlah dan
bacalah surat dalam Al Quran yang mudah bagimu.[10]
B. Harus Surat Al-Fatihah
Adapun
pendapat yang kedua menyatakan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah suatu
keharusan, dan tidaklah cukup shalat tanpa membacanya. Ini adalah pendapat dari
ketiga imam (yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad).
Mereka
berdalil dengan hadits yang telah dikemukakan sebelumnya (yakni hadits tentang
cacatnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah). Dan juga berdalil dengan
hadits :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat
Al-Fatihah.[11]
Dan
hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini sangatlah banyak.
3. Bagaimana Praktek Membaca Al-Fatihah di Belakang Imam?
Wajibkah
makmum membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam? Maka jawabannya ada tiga
pendapat ulama’ dalam masalah ini :
Yang
pertama,
wajib membacanya sebagaimana wajibnya imam membaca surat Al-Fatihah. Dalilnya
berdasarkan keumuman hadits yang telah dikemukakan sebelumnya.
Yang
kedua,
tidak diwajibkan bagi makmum membaca Al-Fatihah disetiap shalat, baik shalat
yang bacaannya jahr (keras) ataupun sirr (berbisik). Berdasarkan
hadits :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ،
فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ
Barang siapa yang menjadi ma’mum maka bacaannya imam
telah mewakili bacaannya[12]
Yang
ketiga,
makmum wajib membacanya ketika bacaan sirriyyah, dan tidak wajib ketika
bacaan jahiriyyah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
إِنَّمَا جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
Imam
itu dijadikan untuk diikut, ketika ia bertakbir maka bertakbirlah[13]
وَإِذَا قَرَأَ
فَأَنْصِتُوا
Ketika imam membaca qiraah maka diamlah[14]
C. Tafsir Isti’aadzah
1. Definisi Isti’aadzah
Allah
subhanahu wata’ala berfirman :
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka
berlindunglah kepada Allah[15]
وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ
مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ ﴿٩٧﴾ وَأَعُوذُ بِكَ
رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada
Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya
Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku".[16]
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ﴿٣٦﴾ وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu
dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[17]
Inilah
ketiga ayat yang tidak ada ayat selain itu yang semakna dengannya. Dalam ayat
tersebut Allah memerintahkan manusia untuk bersikap membujuk atau merayu dalam
menghadapi musuh dari kalangan sesama manusia dan berbuat baik padanya agar ia
kembali pada watak aslinya yang baik, yakni rukun dan bersahabat.
Namun
dalam menghadapi musuh dari kalangan setan, Allah memerintahkan kita berlindung
kepada-Nya sebagai suatu keharusan. Tidak boleh kita bersikap membujuk dan
berbuat baik terhadap setan.
Tidak
ada satupun yang mereka cari melainkan kebinasaan manusia. Hal ini dikarenakan
permusuhan yang sengit antara mereka dan manusia. Sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah ta’ala :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ
عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka
anggaplah ia sebagai musuh(mu)[18]
أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya
sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?[19]
Sesungguhnya
setan (yakni Iblis) pernah bersumpah kepada Adam ‘alaihis salam namun ia
berdusta dengan sumpahnya. Maka bagaimanakah perlakuan mereka terhadap kita?
Sungguh Allah telah berfirman (bahwa setan itu pernah bersumpah kepada Allah
untuk menyesatkan manusia) :
فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya[20]
2. Kapan Membaca Isti’adzah?
Segolongan
ulama ahli qiraah mengatakan bahwa membaca isti’aadzah itu
dilakukan sesudah membaca Al Quran. Mereka berpendapat demikian karena
berpegang dengan makna ayat secara tekstual.[21]
Namun,
pendapat yang masyhur menyatakan bahwa isti’aadzah itu dibaca
sebelum membaca Al Quran dengan tujuan menghilangkan waswas. Menurut mereka
yang berpegang pada pendapat yang masyhur ini berdalil, bahwa makna ayat
dari :
فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.[22]
adalah
bermakna “Ketika engkau hendak membaca Al Quran . . .”. Meskipun secara
tekstual penyebutan kata (قَرَأْتَ) dalam ayat tersebut menggunakan fi’il
madhi (kata kerja lampau) namun maknanya bukan demikian. Karena makna ayat
ini sama dengan firman Allah :
إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ
apabila kamu hendak mengerjakan shalat[23]
Hal
ini juga ditunjukkan dengan sebuah riwayat sebagai berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذا قام من الليل استفتح صلاته بالتكبير والثناء
ثُمَّ يَقُولُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ، من همزة ونفخة ونفثه (رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري وأخرجه أصحاب
السنن الأربعة)
Bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika shalat malam, membuka shalatnya
dengan takbir dan kalimat-kalimat sanjungan kepada Allah. Kemudian beliau
membaca : (أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، من
همزة ونفخة ونفثه : Aku berlindung kepada Allah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaannya,
bisikannya, dan hembusannya.)
(Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudriyyi, dikeluarkan juga oleh keempat
sunan.)[24]
3. Tafsir (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)
Adapun
makna dari kalimat isti’aadzah atau ta’awwudz yang berbunyi :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
adalah
:
“Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk agar ia tidak menimpakan bahaya pada agama dan duniaku, atau agar ia
tidak dapat menghalangiku untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepadaku.”
Sesungguhnya
tidak ada yang mampu mencegah setan dari manusia melainkan Allah. Adapun makna
“Isti’aadzah” adalah memohon naungan perlindungan kepada Allah ta’ala
dari segala sesuatu yang memiliki kejelekkan.
Pengertian
meminta perlindungan ini adakalanya dimaksudkan untuk menepis kejelekan dan
adakalanya untuk mencari kebaikan. Sebagaimana pengertian yang terkadung dalam sya’ir
sebagai berikut :
يَا مَنْ ألوذُ بِهِ
فِيمَا أُؤَمِّلُهُ * وَمَنْ أَعُوذُ بِهِ مِمَّا أُحَاذِرُهُ
لَا يجبرُ الناسُ عَظْمًا
أَنْتَ كَاسِرُهُ * وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أنت جابره
Wahai orang yang aku mintai perlindungan agar aku
memperoleh apa yang aku angan-angankan, dan wahai orang yang aku berlindung
dari apa yang aku khawatirkan
Tidaklah manusia itu memperoleh keagungan yang telah
engkau hancurkan, dan tidaklah mereka menggoncang keagungan yang telah engkau
bangun.[25]
4. Tafsir (الشَّيْطَانُ : Setan)
Adapun
setan (الشَّيْطَانُ) dalam bahasa Arab berasal dari kata sya-tha-na
(شَطَنَ) yang berarti “jauh”. Dikatakan demikian
karena memang sifat setan jauh dari kebaikan. Adapula yang berpendapat berasal
dari kata syaa-tha (شَاطَ)
karena ia diciptakan dari api.
Namun,
pendapat yang terkuat adalah yang pertama. Seorang ulama ahli bahasa Imam
Sibawaih mengatakan : Tatkala ada seseorang yang melakukan perbuatan setan
orang Arab biasanya mengatakan : “تَشَيْطَنَ فلانُ”
yang artinya : “Seorang fulan sedang kesetanan (melakukan perbuatan
syetan).”
Seandainya
ia berasal dari kata syaa-tha maka orang Arab akan mengatakan : “تَشِيْطُ”.
Oleh karena itulah istilah “setan” itu disematkan untuk setiap sosok yang
membangkang dari kalangan jin, manusia maupun hewan, Allah ta’ala
berfirman : (شَيَاطِينَ الإنس
والجن : setan dari kalangan manusia dan jin).
5. Tafsir (الرَّجِيْم : yang terkutuk)
Adapun
ar-Rajiim (الرَّجِيْمِ) ini bermakna (مَرْجُوْمٌ مَطْرُوْدٌ عَنْ الخَيْرِ) yang berarti “dilempar dan juga
terusir dari semua kebaikan”. Hal ini semakna dengan firman Allah :
وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا
لِّلشَّيَاطِينِ
dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan[26]
وَحَفِظْنَاهَا مِن كُلِّ
شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ ﴿١٧﴾ إِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُّبِينٌ
dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk,
kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat)
lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.[27]
D. Tafsir Surat Al-Fatihah
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
1. Anjuran Membaca Basmalah
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ
عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dahulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
mengetahui pemisah antar surat hingga beliau diturunkan “Bismillahir rahmaanir
rahiim”[28]
Para
sahabat memulai membaca kitabullah dengan bacaan basmalah. Oleh karena
itu, dianjurkan membaca basmalah disetiap awal ucapan dan perbuatan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ
فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَهُوَ أَجْذَمُ
Setiap perkara yang tidak diawali dengan membaca basmalah
maka ia cacat.[29]
Dianjurkan
pula membacanya tatkala diawal wudlu’, karena beliau bersabda :
لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ
يَذْكُرْ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Tidak ada wudlu bagi siapa yang tidak menyebut nama Allah
atasnya.[30]
Dianjurkan
pula ketika menyembelih menurut madzhab Syafi’i dan diwajibkan menurut madzhab
yang lainnya. Demikianpula ketika makan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ،
وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan
tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.[31]
Dianjurkan
pula membacanya ketika hendak bersenggama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ
بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
Seandainya salah seorang kalian mendatangi istri (untuk
menyetubuhinya), lalu ia membaca : “Bismillah, Allahumma Jannibnasy-syaithoon,
wa jannibisy-syaithoona maa rozaqtanaa.”
(Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami
dari setan, dan jauhkanlah setan itu dari apa yang telah engkau rizkikan kepada
kami) . . .
maka apabila pasutri tersebut dianugrahi seorang anak
dalam persetubuhan itu, maka setan tidak akan mampu membahayakan ia selamanya.[32]
2. Taqdiir Muta’alliq Huruf Ba’ (ب) dalam Lafadz Basmalah (بِسْمِ اللَّهِ)
Sebagian
ulama’ ahli nahwu men-taqdir (memperkirakan) adanya perkiraan isim
:
بِاسْمِ اللَّهِ ابْتِدَائِي
Dengan (menyebut) nama Allah aku memulai
Hal
ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala :
بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا
وَمُرْسَاهَا
dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan
berlabuhnya[33]
Ada
juga yang memperkirakan dengan perkiraan fi’il :
أبدَأ بِبِسْمِ اللَّهِ
Aku memulai dengan (menyebut) nama Allah
Atau
:
ابْتَدَأْتُ بِبِسْمِ اللَّهِ
Aku memulai dengan (menyebut) nama Allah
Hal
ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan[34]
Kedua
perkiraan ini semuanya benar, karena fi’il pasti memiliki isim masdar,
maka diperbolehkan apabila lafadz “bismillah” tersebut di-taqdir
(diperkirakan) dengan fi’il maupun masdar.
Maka
dari itu disyariatkan membaca bismillah disetiap hal yang disyariatkan untuk
membacanya; dengan harapan memperoleh keberkahan, anugrah, serta pertolongan
agar Allah menyempurnakan dan menerima amalnya.
3. Takwil (اللَّه : Allah)
“Allah” adalah ‘alam atau nama
yang disematkan kepada Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena nama
itu mencakup seluruh sifat yang dimiliki-Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman :
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ
الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha
Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara,
Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.[35]
Sedangkan
nama-nama yang lainnya adalah sifat-sifatnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala
:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna[36]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama
yang terbaik)[37]
Disebutkan
pula dalam dua kitab Shahih :
إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً
وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yakni 100 dikurangi
1. Barang siapa yang menjaganya maka ia masuk surga.[38]
“Allah” adalah nama yang tidak disematkan
kepada selain Allah yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena inilah lafadz
“Allah” tidak ada kata asalnya dalam bahasa Arab.
“Allah” adalah isim jamid, dan
pendapat ini telah dinukil oleh imam Al-Qurtubi dari beberapa perkumpulan
ulama’ seperti imam Syafi’i, imam Al-Ghazzali, dan imam Al-Haramain.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa “Allah” berasal dari kata a-li-ha –
ya’-la-hu – i-laa-ha-tan (أَلِهَ - يَأْلَهُ - إِلَاهَةً). Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah : “وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ”
yang menurut Ibnu ‘Abbas maknanya adalah “Dia meninggalkanmu dan tidak
menganggapmu sebagai Tuhan.”
Dikatakan
pula bahwa “Allah” berasal dari kata wa-la-ha (وَلَهَ)
yang artinya adalah “dibingungkan”, karena Allah membingungkan
pikiran tatkala pikiran itu memikirkan hakikat sifat-sifatnya. Dan masih ada
pula beberapa pendapat lainnya.
Dari
pendapat-pendapat yang ada, Ar-Raazi memilih pendapat bahwa “Allah”
tidak memiliki asal kata sama sekali. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh
Imam Al-Khalil, Sibawaih dan kebanyakan ahli ushul dan ahli fiqih.
4. Tafsir (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ : Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Kata (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ)
merupakan dua isim yang berasal dari kata (الرَّحْمَةُ :
rahmat/kasih sayang) yang dimaksudkan untuk mubalaghah. Kata (الرَّحْمَٰنِ)
lebih kuat makna mubalaghahnya dari pada kata (الرَّحِيمِ).
Sebagian
mereka ada yang menyangka bahwa kedua kata tersebut tidak memiliki kata asal.
Sebagai bantahannya, Imam Al-Qurthubi mengatakan : Dalil bahwa kedua kata
tersebut memiliki kata asal adalah hadits qudsi yang diriwayatkan berikut ini :
أَنَا اللَّهُ، وَأَنَا
الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي، فَمَنْ
وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
Aku
adalah Allah, Aku adalah Ar-Rahmaan, aku menciptakan Ar-Rahim (kasih sayang)
dan aku ambil ia dari nama-Ku. Barang siapa yang menyambungnya maka Aku
akan menyambungnya, barang siapa yang memutusnya maka aku akan memutuskan kasih
sayang-Ku darinya.[39]
Imam
Al-Qurthubi mengatakan bahwa Ini adalah nash yang di dalamnya terkandung
(dalil) pengasalan kata. Maka tidak ada makna lagi untuk diperselisihkan dan
dipertentangkan.
Adapun
pengingkaran orang Arab terhadap nama (الرَّحْمَٰنِ)
adalah karena kebodohan mereka terhadap Allah dan terhadap apa yang diwajibkan
oleh Allah kepadanya.
Isim
dengan wazan (فَعْلَانَ) tidak sama dengan (فَعِيْل).
Isim dengan wazan (فَعْلَانَ) hanya digunakan untuk mubalaghah
fi’il. Contoh : (رَجُلٌ غَضْبَان : Lelaki yang sangat pemarah).
Sedangkan isim dengan wazan (فَعِيْل)
bisa bermakna fa’il bisa juga bermakna maf’uul.
Ibnu
Jarir mengatakan : (الرَّحْمَٰنِ : yakni sifat Pemurahnya Allah) itu
diperuntukkan untuk seluruh makhluk, sedangkan (الرَّحِيمِ : yakni sifat Penyayangnya Allah)
itu hanya dikhususkan untuk orang-orang yang beriman. Karena itulah Allah ta’ala
berfirman :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.[40]
Dari
ayat tersebut Allah menggunakan nama (الرَّحْمَٰنِ)
tatkala menyebutkan peristiwa istiwa’ agar Allah memberikan
rahmat-Nya secara merata kepada seluruh makhluk-Nya.
Allah
ta’ala juga berfirman :
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَحِيمًا
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang
beriman.[41]
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa Allah mengkhususkan (الرَّحِيمِ) hanya untuk orang-orang beriman.
Hal itu menunjukkan bahwa (الرَّحْمَٰنِ) lebih kuat makna mubalaghah-nya
dalam hal rahmat, karena diberikan di dunia dan akhirat untuk semua makhluknya.
Sedangkan (الرَّحِيمِ) hanya dikhususkan untuk orang yang
beriman.
Allah
ta’ala menamai diri-Nya dengan nama (الرَّحْمَٰنِ)
secara khusus dan tidak menamai untuk selain-Nya. Allah ta’ala berfirman
:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.[42]
أَجَعَلْنَا مِن دُونِ
الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain
Allah Yang Maha Pemurah?[43]
Sebagian
ulama’ menduga bahwa (الرَّحِيمِ) lebih kuat mubalaghahnya dari pada
(الرَّحْمَٰنِ). Hal ini dikarenakan kata (الرَّحِيمِ)
berfungsi sebagai taukid, dan kata yang berfungsi sebagai taukid
pastinya lebih kuat dari pada kata yang di-taukid.
Maka
bantahan dari dugaan ini adalah : Bahwa subjek dari masalah ini bukan masuk ke
dalam “Bab Taukid” akan tetapi masuk dalam “Bab Na’at”. Dan apa yang mereka
sebutkan tentang dugaan mereka tidak perlu diikuti.
Jika
mereka mengatakan : “Apabila kata (الرَّحْمَٰنِ)
lebih kuat mubalaghahnya, mengapa kata (الرَّحِيمِ)
juga disebut?”
Maka
jawabannya adalah : Mengingat ada seseorang selain Allah yang menamakan dirinya
dengan Ar-Rahmaan, maka didatangkanlah Ar-Rahiim untuk membantah dugaan itu.
Hal ini dikarenakan tidaklah disifati dengan sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ)
kecuali hanya Allah. Seperti inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
‘Atho, dan beliau telah mengemukakan hal itu. Wallaahu a’lam.
***
﴿٢﴾الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
1. Tafsir (الْحَمْدُ لِلَّهِ : Segala puji bagi Allah)
Ibnu
Jarir mengatakan : Makna (الْحَمْدُ لِلَّهِ) adalah :
“Segala kesyukuran ditujukan kepada Allah semata, bukan
kepada sesuatu yang disembah selain-Nya, dan bukan kepada segala apa yang
diciptakan oleh-Nya, (hal ini diungkapkan) sebagai rasa syukur terhadap apa yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya berupa nikmat-nikmat yang tidak
terhitung.”
Tidak
ada seorangpun yang mampu menghitung nikmat tersebut selain-Nya. Diantara
nikmat tersebut adalah alat-alat atau sarana untuk mengerjakan ketaatan
kepada-Nya, dan kemampuan anggota tubuh yang diberi tugas untuk mengerjakan
kewajibannya.
Disamping
itu, Dia juga membentangkan rezeki untuk mereka di dunia, dan memberikan mereka
asupan berupa nikmat kehidupan. Maka hanya untuk Rabb kamilah segala puji atas
semua itu sejak awal hingga akhir.
(الْحَمْدُ لِلَّهِ)
adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya. Dan termasuk
dalam cakupan ini adalah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memuji-Nya,
seakan-akan Allah berfirman : “Katakanlah Alhamdulillah.”
2. Perbedaan Antara (الْحَمْدُ), (الْشُكْرُ) dan (الْمَدْحُ)
Ibnu
Jarir mengatakan : “Para ahli ma’rifah bahasa Arab menyamakan makna (الْحَمْدُ :
Pujian) dengan (الْشُكْرُ : Syukur).”
Menurut
ibnu Jarir pendapat ini perlu dikoreksi, karena pendapat yang masyhur
dikalangan ulama’ belakangan ini menyatakan bahwa Al-Hamdu adalah pujian dengan
ucapan terhadap sosok yang berhak dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah[44]
dan muta’addiyah[45].
Sedangakn Asy-Syukru tidak lain hanyalah ungkapan
syukur yang menyebutkan sifat muta’addiyah, yang diungkapkan dengan
hati, lisan, dan anggota badan. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair
:
أَفَادَتْكُمُ
النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً ... يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا
Nikmat-nikmat
yang kalian peroleh manfaatnya dariku ada tiga...yaitu (melalui) kedua
tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak terlihat.
Al-Jauhari
mengatakan bahwa Al-Hamdu (pujian) adalah lawan dari الذَّمُّ (Adz-Dzamm: Celaan). Engkau dapat mengatakan : “حَمِدْتُ الرَّجُلَ أحمده حمداً” (Aku memuji seorang lelaki, aku memujinya
dengan pujian yang setinggi-tingginya.) Bentuk fa’ilnya adalah (حَمِيدٌ)
dan bentuk maf’ulnya adalah (مَحْمُودٌ).
Al-Hamdu
lebih umum maknanya dari pada Asy-Syukru. Karena Asy-Syukru itu adalah
sanjungan pada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari perbuatan baiknya.
Maka dapat dikatakan : “شَكَرْتُهُ وشكرتُ
لَهُ”
(Aku mensyukurinya dan aku bersyukur kepadanya.) Tetapi kalimat yang “شكرتُ لَهُ”
ini lebih fasih.
Adapun
(الْمَدْحُ : Pujian) ini lebih umum maknanya
dari pada Al-Hamdu, karena ia bisa digunakan untuk orang hidup, orang mati,
atau benda mati. Seperti memuji makanan, tempat, dan sebagainya.
(الْمَدْحُ)
ini juga bisa dilakukan untuk sebelum atau sesudah kebaikan dan juga bisa
ditujukan atas sifat muta’addiyah dan sifat lazimah. Oleh karena
itu (الْمَدْحُ)
lebih umum pengertiannya dari pada Al-Hamdu.
3. Hadits-hadits Tentang Hamdalah (الْحَمْدُ لِلَّهِ)
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ
Zikir yang paling afdhal adalah “Laailaaha illallaahu”,
dan doa yang paling afdhal adalah “Alhamdulillah”[46]
مَا أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَى
أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ
Tidaklah Allah memberi nikmat kepada hambanya, lalu ia
mengucapkan : “Alhamdulillah” kecuali apa yang Allah berikan lebih afdhal dari
pada apa yang ia peroleh.[47]
أَنَّ عَبْدًا مِنْ
عِبَادِ اللَّهِ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ
وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَعَضَّلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ، فَلَمْ يَدْرِيَا
كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا، فَصَعِدَا إِلَى السَّمَاءِ، وَقَالَا: يَا رَبَّنَا،
إِنَّ عَبْدَكَ قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا، قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ: مَاذَا قَالَ
عَبْدِي؟ قَالَا: يَا رَبِّ إِنَّهُ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا
يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ لَهُمَا: اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي، حَتَّى يَلْقَانِي
فَأَجْزِيَهُ بِهَا
Bahwa ada seorang hamba Allah mengucapkan doa, “Wahai
Tuhanku, bagi Engkaulah segala puji sebagaimana yang layak bagi keagungan
wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.” Maka kedua malaikatnya merasa kesulitan,
keduanya tidak mengetahui bagaimana mencatat (pahala)nya.
Lalu kedua malaikat tersebut naik melapor kepada Allah
dan berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan
suatu kalimat (doa) yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya.”
Allah azza wa jalla berfirman sementara Dia Maha
Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya itu, “Apakah yang telah diucapkan
oleh hamba-Ku itu?”
Keduanya menjawab, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya dia telah
mengatakan, : Bagi Engkau segala puji, wahai Tuhanku, sebagaimana yang layak
bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.”
Lalu Allah berfirman kepada kedua malaikat itu, “Catatlah
olehmu berdua seperti apa yang diucapkan oleh hamba-Ku hingga dia bertemu
dengan-Ku, maka Aku akan membalas pahalanya secara langsung.”[48]
4. Fungsi Huruf Alif Lam (الْ) pada Lafadz (الْحَمْدُ)
Huruf
Alif dan Lam pada lafadz (الْحَمْدُ)
menunjukkan istighraaq yakni mencakup segala jenis pujian dan
semua jenis itu ditujukan hanya untuk Allah ta’ala, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits :
اللهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ
كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْخَلْقُ كُلُّهُ، وَإِلَيْكَ
يَرْجِعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
Ya Allah, hanya milik Engkaulah segala puji, hanya milik
Engkaulah seluruh kerajaan, hanya milik Engkaulah seluruh ciptaan, dan kepada
Engkaulah segala perkara akan kembali.[49]
5. Tafsir (رَبِّ الْعَالَمِينَ : Tuhan semesta alam)
(الرَّبُّ : Tuhan) adalah pemilik atau penguasa yang bertindak.
Secara bahasa kata (الرَّبُّ) ditujukan atau dimaksudkan kepada tuan
yang bertindak untuk perbaikan. Semua itu benar hak bagi Allah ta’ala.
Kata
(الرَّبُّ) tidak boleh digunakan untuk selain Allah,
kecuali apabila disandarkan dengan kata yang lain. Contoh : (ربُّ الدار : tuan rumah). Sedangkan kata (الرَّبُّ)
secara mutlak hanya boleh digunakan untuk Allah ‘azza wajalla.
(الْعَالَمِينَ)
adalah bentuk plural dari kata (عَالَمٌ)
yang artinya adalah alam, yakni segala sesuatu yang ada selain Allah ‘azza
wajalla. Sedangkan kata (عَالَمٌ)
juga merupakan bentuk plural yang tidak memiliki bentuk tunggal. Adapun (الْعَوَالِمُ)
adalah (sebutan untuk) berbagai macam makhluk yang ada di langit, daratan, dan
lautan.
***
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1. Penyebutan Sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) Setelah Penyebutan (رَبِّ الْعَالَمِينَ)
Imam
Al-Qurthubi mengatakan : Allah mensifati diri-Nya dengan sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ : Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
setelah menyebutkan (رَبِّ
الْعَالَمِينَ : Tuhan semesta alam) bertujuan untuk menyandingkan
antara targhiib[50] dengan tarhiib[51].
Targhib dan tarhiib ini juga
dijumpai pada ayat-ayat lainnya, diantaranya :
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي
أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٤٩﴾ وَأَنَّ عَذَابِي
هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ ﴿٥٠﴾
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya
Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku
adalah azab yang sangat pedih.[52]
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ
الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[53]
Kata
(الرَّبُّ) mengandung tarhiib di dalamnya,
sedangkan (الرَّحْمَٰنِ
الرَّحِيمِ)
mengandung targhiib di dalamnya. Di dalam hadits juga disebutkan :
لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ
مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ
يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ
جَنَّتِهِ أَحَدٌ
Seandainya seorang mukmin mengetahui segala siksaan yang
ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada satupun yang menginginkan surga-Nya,
dan seandainya orang kafir mengetahui segala rahmat yang ada di sisi Allah,
niscaya tidak akan ada satupun yang putus asa mengharapkan surga-Nya.[54]
***
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾
Yang menguasai di Hari Pembalasan.
1. Dua Cara Membaca Lafadz (مَالِكِ)
Sebagian
ahli qiraat membacanya (مَلِكِ)
yakni huruf mim dibaca satu harakat. Sebagian yang lain membacanya (مَالِكِ)
yakni huruf mim dibaca dua harakat. Kedua cara membaca ini shahih dan
juga diriwayatkan secara mutawatir.
2. Tafsir (مَالِكِ : Yang menguasai)
Kata
(مالك) diambil dari kata (المِلْك)
– mim berharakat kasrah – sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
:
إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ
الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang
yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.[55]
Sedangkan
(ملك) diambil dari kata (المُلك)
– mim berharakat dlammaah – sebagaimana yang difirmankan oleh Allah :
لِّمَنِ الْمُلْكُ
الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?[56]
الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ
الْحَقُّ لِلرَّحْمَٰنِ
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan
Yang Maha Pemurah[57]
Pengkhususan
kerajaan/kekuasaan-Nya di hari pembalasan ini tidak menafikan kekuasaan yang
lainnya (yakni dunia). Karena pada ayat sebelumnya telah dikabarkan bahwa Dia
adalah Tuhannya semesta alam yang pengertiannya umum mencakup dunia dan
akhirat.
Alasan
disandarkannya kata (مالك : yang menguasai) dengan (يوم الدين : hari pembalasan) adalah karena dihari itu
tidak ada seorangpun yang bisa mendakwakan sesuatu, dan tidak ada seorangpun
yang berbicara kecuali dengan izin-Nya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
ta’ala :
لَّا يَتَكَلَّمُونَ
إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah
diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah[58]
يَوْمَ يَأْتِ لَا
تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang
berbicara, melainkan dengan izin-Nya[59]
3. Hakikat (الْمَلِكُ : Sang Raja/Penguasa)
(الْمَلِكُ : sang raja) pada hakikatnya adalah Allah ‘azza
wajalla. Adapun penyebutan raja bagi selain-Nya (yakni yang menjadi raja di
dunia) hanyalah majaz (kiasan) belaka, bukan hakikat.
Hal
ini ditunjukkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
يَطْوِي اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ
الْمُتَكَبِّرُونَ. ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا
الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟
Pada hari kiamat Allah ‘azza wajalla akan melipat langit,
kemudian menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Ia berfirman :
“Akulah sang raja. Mana orang-orang sewenang-wenang!? Mana orang-orang yang
sombong!?”
Kemudian ia melipat bumi dengan tangan kiri-Nya, lalu
berfirman : “Akulah sang raja. Mana orang-orang yang sewenang-wenang!? Mana
orang-orang yang sombong!?”[60]
4. Tafsir (يَوْمِ الدِّينِ : hari pembalasan)
Ibnu
Abbas mengatakan : Yang dimaksud (يَوْمِ الدِّينِ :
hari pembalasan) adalah hari perhitungan amal seluruh makhluk. Mereka
akan dibalas sesuai dengan amalan-amalan mereka. Apabila amalannya baik maka
dibalas dengan kebaikan, apabila amalannya buruk maka dibalas dengan keburukan,
kecuali apabila keburukan tersebut dimaafkan.
***
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.
1. Pengertian (العِبَادَةُ : Ibadah)
Ibadah
secara bahasa diambil dari kata adz-dzil-lah (الذِّلَّةِ)
yang berarti tunduk dan patuh. Adapun secara syar’i ibadah adalah
ungkapan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.
2. Pembahasan Kata (إِيَّاكَ)
Didahulukan
dan diulangnya maf’ul dalam ayat tersebut adalah lil ihtimam wal
hashr, yakni menunjukkan perhatian dan pembatasan. Sehingga ayat ini
bermakna :
لَا نَعْبُدُ إِلَّا
إِيَّاكَ وَلَا نَتَوَكَّلُ إِلَّا عَلَيْكَ
Tidaklah kami menyembah kecuali hanya kepada-Mu, dan
tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu.
Kalimat
ini merupakan puncak kesempurnaan ketaatan, dan agama itu secara keseluruhan
bermuara pada kalimat ini.
Penggalan
kalimat “Tidaklah kami menyembah kecuali hanya kepada-Mu” bermakna
berlepas diri dari kesyirikan, sedangkan penggalan kalimat “tidaklah kami
bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu” bermakna berlepas diri upadaya,
kekuatan dan menyerahkannya kepada Allah azza wajalla.
Ayat
yang bermakna seperti ini tidak hanya satu saja dalam Al-Quran. Diantara ayat
lainnya yang semakna dengannya ialah firman Allah ta’ala :
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ
عَلَيْهِ
maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya.[61]
قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ
آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
Katakanlah: "Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami
beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.[62]
3. Perubahan Bentuk dari Ghaibah kepada Muwaajihah
Dalam
ayat ini (Al-Fatihah ayat 5), terjadi perubahan kalam dari ghaibah
(orang ketiga) kepada muwajihah (orang kedua) yang ditandai dengan huruf
(كَ :
engkau) pada kata (إِيَّاكَ). Hal ini dikarenakan ayat ini merupakan
pujian kepada Allah.
Tatkala
seorang hamba memuji kepada Allah (dengan kata ganti “engkau”) maka seolah-olah
ia merasa dekat dan hadir di hadapan Allah ta’ala. Karena itulah Ia
berfirman : “إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.
Ini
merupakan dalil bahwa awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari
Allah untuk memuji diri-Nya sendiri dengan keindahan sifat-sifatnya yang
terbaik, serta bimbingan untuk hamba-Nya agar ia memuji-Nya dengan kalimat
tersebut.
4. Alasan Didahulukannya (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) sebelum (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ)
Didahulukannya
(إِيَّاكَ نَعْبُدُ : Hanya Engkaulah yang kami sembah) sebelum
(وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ : hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan) dikarenakan ibadah atau menyembah adalah “tujuan”,
sementara meminta pertolongan adalah “sarana” untuk mencapai tujuan tersebut,
maka yang didahulukan adalah yang lebih penting terlebih dahulu lalu dilanjut
dengan yang sekedar penting.
5.
Apa Makna Huruf Nun (نَ) pada Kata (نَعْبُدُ)
dan (نَسْتَعِينُ)?
Apabila
ditanyakan “Apa makna huruf nun (نَ)[63] pada kata (نَعْبُدُ)
dan (نَسْتَعِينُ)? Jika huruf tersebut dimaksudkan sebagai
bentuk jama’ (tentunya tidak sesuai), karena yang mengucapkan hanyalah
satu orang.
Apabila
ini dimaksudkan untuk pengagungan[64] (terhadap diri sendiri) maka ini juga
tidak sesuai karena yang mengucapkan kedudukannya hanyalah seorang hamba.”
Maka
jawabannya : Makna huruf nun pada kata tersebut adalah menginformasikan
tentang jenis hamba, dan orang shalat (yang membaca ayat tersebut) adalah salah
satu dari jenis hamba tersebut.
Terlebih
lagi apabila dalam shalat berjamaah atau menjadi imam. Dengan inilah seorang
imam menginformasikan kepada dirinya sendiri serta saudara-saudaranya yang
beriman bahwa mereka sedang beribadah; yang mana mereka itu diciptakan untuk
itu dan ia menjadi penengah bagi mereka dengan kebaikan.
6. Antara (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) dan (إِيَّاكَ عَبَدْنَا)
Dalam
hal merendah diri, ungkapan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ)
lebih lembut dari pada (إِيَّاكَ عَبَدْنَا). Apabila ungkapan yang digunakan adalah (إِيَّاكَ عَبَدْنَا)
maka ia telah mengagungkan dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah
seorang yang ahli ibadah kepada Allah ta’ala.
Padahal
tidak ada seorangpun yang mampu beribadah kepada Allah dengan ibadah yang
hakiki, dan tidak ada pula yang mampu memuji-Nya dengan pujian yang layak
buat-Nya (mengigat betapa terpujinya Allah ta’ala).
Ibadah
ini adalah kedudukan yang agung, yang dengannya seorang hamba menjadi terhormat
karena dirinya sedang berhubungan dengan Allah ta’ala. Sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang penyair :
لَا تَدْعُنِي إِلَّا
بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
Janganlah engkau memanggilku kecuali dengan menyebut
“wahai hamba-Nya” . . . karena sesungguhnya itu adalah namaku yang paling terhormat.
Allah
ta’ala juga menyebut Rasul-Nya dengan sebutan hamba di dalam
kedudukannya yang terhormat. Allah ta’ala berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya
Al Kitab (Al-Quran)[65]
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ
اللَّهِ يَدْعُوهُ
Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri
menyembah-Nya (mengerjakan ibadat)[66]
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam[67]
***
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
1. Permintaan Seorang Hamba Kepada Allah
Setelah
disampaikannya pujian kepada Allah tabaraka wata’ala (pada ayat-ayat
sebelumnya) maka layaklah apabila diiringi dengan permintaan.
Kondisi
ini merupakan kondisi yang sempurna bagi orang yang mengajukan permintaan
apabila ia memuji kepada sosok yang ia minta kemudian dilanjutkan dengan
permintaan terhadap keperluannya.
Dengan
cara seperti inilah ia lebih dimudahkan untuk berhasil memperoleh apa yang ia
perlukan dan menghantarkan keberhasilan ijabah dari permintaannya. Untuk
itulah Allah membingbing hamba-Nya agar melakukan dengan cara seperti ini,
karena cara seperti inilah yang lebih sempurna.
2. Tafsir (اهْدِنَا : Tunjukilah kami)
(اهْدِ : Tunjukilah) berasal dari kata (الْهِدَايَةُ)
yang artinya adalah hidayah atau petunjuk. Hidayah yang dimaksud dalam
ayat ini adalah bimbingan dan taufiq. Lafadz hidayah ini adakalanya muta’addi
dengan sendirinya, seperti dalam firman Allah :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
Adakalanya
muta’addi dengan (إِلَى) seperti dalam firman Allah :
فَاهْدُوهُمْ إِلَىٰ
صِرَاطِ الْجَحِيمِ
Adakalanya
muta’addi dengan (لِ) seperti dalam firman Allah :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
هَدَانَا لِهَٰذَ
3. Tafsir (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ : jalan yang lurus)
(الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ)
dalam bahasa Arab berarti “Sebuah jalan yang jelas lagi lurus dan tidak
berbelok”. Namun, terjadi perbedaan ungkapan para mufassir terkait
makna (الصِّرَاطَ) baik dari kalangan salaf maupun khalaf;
meskipun pada akhirnya kembali pada satu makna, yakni “Mengikuti Allah dan
Rasul-Nya”.
Ada
yang meriwayatkan bahwa maknanya adalah “Kitabullah”.
Ada
juga yang menafsirkan “Islam”.
Ibnu
‘Abbas mengatakan : “Yaitu agamanya Allah yang tidak mengandung
kemelencengan.”
Ibnu
Hanafiyyah mengatakan : “Yaitu agamanya Allah yang tidak diterima (agama)
dari seorang hamba selain Islam.”
Ada
juga yang menafsirkan bahwa (الصِّرَاطَ)
itu adalah Islam; di dalam hadits dari Nawwas bin Sam’an Al-Anshari, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا
صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ، فِيهِمَا
أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ
الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا،
وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ
يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ،
فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ:
حُدُودُ اللهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ اللهِ، وَذَلِكَ
الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ: كِتَابُ اللهِ، وَالدَّاعِي مِنِ فَوْقَ
الصِّرَاطِ: وَاعِظُ اللهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
Allah membuat perumpamaan berupa shirat atau jalan yang
lurus, dan di kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Diantara kedua dinding
itu ada pintu yang terbuka dan diatasnya ada penutup yang halus. Di atas pintu
jalan itu terdapat seorang penyeru yang berkata :
“Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam jalan ini
dan janganlah kalian menoleh.”
Sementara di bagian dalam jalan itu juga terdapat seorang
penyeru yang menyeru untuk menapaki jalan itu. Apabila ada seorang yang hendak
membuka pintu-pintu itu maka penyeru itu berkata :
“Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu. Karena
jika kamu buka pintu itu kamu akan masuk ke dalamnya.”
(Perumpamaannya) Jalan atau shirat itu adalah Islam,
dan kedua dinding itu adalah batas-batasnya Allah, sedangkan pintu yang terbuka
itu adalah perkara yang diharamkan oleh Allah. Adapun penyeru yang ada di depan
jalan itu adalah kitabnya Allah, sedangkan penyeru yang menapaki jalan itu
adalah nasehat Allah yang berada di dalam hati setiap muslim.[68]
Mujahid
berkata : bahwa makna (الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ)
adalah Al-Haq (kebenaran), makna ini mencakup semuanya dan tidak ada
pertentangan diantara makna ini dan makna-makna yang telah dikemukakan
sebelumnya.
Ibnu
Jarir rahimahullah mengatakan : Adapun takwil yang lebih utama dengan ayat ini
menurutku adalah :
“Berikanlah taufik kepada kami agar bisa menjalankan apa
yang Engkau ridhai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh
orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik dari hamba-hambaMu.”
Dan
yang demikian itulah yang dimaksud “jalan yang lurus”, karena barang siapa yang
diberi taufik untuk mengerjakan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang
diberikan taufik oleh Allah baik dari kalangan Nabi, para shiddiq, para syuhada,
dan orang-orang shalih maka ia telah mendapat taufik dalam Islam.
4. Mengapa Harus Meminta Hidayah
Apabila
ditanyakan : “Buat apa seorang mukmin meminta hidayah disetiap waktu shalat
sementara ia sendiri sudah menyandang sifat sebagai orang yang memperoleh
hidayah?”
Maka
jawabannya adalah : Sesungguhnya seorang hamba itu senantiasa membutuhkan Allah
di setiap saat dan keadaan agar diteguhkan di atas hidayah, ditambahkan
hidayahnya, dan terus-menerus dalam hidayah tersebut.
Oleh
karena itu Allah ta’ala membimbingnya agar ia meminta hidayah itu
disetiap waktu agar Allah memberikan pertolongan, keteguhan, serta taufik.
Sesunngguhnya Allah ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
tetap beriman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya[69]
***
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.
1. Tafsir (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ : Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka)
Adapun
firman Allah : (صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ : jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka) merupakan penafsir dari (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ).
Sedangkan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah tersebut adalah
mereka yang disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa’ :
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ
وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ
أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.[70]
Dari
Ibnu Abbas beliau berkata (tentang tafsir صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) :
“Yakni jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat
kepada mereka berupa ketaatan pada-Mu, dan ibadah kepada-Mu, baik dari kalangan
para malaikat, para nabi, para shiddiq, para syuhada’, dan
orang-orang shalih.”
Rabi’
mengatakan : yaitu mereka para nabi.
Ibnu
Juraij dan Mujahid mengatakan : yaitu mereka orang-orang yang beriman.
2. Tafsir (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ : bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat)
Lafadz
(غَيْرِ) i’rabnya jar karena ia
posisinya sebagai na’at. Adapun tafsir dari firman Allah (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) adalah :
“Yaitu bukan jalan orang-orang yang dimurkai yaitu
orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi ia menyimpang darinya, dan
bukan jalan mereka yang sesat yaitu mereka yang tidak mengetahui ilmu sehingga
mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju
kebenaran.”
3. Penguatan Kalam dengan Huruf (لَا)
Kalam dalam ayat ini dikuatkan dengan
huruf لَا untuk
menunjukkan ada kedua jalan yang sama-sama rusak, yaitu jalannya Yahudi dan
Nasrani. Maka didatangkanlah huruf لَا untuk menguatkan huruf nafi
(yakni غَيْرِ) agar tidak ada dugaan bahwa lafadz ini di
‘athafkan pada kalimat (الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ); juga untuk membedakan kedua jalan
tersebut agar masing-masing terpisah jauh dari keduanya.
Karena
sesungguhnya jalannya orang iman itu mencakup ilmu yang benar serta pengamalan.
Sementara orang Yahudi itu kehilangan pengamalan, sedangkan orang Nasrani itu
kehilangan ilmu. Oleh karena itulah murka itu diperuntukkan orang Yahudi, dan
kesesatan itu diperuntukkan orang Nasrani.
4. Yahudi yang Dimurkai dan Nasrani yang Tersesat
Pengkhususan
murka bagi orang Yahudi ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala
tentang mereka :
مَن لَّعَنَهُ اللَّهُ
وَغَضِبَ عَلَيْهِ
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah[71]
Adapaun
pengkhususan kesesatan bagi orang Nasrani adalah sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah ta’ala :
قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ
وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan
mereka tersesat dari jalan yang lurus[72]
Diriwayatkan
pula dalam hadits dari Adi bin Hatim bahwa ia berkata : Aku bertanya pada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ).
Maka
beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang Yahudi.” Dan aku juga bertanya
tentang (وَلَا الضَّالِّينَ). Maka beliau bersabda : “Mereka itu
adalah orang-orang Nasrani.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi
dari beberapa jalur, dan ia memiliki banyak lafadz)[73]
E. Pembahasan (آمين) Setelah Bacaan Surat Al Fatihah
1. Siapa Saja yang Dianjurkan Membaca (آمين) Setelah Bacaan Surat Al Fatihah
Setelah
membaca surat Al Fatihah maka disunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan “آمين”
yang
panjangnya seperti membaca “يس”.
Boleh juga alif dibaca pendek “أمين”
yang artinya “Ya Allah kabulkanlah”. Berdasarkan hadits :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا تَلَا {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7]، قَالَ: آمِينَ، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلِيهِ
مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai
membaca (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) maka beliau mengucapkan (آمِينَ)
hingga orang di dekatnya yang berada di shaf awal mendengarnya.[74]
Menurut
beberapa sahabat yang semadzhab dengan kami berpendapat bahwa dianjurkan juga
mengucapkan (آمين) bagi orang yang membacanya diluar shalat,
dan lebih ditekankan lagi bagi yang membacanya saat shalat, baik ketika munfarid
maupun sebagai imam atau makmum, dan dalam keadaan apapun. Berdasarkan hadits :
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ،
فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Ketika seorang imam mengucapkan amin maka ucapkanlah
amin, karena barang siapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya
malaikat maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.[75]
Menurut
kalangan madzhab maliki berpendapat bahwa imam tidak perlu mengucapkan (آمين)
cukup makmum saja yang mengucapkannya. Hal ini berdasarkan hadits :
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ
{صِراطَ الَّذينَ أَنْعَمتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ} فَقُولُوا: آمِينَ
Ketika imam membaca (صِراطَ الَّذينَ أَنْعَمتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ)
maka katakanlah : Aamiin[76]
2. Mengucapkan (آمين) dengan Suara Keras atau Pelan?
Terjadi
perbedaan pendapat dikalangan sahabat kami mengenai suara keras bagi makmum
dalam mengucapkan amin dalam shalat jahrnya. Kesimpulan dari
perbedaan pendapat itu adalah, jika imam lupa mengucapkan amin, maka
makmum harus mengucapkannya dengan keras secara bersamaan.
Namun,
jika imam telah mengucapkannya dengan suara keras, – menurut qoul jadid
(ijtihad Imam Syafi’i di Mesir) – maka para makmum tidak mengucapkannya dengan
keras. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam Abu Hanifah dan salah satu
riwayat dari imam Malik. Hal ini dikarenakan amin itu merupakan salah
satu bentuk dzikir, sehingga tidak perlu dikeraskan sebagaimana halnya
dzikir-dzikir shalat lainnya.
Sedangkan
pendapat lain – menurut qoul qadim (ijtihad imam Syafi’i di Baghdad) –
menyatakan bahwa makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara keras. Ini juga
merupakan pendapatnya imam Ahmad dan riwayat lain dari imam Malik. Dikatakan
demikian karena di dalam hadits disebutkan : “sehingga masjidnya bergetar
(karena suara yang keras dari ucapan amin)”[77]
Adapun
pendapat yang ketiga, yaitu pendapat kami : Apabila masjid yang digunakan untuk
shalat berukuran kecil, maka makmum tidak boleh mengeraskan aminnya,
karena para makmum dapat mendengar bacaan imam.
Namun,
bila masjid yang digunakan berukuran besar, maka makmum membacanya dengan keras
agar dapat didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid.
Imam
Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa bahwa
pernah dikisahkan tentang orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, maka beliaupun bersabda :
إِنَّهُمْ لَا
يَحْسُدُونَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَا عَلَى يَوْمِ الْجُمُعَةِ الَّتِي
هَدَانَا اللهُ لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى الْقِبْلَةِ الَّتِي هَدَانَا
اللهُ لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ: آمِينَ
Sesungguhnya mereka tidak dengki terhadap kita atas suatu
hal sebagaimana kedengkian mereka terhadap kita karena salat Jumat yang telah
Allah tunjukkan kepada kita, tetapi mereka sesat darinya; dan karena kiblat
yang telah Allah tunjukkan kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya; dan
karena ucapan amin kita di belakang imam.[78]
F. Makna Surat Al Fatihah Secara Keseluruhan
Surat
Al Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat yang mengandung pujian kepada Allah dan
mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama Nya yang terbaik
sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang mulia.
Disebutkan
juga tentang hari kembali (yaitu hari pembalasan) dan juga terkandung bimbingan
untuk hamba-hamba Nya agar meminta kepada-Nya, merendahkan diri kepada-Nya, dan
berlepas diri dari upaya dan kekuatan mereka.
Terkandung
pula tentang keikhlashan ibadah kepada-Nya, dan mentauhidkan uluhiyyah-Nya
tabaraka wata’ala, serta membersihkan-Nya dari segala bentuk sekutu,
persamaan, atau tandingan.
Lalu
dilanjutkan memohon hidayah kepada Allah agar dapat menapaki jalan yang lurus
(yaitu agama yang tegak agama Islam) dan agar Allah meneguhkan mereka di atas
jalan tersebut hingga dapat menghantarkan mereka melewati jembatan sirat kelak
di hari kiamat. Yang akhirnya membawa mereka ke surga yang nikmat berada di
sisi para nabi, para shiddiq, para syuhada’, dan
orang-orang shalih.
Didalam
surat ini juga terkandung motivasi untuk beramal shalih agar mereka dimasukkan
kedalam golongan orang-orang shalih di hari kiamat. Juga terkandung ancaman dan
peringatan terhadap jalan kebathilan agar mereka tidak dikumpulkan bersama
orang yang menempuh jalan itu di hari kiamat, yaitu mereka orang yang dimurkai
dan juga mereka yang tersesat.
Betapa
indahnya ungkapan penyandaran “pemberian nikmat” kepada Allah dalam firman-Nya
yang berbunyi : “أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ”
dan terbuangnya fa’il dalam firman-Nya : “غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ” sekalipun pada hakikatnya Allahlah yang
menjadi fa’ilnya.
Demikian
pula dalam menyandarkan kesesatan bagi mereka yang berdiri di atas kesesatan,
walaupun sebenarnya Allahlah yang menyesatkan mereka dengan takdir-Nya,
sebagaimana firman Allah : “مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ” (barang siapa yang disesatkan oleh Allah
maka tidak ada yang bisa menunjukkannya) dan masih banyak lagi ayat lainnya
yang menunjukkan bahwa hanya Allahlah yang memberi hidayah dan menyesatkan.
Tidak
seperti golongan qodariyyah dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa
hamba itu sendiri yang dapat memilih untuk melakukannya. Mereka itu berhujjah
membela bid’ah mereka dengan ayat-ayat mutasyabih dalam Al Quran
dan meninggalkan ayat-ayat yang jelas dan gamblang yang justru membantah
pendapat mereka sendiri. Dan inilah merupakan keadaan orang-orang yang sesat
dan keliru.
Dalam
sebuah hadits yang shahih disebutkan :
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ
فَاحْذَرُوهُمْ
Apabila kamu melihat orang yang mengikuti hal-hal yang
mutasyabih dari Al Quran maka merekalah yang disebut oleh Allah “فَاحْذَرُوهُمْ”
(maka hati-hatilah terhadap mereka)[79]
Segala
puji bagi Allah, tidak ada satupun hujjah yang shahih di dalam Al Quran bagi
ahli bid’ah. Karena Al Quran ini datang
untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, memisahkan
antara hidayah dan kesesatan, dan tidak ada pula di dalam Al Quran yang dapat
dipertentangkan, diperselisihkan, karena ia berasal dari sisi Allah ta’ala.
Oleh
: Adam Rizkala
[1] Ibnu Jarir Ath-Thabariy, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Quran, (Muassasah
Ar-Risaalah: 2000), jilid 1, hlm. 108.
[19] QS.
Al-Kahfi ayat 50
[21]
Mereka berdalil dengan surat An-Nahl ayat 98 dan mengartikan ayat tersebut
secara tekstual, yakni : “Apabila kamu telah membaca Al Quran
maka hendalah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk.”
[22]
QS. An-Nahl ayat 98
[24]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, (Lebanon:
Dar Al-Quran Al-Karim, 1981), jilid 1, hlm 18.
[61] QS.
Hud ayat 123
[63]
Huruf nun ini merupakan huruf mudhoro’ah (yakni huruf yang menjadi ciri
khas fi’il mudhari’) yang bermakna “kami”.
[64]
Penggunaan kata “Kami” dalam bahasa Arab menunjukkan pengagungan terhadap diri
sendiri. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang menggunakan kata “Saya” untuk
mengagungkan diri sendiri.
[73]
Lihat : Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, oleh Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy
(Lebanon: Dar Al-Quran Al-Karim, 1981), jilid 1, hlm 25.
mantapp luar biasa, jazakallahu khoiro izin share ....
ReplyDelete