Pengertian Tafsir Al Quran, Sejarah, dan Urgensi Mempelajarinya
Oleh : Adam Rizkala
Dipublikasikan : 1/14/2019
![]() |
Al Quran adalah kalam Allah azza wa jalla
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam
melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salam.
Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia.
Barang siapa yang menjadikan Al Quran sebagai pedoman utamanya maka ia akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Sebaliknya, barang siapa yang tidak menjadikan Al Quran
sebagai pedomannya maka ia akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Allah
menurunkan Al Quran kepada Rasul-Nya dengan bahasa Arab. Kita sebagai seorang
muslim wajib menjadikannya sebagai pedoman. Agar bisa dijadikan pedoman maka
kita perlu mengetahui isinya.
Namun, kita bukanlah orang yang ahli dalam bahasa Arab.
Padahal kita ditunutut untuk mengetahui isinya. Lalu bagaimanakah cara kita
mengetahui isinya sementara kita bukanlah orang yang pandai bahasa Arab?
Maka dari itu mempelajari tafsir Al Quran adalah
jalan agar kita dapat mengetahui isi dari Al Quran. Dengan mengetahui isinyalah
kita dapat menjadikannya sebagai pedoman.
Berikut ini akan kita bahas bersama tentang pengertian
tafsir Al Quran, sejarahnya, hukum mempelajarinya, dan urgensi mempelajarinya
di zaman ini.
A. Apa Pengertian Tafsir Al Quran Menurut Para Ulama?
Pengertian Tafsir Al Quran : secara
etimologis tafsir berasal dari kata “فَسَّرَ – يُفَسِّرُ
– تَفْسِيْرًا”
yang artinya
adalah menjelaskan, menerangkan, atau menyingkap. Hal ini semakna dengan apa
yang difirmankan oleh Allah ta’ala :
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[1]
Ibnu Abbas
menafsirkan kata “تَفْسِيرًا”
adalah “تَفْصِيْلًا”
yang berarti
penjelasan atau perincian.
Adapun pengertian
tafsir Al Quran secara terminologis, didefinisikan oleh beberapa ulama
sebagai berikut :
1. Az-Zarkasyi
التَّفْسِيرُ عِلْمٌ
يُفْهَمُ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيَانَ مَعَانِيهِ، وَاسْتِخْرَاجِ أَحْكَامِهِ
وَحِكَمِهِ
Tafsir adalah
ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan maknanya, menarik kesimpulan hukum
dan hikmahnya.[2]
2. Az-Zurqooni
عِلْمٌ يُبْحَثُ
فِيْهِ عَنِ القُرْآنِ الكَرِيْمِ مِنْ حَيْثُ دَلَالَتِهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ
تَعَالَى بِقَدْرِ الطَّاقَةِ البَشَرِيَّةِ
Tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang Al Quran Al karim dari segi makna yang terkandung di
dalamnya sesuai apa yang dimaksud oleh Allah ta’ala sebatas kemampuan manusia.[3]
Dari kedua pengertian tersebut kita dapat mengetahui
bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang keterangan serta penjelasan
terhadap makna dan maksud ayat-ayat Al Quran sesuai dengan apa yang dimaksud
oleh Allah sebatas kemampuan manusia.
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Al Quran[4]
Ilmu tafsir memiliki sejarah perkembangan tersendiri.
Dengan mengetahui sejarah perkembangannya, maka kita akan mengetahui bagaimana
asal-usul berdirinya ilmu ini. Berikut ini sejarah singkat perkembangan ilmu
tafsir Al Quran mulai masa Nabi dan para sahabat hingga masa tadwin :
a. Tafsir di Masa Nabi dan Para Sahabat
1. Bahasa Al Quran
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Al Quran
diturunkan dengan bahasa yang digunakan oleh Nabi dan para sahabat, yakni
bahasa Arab.
Uslub atau stalistika[5] yang digunakan dalam Al Quran sangatlah indah dan beragam,
diantaranya ada haqiqah[6], majaz[7], sarih[8], kinayah[9], ijaz[10], dan ithnab[11], yang mana uslub tersebut juga digunakan oleh
orang-orang Arab di saat itu dalam pembicaraan dan syair-syair mereka.
Dengan diturunkannya Al Quran dengan uslub inilah
para sahabat menafsirkan Al Quran sesuai kemampuan mereka dalam memahami bahasa
Arab.
2. Pemahaman Nabi dan Para Sahabat Terhadap Al Quran
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila pemahaman Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam terhadap Al Quran itu sangatlah rinci dan menyeluruh.
Demikian pula pemahaman para sahabat yang menyeluruh terhadap Al Quran dari
sisi dzahir dan ahkamnya.
Adapun pemahaman yang lebih rinci dimana ayat yang ingin
mereka ketahui penafsirannya terdapat musykil atau mutasyabih atau
semisalnya maka mau tidak mau mereka harus merujuk atau bertanya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam mengenai penafsiran ayat tersebut.
3. Sumber Para Sahabat dalam Menafsirkan Al Quran
Sumber utama para sahabat dalam menafsirkan Al Quran
adalah mencarinya dalam Al Quran itu sendiri, karena antara satu ayat dengan
ayat yang lainnya saling menafsirkan.
Setelah itu, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam yang mana beliau sendiri adalah seorang mubayyin[12] terhadap ayat-ayat Al Quran itu sendiri.
Apabila mereka tidak menemukan penafsiran dari keduanya
atau tidak sempat menanyakannya kepada Nabi maka mereka menggunakan ra’yu
(pemikiran) atau berijtihad dengan bantuan pengetahuan mereka terhadap bahasa
Arab, sya’ir-sya’ir Arab jahiliyyah, pengenalan terhadap tradisi Arab,
pengetahuan terhadap keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab
tatkala turunnya Al Quran, latar belakang turunnya Al Quran, dan kemampuan
penalaran mereka.
Yang terakhir, baru mereka menanyakan kepada ahlul
kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, khususnya tentang masalah sejarah
Nabi-nabi terdahulu dan kisah-kisah dalam Al Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul
Kitab yang telah masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbaar dan
lainnya.
4. Bentuk Tafsir
Ilmu tafsir saat itu belum menjadi disiplin ilmu
tersendiri karena saat itu ilmu ini belum disusun secara sistematis dan hanya berupa
riwayat-riwayat yang masih berserakan.
Saat itu juga ilmu tafsir belum disusun dalam sebuah
kitab, karena memang para sahabat adalah kaum ummiyyiin[13]. Disamping itu, penafsiran Al Quran saat itu belum
menyeluruh karena hanya ayat-ayat yang sukar dipahami saja yang mereka
tafsirkan dan mereka tanyakan kepada Nabi.
b. Tafsir di Masa Tabi’in
1. Sumber dalam Menafsirkan Al Quran
Dalam menafsirkan Al Quran para ahli tafsir di masa
tabi’in berpegang dengan Al Quran itu sendiri, hadits-hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh para sahabat, dan juga penafsiran sahabat.
Mereka juga mengambil dari ahli kitab yang termaktub
dalam kitab-kitab mereka dan juga menafsirkan dengan metode ijtihad dan
pendalaman terhadap Al Quran.
Dikarenakan masih banyaknya ayat-ayat yang belum
ditafsirkan di zaman Nabi dan para sahabat maka hadits-hadits dan ucapan para
sahabat terkait tafsir Al Quran tidak mencakup seluruh ayat dalam Al
Quran.
Sehingga mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat yang rancu
di zaman mereka dengan kemampuan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab dan
hadits-hadits Nabi.
2. Madrasah Tafsir Al Quran
Setelah berkembangnya Islam ke berbagai negeri maka
mulailah berdiri madrasah-madrasah tafsir Al Quran. Madrasah-madrasah tersebut
diantaranya :
- Madrasah tafsir di Mekah : didirikan oleh Ibnu Abbas
- Madrasah tafsir di Madinah : didirikan oleh Ubayy bin Ka’ab
- Madrasah tafsir di Iraq : didirikan oleh Ibnu Mas’ud
c. Tafsir di Masa Tadwin (Pembukuan)
Masa tadwin ini terjadi pada akhir masa Bani Umayyah dan
permulaan Bani Abbasiyyah.
Periode Awal
Tafsir sebelum itu diajarkan antara satu sama lain dengan
metode periwayatan, dimana sahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana mereka saling meriwayatkan. Dan tabiin
meriwayatkan dari sahabat, sebagaimana mereka saling meriwayatkan. Dan pada
masa inilah langkah awal (munculnya disiplin ilmu) tafsir.
Periode Kedua
Setelah berakhirnya masa sahabat dan tabi’in maka
datanglah masa tadwin (pembukuan) terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam yang dikelompokkan menjadi bab tersendiri.
Pembukuan tafsir ini belum disusun secara sistematis
seperti antara satu surat menafsirkan surat lainnya, ayat menafsirkan ayat,
disusun dari awal hingga akhir dsb. Bahkan saat itu dijumpai banyak para ulama’
mengembara ke berbagai negeri untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi.
Periode Ketiga
Setelah melewati periode yang kedua maka ilmu tafsir ini
mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri. Ilmu tafsir ini disusun setiap ayat
dalam Al Quran dan diurutkan sesuai dengan urutan mushaf.
Diantara para penyusun tersebut adalah : Ibnu Majah (w.
273 H) Ibnu jarir Ath-Thabari (w. 310 H) Abu Bakar bin Al-Mudzir An-Naisaaburi
(w. 318 H) Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) Abu Syaikh ibnu Hibban (w. 369 H) Al-Hakim
(w. 405 H) dan lainnya.
Tafsir yang disusun itu dikenal dengan istilah tafsir
bil ma’tsur atau tafsir bil manqul, yakni metode menafsirkan Al
Quran dengan Al Quran dan riwayat hadits dan juga atsar para
sahabat.
Setelah berkembangnya ilmu pengetahuan di masa
Abbasiyyah, para mufassir berupaya mengembangkan tafsir dengan peran ra’yu
atau ijtihad. Tafsir dengan bentuk ini dikenal dengan istilah tafsir
bir-ra’yi atau tafsir bil ma’qul, dimana para mufassir
menafsirkan Al Quran dengan kemampuan ijtihad atau pemikiran mereka tanpa
meninggalkan tafsir bil ma'tsur, yakni Al Quran dengan Al Quran atau
dengan hadits dan tidak meninggalkan penafsiran para sahabat dan para
tabi’in.
Penafsiran semacam ini membutuhkan bantuan berbagai macam
cabang ilmu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al Quran, ilmu
hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah, dan selainnya.
C. Apa Hukum Mempelajari Tafsir Al Quran?
Sebelum kita mengetahui apa hukum mempelajari tafsir Al
Quran, mari kita perhatikan firman Allah berikut ini :
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.[14]
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa hikmah
diturunkannya Al Quran adalah agar kita mentadabburi atau memperhatikan serta
mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. Lalu, bagaimana caranya agar kita
bisa mentadabburi Al Quran dan mengambil pelajaran di dalamnya?
Maka jawabannya adalah dengan mempelajari makna atau
tafsir Al Quran itu sendiri
Untuk bisa mentadabburi ayat kita perlu mempelajari
tafsirnya. Karena tidaklah mungkin kita mentadabburi ayat-ayat dalam Al Quran
atau mengambil pelajaran dari suatu ayat tanpa mengetahui makna atau tafsirnya
terlebih dahulu. Bahkan Allah mencela orang orang yang tidak mentadabburi
ayat-ayat dalam Al Quran, Allah ta’ala berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ
أَقْفَالُهَا
Selain itu, kita sebagai seorang muslim juga wajib
mengamalkan Al Quran sesuai apa yang diinginkan oleh Allah. Maka “Mungkinkah
kita mengetahui keinginan Allah dalam Al Quran tanpa mengetahui
maknanya?”
Jawabannya adalah MUSTAHIL
Oleh karena itu, dapat kita simpulkan dari ayat-ayat
tersebut bahwa mempelajari tafsir Al Quran itu WAJIB hukumnya bagi
setiap muslim. Dengan mempelajari tafsir itulah kita dapat mengetahui isi
firman Allah dan mengamalkan ayat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah ta’ala.
D. Apa Urgensi Mempelajari Tafsir Al Quran di Zaman Ini?
a. Belajar Tafsir Adalah Sunnah Para Salaf
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bahwa tidaklah datang suatu zaman kecuali zaman itu lebih
buruk dari pada zaman sebelumnya.
Termasuk buruknya fenomena di zaman akhir ini adalah
betapa banyaknya kaum muslimin yang tidak mengerti isi dari Al Quran yang
mereka baca.
Bahkan mirisnya saat ini mulai muncul banyak generasi
penghafal Al Quran 30 Juz tetapi jahil dalam masalah tafsir.
Padahal para sahabat terdahulu tidaklah mereka menghafal
dan mempelajari Al Quran kecuali mereka mengetahui tafsirnya dan
mengamalkannya.
عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ
عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزُهُنَّ حَتَّى يَعْرِفُ مَعَانِيْهُنَّ، وَالْعَمَلَ
بِهِنَّ
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata :
“Dahulu ketika orang-orang
dikalangan kami belajar 10 ayat tidak akan melewati pelajaran tersebut hingga
ia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.”[16]
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمن، قَالَ: حَدَثَّنَا الَّذِيْنَ كَانُوْا
يُقْرِئُوْنَنَا: أَنَّهُمْ كَانْوا يَسْتَقْرِئُوْنَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوْا إِذَا تَعَلَّمُوْا عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ
يُخَلِّفُوْهَا حَتَّى يَعْمَلُوْا بِمَا فِيْهَا مِنَ الْعَمَلِ، فَتَعَلَّمْنَا
الْقُرْآنَ وَالْعَمَلَ جَمِيْعًا
Dari Abu Abdirrahman, ia berkata :
Orang-orang yang mengajarkan Al Quran kepada kami bercerita :
Bahwa dahulu ketika mereka diajarkan
Al Quran oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka mereka belajar sepuluh
ayat dan tidak meninggalkan kesepuluh ayat tersebut hingga mereka mengetahui
maknanya agar bisa diamalkan. Maka kamipun belajar Al Quran sekaligus
mengamalkannya.[17]
Lihatlah para generasi salaf kita! Dimana mereka
tidaklah mempelajari Al Quran hanya hafalan dan qira’ahnya saja. Akan
tetapi mereka juga mempelajari tafsir agar bisa mengamalkannya.
Berbeda dengan sebagian kaum muslimin saat ini. Mereka
hanya berhenti sampai menghafalkannya saja tanpa mempedulikan tafsirnya.
Bahkan sebagian mereka ada yang berlomba-lomba
membaguskan suara dengan mempelajari nada-nada seperti bayyati, hijaz,
nahawan dan selainnya yang pada hakikatnya hal itu bukanlah hal yang
utama.
Bukan berarti tidak boleh mempelajari nada-nada tersebut,
akan tetapi hendaknya kita lebih memprioritaskan hal yang terpenting dari Al
Quran, yakni tafsir dan pengamalannya. Karena, hukum mempelajari tafsir Al
Quran dan mengamalkannya adalah wajib bagi setiap muslim.
b. Beredarnya Kesalahan Tafsir di Masyarakat
Banyaknya beredar kesalahan penafsiran di kalangan
masyarakat adalah musibah yang besar. Ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan
ayat untuk sebuah kepentingan.
Contoh umum kesalahan yang beredar saat ini, diantaranya
tafsir “fitnah” pada surat Al-Baqarah ayat 191 :
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan[18]
Sebagian kaum muslimin khususnya di negara kita memahami
bahwa fitnah yang dimaksud ayat tersebut ditafsirkan sebagai “perkataan
bohong tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan
orang”.
Inilah kesalahan penafsiran Al Quran yang beredar di
masyarakat karena tidak merujuk pada keterangan tafsir dari para ulama’.
Padahal menafsirkan Al Quran dengan pendapat sendiri
tanpa ilmu adalah perbuatan yang tercela. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
مَنْ قَالَ: فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ،
فَقَدْ أَخْطَأَ
Barang siapa yang berkata tentang
firman Allah azza wajalla dengan opininya sendiri, lalu kebetulan ia benar maka
ia tetap salah.[20]
مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ
Barang siapa yang berkata tentang Al
Quran dengan tanpa ilmu maka hendaknya ia menempatkan tempat duduknya di
neraka.[21]
E. Meneladani Salaf dalam Menafsirkan Al Quran
Dalam menafsirkan Al Quran hendaknya kita benar-benar
mengetahui ilmunya terlebih dahulu dan bertawaqquf tatkala tidak
mengetahui tafsirnya.
Dalam hal ini, kita bisa meneladani Ibnu Abbas tatkala
menafsirkan firman Allah yang berbunyi “فَاطِرِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ”.
Pada mulanya, beliau tidak mengerti maksud kata فَاطِر sama sekali.
Namun, pada akhirnya beliau bisa mengetahui tafsirnya tatkala mengetahui dalam
konteks kalimat apa kata itu digunakan oleh orang Arab. Ibnu Abbas menuturkan :
كُنْتُ لَا أَدْرِي مَا "فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ"،
حَتَّى أَتَانِي أَعْرَابِيَّانِ يَخْتَصِمَانِ فِي بِئْرٍ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا
لِصَاحِبِهِ: أَنَا فَطَرتُهَا، يَقُوْلُ: أَنَا ابْتَدَأتُهَا
Dahulu aku tidak mengerti tafsir
dari kalimat “فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ” hingga aku
pun menjumpai dua
orang badui yang saling memperdebatkan masalah sumur. Lalu, salah seorang
diantara mereka berekata : “Akulah yang membuat sumur ini pertama kali.”[22]
Dari kisah Ibnu Abbas di atas menunjukkan betapa
hati-hatinya Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al Quran. Sehingga beliau tidak mau
berkomentar apapun tentang tafsir ayat tersebut sampai ia mengetahui konteks
penggunaan kata فَاطِر dalam
percakapan orang-orang Arab.
Tatkala beliau sudah mengetahui dalam konteks kalimat
seperti apa kata فَاطِر itu digunakan
dalam percakapan orang Arab maka beliaupun dapat mengetahui tafsir dari ayat
tersebut.
F. Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan di atas, kita dapat mengetahui apa
pengertian dari tafsir Al Quran itu sendiri dan apa urgensi mempelajarinya.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim wajib mempelajari tafsir dan
ilmu-ilmu agama lainnya dengan mendatangi kajian-kajian di majelis
ta’lim.
Dengan mengikuti kajian itulah kita bisa berkumpul dengan
komunitas yang mencintai agama ini. Dan dengan itulah kita bisa memperoleh
pemahaman terhadap agama kita.
Ingatlah! Bahwa tidaklah seorang dikatakan cinta terhadap
agama ini apabila ia tidak mengenal dan mengetahui isi dari agamanya. Karena
cinta terhadap agama Islam ini tidak cukup hanya dengan pengakuan, namun perlu
ada upaya untuk mengetahui dan mengenalnya lebih dalam.
Oleh : Adam
Rizkala
[1] QS. Al-Furqon ayat 33.
[2] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqon
fii Ulum Al-Quran (Al-Hayyi’ah Al-Mishriyyah Al-Ammah li Al-Kitaab, 1974),
Jilid 4, hlm. 195.
[3] Muhammad Abdul Adzim Az-Zurqooni, Manaah
Al-‘Irfaan fii Uluum Al-Quran, (Mathba’ah Isa Al-Baabii Al-Halbii), Jilid
2, hlm. 3.
[4] Refrensi : DR. Muhammad As-Sayyid
Husain Adz-Dzahabi w. 1398 H, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah).
[5] Ilmu tentang penggunaan bahasa dan
gaya bahasa
[6] Adalah kata yang dipergunakan
sesuai dengan penunjukkan makna aslinya.
[7] Adalah kata yang dipergunakan pada
tempat yang tidak sesuai dengan penunjukkan makna aslinya.
[8] Adalah kalimat yang langsung dapat
diketahui maknanya dan tidak mengandung makna yang lain.
[9] Adalah kata yang dipergunakan
bukan pada makna aslinya sekalipun tidak ada qarinah yang mencegahnya
dari makna tersebut. Kinayah ini menempati posisi pertengahan antara majaz
dan haqiqah.
[10] Adalah mengumpulkan makna yang
banyak dalam kata-kata yang sedikit dengan jelas dan fasih.
[11] Adalah mengungkapkan makna dengan
ucapan yang lebih banyak dari maknanya.
[12] Seorang yang menjelaskan.
[13] Bukan ahli baca tulis.
[14] QS. Al-Furqoon ayat 29.
[15] QS. Muhammad ayat 24.
[16] Ibnu
Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wiil Al-Quran (Muassasah
Ar-Risaalah, 2000), jilid 1, hlm 80.
[17] Ibid.
[18] QS. Al-Baqarah ayat 191
[19] Lihat : Tafsir Ath-Thabari jilid.
3 hlm. 565
[20] HR. Abu Dawud no. 3625
[21] HR. Tirmidzi no. 2950
[22] Ibnu
Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wiil Al-Quran (Muassasah
Ar-Risaalah, 2000), jilid 11, hlm 283.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)