MENU

10 Adab Penuntut Ilmu Terhadap Diri Sendiri

Adab Penuntut Ilmu

Diantara kewajiban yang akan terus dikerjakan oleh setiap muslim hingga akhir hayatnya adalah menuntut ilmu. 

Dikala menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu sepantasnya untuk memperhatikan adab-adab penuntut ilmu

Ulama’ terdahulu sangatlah menekankan pentingnya adab seorang penuntut ilmu. 

Tanpa adab maka ilmu hanya akan menjadi sekedar pengetahuan di dalam kepala. Kebermanfaatan dan keberkahan ilmu akan sulit diraih apabila kita tidak memperhatikan adab-adab dikala menuntut ilmu.

Berikut ini akan kita pelajari bersama adab-adab penuntut ilmu yang kami terjemahkan dari kitab Tadzkiratu As-Saami’ wa Al-Mutakallim oleh Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’i[1]. Beliau membaginya menjadi tiga pasal sebagai berikut :
  • Adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri.
  • Adab penuntut ilmu terhadap guru, pembimbing, dan orang yang wajib di hormati.
  • Adab penuntut ilmu terhadap pembelajaran.
Adapun pada artikel ini akan kita bahas pasal yang pertama, yakni Adab Penuntut Ilmu Terhadap Dirinya.  

Ada sepuluh hal mengenai adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri yang harus ia perhatikan, diantaranya sebagai berikut :

1. Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Buruk

Seorang penuntut ilmu sepantasnya membersihkan hati dari semua sifat-sifat yang buruk seperti dengki atau iri, dendam, keyakinan yang buruk dan akhlak yang tercela

Dengan hati yang bersih maka seorang penuntut ilmu lebih mudah menerima dan menjaga ilmunya, menguatkan perhatiannya terhadap makna-makna secara detail dan hakikat yang tersembunyi. 

Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama : “Karena sesungguhnya ilmu adalah sholatussirr (sholat yang tersembunyi), ibadahnya hati, dan perbuatan batin yang mendekatkan pada Allah.”  

Sebagaimana shalat yang mana ia merupakan ibadah badan lahiriyah tidaklah sah kecuali dengan suci dari hadats dan kotoran, maka demikian pula ilmu yang mana merupakan ibadah hati tidaklah sah kecuali dengan mensucikannya dari sifat-sifat yang buruk dan hadats berupa akhlak-akhlak yang keji dan tercela.

Ketika hati diperbaiki untuk ilmu maka keberkahannya akan tampak dan terus bertambah. Seperti tanah yang ketika baik untuk ditanam maka tanamannya akan tumbuh dan subur. 

Di dalam hadits disebutkan :

أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah! Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila ia baik maka seluruh jasadnya pun baik, namun bila ia rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah, bahwa itu adalah hati.[2]

Sahl bin Abdullah At-Tusturii mengatakan :

وَحَرَامٌ عَلَى قَلْبٍ أَنْ يَدْخُلَهُ النُّورُ، وَفِيهِ شَيْءٌ مِمَّا يَكْرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Cahaya tidak akan masuk ke dalam hati yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci oleh Allah azza wa jalla.[3]

2. Niat yang Baik

Seorang penuntut ilmu hendaknya berniat baik dikala menuntut ilmu. Yakni hendaknya ia memaksudkan ilmunya untuk meraih wajahnya Allah azza wa jalla, serta bermaksud untuk mengamalkannya, menghidupkan syariat, menyinari hatinya, menghias batinnya, dan untuk mendekatkan pada Allah ta’ala di hari ketika bertemu dengan-Nya, dan mendapatkan apa yang telah Allah sediakan untuk ahli ilmu berupa ridha-Nya dan keutamaan-Nya yang besar.

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي

Tidaklah aku menangani sesuatu yang lebih berat bagiku kecuali niatku.[4]

Janganlah seorang penuntut ilmu menjadikan ilmunya untuk tujuan keduniaan agar memperoleh kehormatan, pangkat, harta, kebanggaan, penghormatan masyarakat dan agar mendudukkannya sebagai pemegang majelis dan lain sebagainya, karena dengan itu berarti ia telah menukar sesuatu yang baik dengan sesuatu yang lebih rendah.

Abu Yusuf mengatakan :

أَرِيدُوا بِعِلْمِكُمْ اللَّهَ فَإِنِّي لَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي فِيهِ أَنْ أَتَوَاضَعَ إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَعْلُوَهُمْ وَلَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي فِيهِ أَنْ أَعْلُوَهُمْ إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَفْتَضِحَ

Niatkanlah ilmu kalian untuk Allah ta’ala, karena sesungguhnya tidaklah aku duduk disuatu majelis sama sekali yang aku berniat bertawadhu' di majelis itu kecuali aku berdiri maka aku lebih unggul dari pada mereka. (Sebaliknya), tidaklah aku duduk disuatu majelis sama sekali yang aku berniat agar aku lebih mulia dari pada mereka kecuali aku berdiri sehingga keburukankupun tersingkap.[5]

Ilmu adalah salah satu ibadah diantara ibadah-ibadah yang ada dan merupakan salah satu amalan yang mendekatkan diri kepada Allah diantara amalan yang ada. 

Apabila niatnya murni karena Allah ta’ala maka diterimalah amalan itu serta keberkahannya akan tumbuh dan bertambah.

Namun, apabila ia diniatkan untuk selain Allah maka leburlah amalan tersebut, sia-sia, dan merugi.

Bisa jadi ia tidak memperoleh apa yang menjadi tujuannya dan ia telah gagal meraihnya dan menyianyiakan usahanya.

3. Memperhatikan Waktu dan Fokus untuk Ilmu

Seorang penuntut ilmu hendaknya bergegas di masa muda dan sisa-sisa waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah ia terperdaya dengan menunda-nunda dan banyak berangan-angan. Karena setiap waktu yang terlewat tidak akan pernah terganti dan terulang.

Selain itu penuntut ilmu harus melepaskan segala hubungan yang menyibukkannya dan segala sesuatu yang membuatnya terhalang dari kesempurnaan menuntut ilmu, pengorbanan kesungguhannya, dan kuatnya kesungguhan untuk memperoleh ilmu. 

Penutut ilmu terdahulu lebih menyukai bepergian jauh dari keluarga dan tanah airnya untuk menuntut ilmu. Karena ketika pikiran terbagi-bagi maka akan kesulitan menemukan hakikat dan berkurangnya ketelitian. Allah ta’ala berfirman :

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya[6]

Dikatakan pula bahwa “Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya padamu hingga engkau memberikan keseluruhan dirimu kepadanya.”

Khatib Al-Baghdadi mengatakan :

لَا يَنَالُ هَذَا الْعِلْمَ إِلَّا مَنْ عُطِّلَ دُكَّانُهُ وَخُرِّبَ بُسْتَانُهُ وَهَجَرَ إِخْوَانَهُ وَمَاتَ أَقْرَبُ أَهْلِهِ إِلَيْهِ فَلَمْ يَشْهَدْ جَنَازَتَهُ

Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali orang yang menutup tokoknya, menghancurkan kebunnya, meninggalkan saudaranya, dan ketika keluarganya meninggal dunia dia tidak menghadiri jenazahnya.[7]

Meskipun ucapan ini sangatlah berlebihan, namun maksudnya adalah bahwa seorang penuntut ilmu harus memfokuskan hati dan pikirannya untuk ilmu. 

Bahkan, ada yang mengatakan bahwa sebagian syaikh dahulu memerintahkan muridnya dengan apa yang dikatakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dimana mereka perintahkan muridnya dengan mengatakan : “Celupkan saja bajumu dengan warna yang gelap agar pikiranmu tidak tersibukkan dengan bagaimana cara mencucinya.”

Termasuk apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i :

لو كُلِّفتُ شراء بصلة ما فهمتُ مسألة

Seandainya aku dimintai untuk membeli bawang merah maka aku tidak akan memahami suatu permasalahan (fiqih).[8]
 

4. Qona’ah dan Bersabar

Seorang penuntut ilmu hendaknya merasa cukup dengan makanan pokoknya, dan pakaian yang menutupinya walaupun pakaian itu sudah usang. 

Dengan kesabaran terhadap sempitnya kehidupan maka ia akan memperoleh keluasan ilmu, dan dengan fokusnya hati dari angan-angan yang terpecah belah maka ia akan memancarkan mata air hikmah.

Imam Syafi’i mengatakan :

لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح

Tidaklah seseorang mencari ilmu ini dengan kekuasaan dan kemuliaan diri lantas ia bisa sukses. Akan tetapi orang yang mencari dengan kehinaan diri, sempitnya kehidupan dan melayani ulamalah yang bisa sukses.

Beliau juga mengatakan :

لا يصلح طلب العلم إلا لمفلس، قيل: ولا الغني المكفي، قال: ولا الغني المكفي

“Tidaklah baik mencari ilmu kecuali oleh orang yang bangkrut.” 

Beliau ditanya : “Bukan yang kaya dan yang berkecukupan?” 

Beliau menjawab : “Bukanlah yang kaya dan berkecukupan.”

Imam Malik mengatakan :

لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضر به الفقر ويؤثره على كل شيء

Seseorang tidak akan sampai dari ilmu ini pada taraf yang ia inginkan hingga ia ditimpa kefakiran dan mendahulukan ilmu di atas segala sesuatu.

Imam Abu Hanifah mengatakan : 

يُستعان على الفقه بجمع الهم، ويستعان على حذف العلائق بأخذ اليسير عند الحاجة ولا يزد

Ilmu fikih ini akan terbantu dengan seluruh tekad yang kuat, dan memutus hubungan (dengan dunia) akan terbantu dengan mengambil keperluan secukupnya dan tidak berlebihan.

Ini semua adalah ucapan mereka para imam yang mana mereka adalah pelopor yang tidak terbantahkan, dan memang seperti inilah keadaan mereka.

Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan :

الْمُسْتَحَبُّ لِطَالِبِ الْحَدِيثِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ ذَلِكَ؛ لِئَلَّا يَقْتَطِعَهُ الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنِ الطَّلَبِ

Seorang pencari ilmu hadits dianjurkan dalam keadaan bujang selama hal itu memungkinkan. Tujuannya agar dalam mencari ilmu ia tidak tersibukkan dengan hak-hak suami istri dan mencari ma’isyah.[9]

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :

من تزوج فقد ركب البحر فإن ولد له ولد فقد كسر به

Barang siapa yang menikah maka ia telah mengarungi lautan, apabila ia memiliki anak maka sungguh telah pecah perahunya.

Kesimpulan dari itu semua adalah : bahwa tidak menikah bagi seorang yang belum membutuhkannya atau yang belum mampu itu lebih utama, lebih-lebih bagi seorang pelajar yang modal utamanya adalah seluruh jiwanya, ketenangan hatinya, serta pikirannya.

5. Pembagian Waktu dan Tempat Menghafal

Seorang penuntut ilmu hendaknya membagi waktu siang dan malamnya serta memperhatikan sisa-sisa umurnya, karena sesungguhnya sisa umur tidaklah bernilai baginya.[10]

Adapun waktu terbaik untuk menghafal adalah diwaktu sahur, untuk pembahasan ilmu ketika pagi, untuk menulis ketika siang hari, dan untuk menelaah dan mengulang pelajaran adalah ketika malam.

Al-Khatib Al-Baghdaadi[11] mengatakan :

أجود أوقات الحفظ الأسحار ثم وسط النهار ثم الغداة

Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, kemudian tengah hari, kemudian pagi hari.

وحفظ الليل أنفع من حفظ النهار، ووقت الجوع أنفع من وقت الشبع

Menghafal di malam hari lebih efektif dari pada di siang hari, dan waktu lapar lebih efektif dari pada waktu kenyang.

وأجود أماكن الحفظ الغرف وكل موضع بعيد عن الملهيات

Tempat terbaik untuk menghafal adalah kamar, dan setiap tempat yang jauh dari tempat hiburan.

وليس بمحمود الحفظ بحضرة النبات والخضرة والأنهار وقوارع الطريق وضجيج الأصوات لأنها تمنع من خلو القلب غالبًا

Dan tidaklah baik menghafal di depan tumbuh-tumbuhan, sungai, di tengah jalan, dan suara yang gaduh, karena ia akan memecah konsentrasi.

6. Memakan Makanan Halal Secukupnya

Diantara faktor terbesar terbantunya aktivitas dan pemahaman, serta penghilang kejenuhan adalah memakan makanan yang halal dengan kadar secukupnya.

Imam Syafi’i mengatakan

ما شبعت منذ ست عشرة سنة

Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun.

Terlalu banyak makan otomatis menyebabkan banyak minum. Terlalu banyak makan dan minum dapat menyebabkan banyak tidur, kebodohan, pendeknya pemahaman, lemahnya panca indra, dan tubuh yang pemalas.  

Semua ini juga hal yang dibenci dalam syariat dan menyebabkan penyakit pada tubuh, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair :

فإن الداء أكثر ما تراه – يكون من الطعام أو الشراب

Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau lihat adalah karena makanan dan minuman.[12]

Tidaklah pernah dijumpai para wali dan para imam ulama memiliki sifat banyak makan dan dipuji karena itu. Sesungguhnya banyak makan itu terpuji bagi hewan ternak yang mana mereka tidaklah berakal dan mereka memang disiapkan untuk bekerja.

Kecerdasan yang lurus lebih berharga dari pada dianggurkan dan ditelantarkan hanya karena sekedar makanan yang tak berharga, yang mana perkara ini telah diketahui akibatnya.

Walaupun tidak ada penyakit yang diakibatan dari banyak makan dan minum kecuali banyak masuk ke WC, namun sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk menghindarkan dirinya dari hal itu. 

Barang siapa yang menginginkan kesuksesan dalam mencari ilmu dan memperoleh apa yang ia kehendaki darinya dengan memperbanyak makan, minum, dan tidur maka sungguh ia telah menginginkan sesuatu yang mustahil.

Adapun yang paling utama hendaknya ia mengambil makanan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidaklah manusia memenuhi bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah anak adam memakan makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Setidaknya sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.[13]

Apabila lebih dari itu maka ia telah berbuat berlebihan dan keluar dari sunnah. Allah ta’ala berfirman :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-A’raaf : 31)

Sebagian ulama’ mengatakan tentang ayat itu (bahwa) “Allah telah menghimpun kalimat ini mencakup seluruh aspek kesehatan.”

7. Memiliki Sifat Wara’[14]

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengambil sikap wara’ di setiap urusannya. 

Hendaknya ia berusaha memilah dan memilih perkara yang halal untuk makanannya, minumannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan segala sesuatu yang ia butuhkan. 

Tujuannya adalah agar hatinya bersinar dan mudah menerima ilmu dan cahaya serta memberikan manfaat padanya.

Tidaklah seorang penuntut ilmu mencukupkan dirinya dengan yang tampak kehalalannya secara syar’i walaupun sikap wara’ itu memungkinkannya sedangkan keperluannya tidak mendesaknya atau ia menduga bahwa bagian itu sebenarnya boleh untuknya. 

Bahkan hendaknya ia mencari kedudukan yang tinggi dan mencontoh para ulama shalih terdahulu dalam bersikap wara’ dari kebanyakan apa yang mereka fatwakan kebolehannya.

Yang paling berhak untuk diteladani sifat wara’nya adalah sayyidunaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dimana beliau tidak memakan kurma yang ia jumpai di jalan karena takut bila ternyata kurma itu adalah sedekah (zakat)[15] dan juga karena jauh dari tempatnya.[16] Dan juga karena ahlul ilmi diikuti jejaknya dan dari merekalah diambil contohnya, maka apabila mereka tidak mengamalkan sikap wara’ maka siapa lagi yang akan mengamalkannya?

Sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu menggunakan rukhshah[17] sesuai pada tempatnya ketika ia membutuhkannya dan ada sesuatu yang menyebabkannya dalam rangka meneladani beliau. 

Karena sesungguhnya Allah senang apabila seseorang menggunakan rukhsah yang diberikan oleh-Nya sebagaimana Allah senang apabila azimah[18]-Nya digunakan.

8. Hindari Makanan Penyebab Kebodohan

Seorang penuntut ilmu hendaknya meminimalisir makanan-makanan yang dapat menyebabkan otak menjadi tumpul (jawa:dedel) dan melemahnya panca indra seperti apel masam, baqillah (sejenis kacang-kacangan), dan cuka. 

Begitu pula makanan yang menimbulkan dahak seperti terlalu banyak minum susu, makan ikan dan sebagainya.

Sepantasnya ia mengonsumsi apa yang Allah jadikan sebagai penyebab otak menjadi cerdas. Seperti mengunyah liban, damar mastik secukupnya, makan kismis di pagi hari, air mawar, dan selain itu.

Disamping itu, juga hendaknya seorang penuntut ilmu menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya ingatan secara khusus; seperti makan makanan bekas sisa tikus, membaca papan kuburan, masuk diantara dua iringan unta yang dilumuri pelangkin, dan membuang kutu rambut dan semisal itu menurut beberapa penelitian. [disarankan lihat catatan kaki no: [19]]

9. Memperhatikan Kesehatan Jasmani

Hendaknya seorang penuntut ilmu meminimalisir tidurnya selama hal itu tidak berdampak negatif pada badan dan kecerdasannya. 

Janganlah ia tidur dalam sehari lebih dari delapan jam yakni sepertiganya hari. Apabila ia bisa tidur kurang dari itu maka hendaklah ia melakukannya

Tidaklah mengapa seorang penuntut ilmu mengistirahatkan dirinya, hatinya, otaknya, dan pandangannya ketika semua itu terasa letih atau melemah dengan bertamasya atau melihat-lihat ke tempat piknik. 

Setelah melakukan itu hendaknya ia segera kembali dengan keadaannya semula dan tidak menyia-nyiakan waktunya. Boleh juga ia berjalan-jalan dan berolahraga karena hal itu dapat membangkitkan kesemangatan, menghilangkan penyakit dan menjadikan tubuh lebih giat.

Hubungan suami istri pun juga diperbolehkan jika ia memang membutuhkannya. Para dokter mengatakan bahwa hal itu dapat meringankan beban dan menjernihkan otak bila memang diperlukan asal tidak berlebihan.

Namun, berhati-hatilah terlalu sering melakukannya sebagaimana berhati-hati dari serangan musuh. Dalam sebuah bait dikatakan :

مَاء الْحَيَاة يراق فِي الْأَرْحَام

Air mani ditumpahkan di dalam rahim.[20]

(dapat) melemahkan pendengaran, pengelihatan, urat syaraf, suhu tubuh, pencernaan dan penyakit-penyakit lain yang dapat membinasakan. 

Para peneliti dari kalangan kedokteran berpendapat bahwa meninggalkan hal itu lebih utama kecuali darurat atau untuk pengobatan.

Dari kesemua itu dapat disimpulkan bahwa tidaklah mengapa mengistirahatkan tubuh ketika khawatir merasa bosan. 

Dahulu para ulama besar juga berkumpul bersama kawan-kawannya di tempat rekreasi di sebagian hari-hari tahunan mereka, dan mereka saling bersenda gurau dengan gurauan yang dibolehkan dalam agama dan tidak menciderai kehormatan mereka.

10. Meninggalkan Teman Bergaul

Seorang penuntut ilmu sepantasnya meninggalkan teman bergaulnya. Karena meninggalkan teman bergaul termasuk hal terpenting yang sepantasnya dikerjakan oleh thalibul ilmi, lebih-lebih pada lawan jenis. 

Khususnya meninggalkan orang yang banyak bermain dan sedikit berfikir, karena sesungguhnya watak manusia itu dapat menular

Penyakit yang ditimbulkan dari teman bergaul adalah menyia-nyiakan umur dengan hal-hal yang tidak berfaedah, menghabiskan uang dan harta, serta menghilangkan agama apabila kawan bergaulnya adalah orang yang hobi menghabiskan uang dan tidak beragama.

Adapun yang sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu adalah hendaknya ia bergaul bersama orang yang mendatangkan faedah kepadanya atau yang dapat ia ambil faedah darinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اغْدُ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ

Jadilah seorang ‘alim atau pelajar atau pendengar atau orang yang mencintai di pagi hari. Dan janganlah jadi yang kelima atau rusaklah engkau.[21]

Maka jika ia membuka atau menghadapi persahabatan pada orang yang menyia-nyiakan umurnya, tidak berfaedah dan tidak memberikan faedah, dan tidak membantu apa yang menjadi tujuannya maka bersikap lembutlah ketika memutuskan tali persahabatan sejak awal sebelum tali persahabatan itu kokoh. 

Karena ketika suatu perkara sudah menjadi kokoh maka akan sulit melepaskannya. Sebuah kalimat yang mengalir dari lisan para ahli fiqih mengatakan : “Mencegah itu lebih mudah dari pada mengobati.”

Namun, apabila memang membutuhkan seorang sahabat maka carilah sahabat yang shalih, beragama, bertakwa, bersikap wara’, berbudi luhur, banyak kebaikannya, sangat sedikit keburukannya, bersikap halus, sedikit berdebat, jika lupa maka mengingatkannya, jika ingat maka membantunya, jika memerlukan maka menghiburnya, dan jika gelisah maka menyabarkannya.

Dalam bait syair Ali bin Abu Thalib dikatakan :

فَلَا تَصْحَبْ أَخَا الْجَهْلِ وَإِيَّاكَ وَإِيَّاهُ
فَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ أَرْدَى حَلِيْمًا حِيْنَ وَاخَاهُ
يُقَاسُ الْمَرْءُ بِالْمَرْءِ إِذَا مَا هُوَ مَاشَاهُ

Janganlah bersahabat dengan orang yang bodoh dan waspadalah engkau terhadapnya.
Betapa banyak orang bodoh yang menjerumuskan orang berakal tatkala ia berteman dengannya.
Seorang itu ditimbang dengan kawannya ketika ia berjalan bersamanya.[22]

Dalam bait yang lain juga disebutkan :

إِنَّ أَخَاكَ الصِّدْقَ مَنْ كَانَ مَعَكَ
وَمَنْ يَضُرُّ نَفْسَهُ لِيُنْفِعَكَ
وَمَنْ إِذَا رَيْبُ زَمَانٍ صَدَّعَكَ
شَتَّتَ شَمْلَ نَفْسِهِ لِيَجْمَعَكَ

Saudaramu yang sesungguhnya adalah orang yang selalu bersamamu.
Dan orang yang mengorbankan dirinya untuk memberikan manfaat padamu.
Dan orang yang ketika kesibukannya memecah belah urusanmu
maka ia ceraiberaikan urusan pribadinya untuk memudahkan urusanmu.[23]

Alih bahasa : Adam Rizkala



[1] Beliau adalah Al-Imam Al-Qaadli Abu Abdullah Badru Ad-Diin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shokhr Al-Kinaaniy Al-Hamwiy Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala (639-733 H)
[2] HR. Bukhari no. 52.
[3] Lihat Az-Zuhdu wa Ar-Raqaaiq lil Khotib Al-Baghdadi 1/59.
[4] Lihat Jami’ Al-Uluum wa Al-Hikam 1/59.
[5] Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 1/28
[6] QS. Al-Ahzab ayat 4.
[7] Lihat Al-Jaami’ Al-Akhlaq Ar-Raawi wa Aadaab As-Saami’ 2/174
[8] Lihat At-Tadzkirat As-Saami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-‘Aalim wa Al-Muta’allim 1/88
[9] Lihat Al-Jaami’ Al-Akhlaq Ar-Raawi wa Aadaab As-Saami’ 1/101
[10] Maksudnya sisa umur ketika tua tidak bernilai untuk ilmu karena disaat itu adalah waktu dimana pikiran sudah melemah dan waktu dimana hendaknya kita memperbanyak bekal untuk akhirat.
[11] Perkataan beliau bisa dilihat dalam kitab At-Tadzkirat As-Saami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-‘Aalim wa Al-Muta’allim 1/89-90
[12] Lihat Diiwan Ibnu Ar-Ruumiy 1/149
[13]HR. Tirmidzi no. 2380
[14] Ibrahim bin Adham mengatakan : Wara’ adalah meninggalkan setiap syubhat dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu yakni meninggalkan yang berlebihan dalam hal yang mubah. Lihat : Madariju As-Saalikin 2/24
[15] Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ahlul bait diharamkan memakan harta zakat.
[16] HR. Bukhari no. 2055
[17] Dispensasi terhadap suatu ketetapan hukum karena adanya alasan tertentu.
[18] Ketetapan hukum yang ditetapkan pertamakali dalam bentuk umum.
[19] Barangkali penulis kitab menukil hal ini dari sebagian ahli pengobatan di zamannya. Dan segala yang disebutkan oleh mereka mengenai hal yang menyebabkan lupa adalah penyebab yang bersifat kauniyyah.
[20] Ini merupakan bagian belakang dari bait syairnya Al-Mujalli Al-‘Antari yang berbunyi  أقلل نكاحك مَا اسْتَطَعْت فَإِنَّهُ (sedikitkanlah senggamamu semampumu karena sesungguhnya ia...). Lihat Uyun Al Anbaa’ fii Thabaqaat Al-Athbaa’ 1/390.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’bu Al-Iman 3/299 (no. 1581) Syaikh Albani menghukumi hadits ini dengan meletakkannya di dalam kitab Dlaif Al-Jaami’ no. 981
[22] Lihat Diwan Ali bin Abi Thalib 1/263
[23] Baitnya Abu Al-Atahiyah dalam diwannya 1/185