10 Adab Penuntut Ilmu Terhadap Diri Sendiri
Oleh : Rizkala Adam
Dipublikasikan : 11/26/2018
![]() |
Diantara kewajiban yang akan terus dikerjakan oleh setiap muslim hingga akhir
hayatnya adalah menuntut ilmu.
Dikala menuntut ilmu,
seorang penuntut ilmu sepantasnya untuk memperhatikan adab-adab penuntut
ilmu.
Ulama’ terdahulu
sangatlah menekankan pentingnya adab seorang penuntut ilmu.
Tanpa adab maka ilmu
hanya akan menjadi sekedar pengetahuan di dalam kepala. Kebermanfaatan dan
keberkahan ilmu akan sulit diraih apabila kita tidak memperhatikan adab-adab
dikala menuntut ilmu.
Berikut ini
akan kita pelajari bersama adab-adab penuntut ilmu yang kami terjemahkan dari
kitab Tadzkiratu As-Saami’ wa Al-Mutakallim oleh Ibnu Jama’ah Asy-Syafi’i[1].
Beliau membaginya menjadi tiga pasal sebagai berikut :
- Adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri.
- Adab penuntut ilmu terhadap guru, pembimbing, dan orang yang wajib di hormati.
- Adab penuntut ilmu terhadap pembelajaran.
Adapun pada
artikel ini akan kita bahas pasal yang pertama, yakni Adab
Penuntut Ilmu Terhadap Dirinya.
Ada sepuluh hal
mengenai adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri yang harus ia perhatikan,
diantaranya sebagai berikut :
1. Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Buruk
Seorang penuntut ilmu
sepantasnya membersihkan hati dari semua sifat-sifat yang buruk seperti
dengki atau iri, dendam, keyakinan yang buruk dan akhlak yang tercela.
Dengan hati yang bersih
maka seorang penuntut ilmu lebih mudah menerima dan menjaga ilmunya, menguatkan
perhatiannya terhadap makna-makna secara detail dan hakikat yang
tersembunyi.
Sebagaimana yang
dikatakan sebagian ulama : “Karena sesungguhnya ilmu adalah sholatussirr
(sholat yang tersembunyi), ibadahnya hati, dan perbuatan batin yang mendekatkan
pada Allah.”
Sebagaimana
shalat yang mana ia merupakan ibadah badan lahiriyah tidaklah sah kecuali dengan
suci dari hadats dan kotoran, maka demikian pula ilmu yang mana merupakan
ibadah hati tidaklah
sah kecuali dengan mensucikannya dari sifat-sifat yang buruk dan hadats berupa
akhlak-akhlak yang keji dan tercela.
Ketika hati
diperbaiki untuk ilmu maka keberkahannya akan tampak dan terus bertambah.
Seperti tanah yang ketika baik untuk ditanam maka tanamannya akan tumbuh dan
subur.
Di dalam hadits
disebutkan :
أَلاَ وَإِنَّ
فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ
فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah!
Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila ia baik maka
seluruh jasadnya pun baik, namun bila ia rusak maka seluruh jasadnya pun rusak.
Ingatlah, bahwa itu adalah hati.[2]
Sahl bin Abdullah
At-Tusturii mengatakan :
وَحَرَامٌ عَلَى قَلْبٍ
أَنْ يَدْخُلَهُ النُّورُ، وَفِيهِ شَيْءٌ مِمَّا يَكْرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Cahaya tidak akan masuk ke dalam hati yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci
oleh Allah azza wa jalla.[3]
2. Niat yang Baik
Seorang penuntut ilmu
hendaknya berniat baik dikala menuntut ilmu. Yakni hendaknya ia memaksudkan
ilmunya untuk meraih wajahnya Allah azza wa jalla, serta bermaksud untuk
mengamalkannya, menghidupkan syariat, menyinari hatinya, menghias batinnya, dan
untuk mendekatkan pada Allah ta’ala di hari ketika bertemu dengan-Nya,
dan mendapatkan apa yang telah Allah sediakan untuk ahli ilmu berupa ridha-Nya dan keutamaan-Nya yang besar.
Sufyan
Ats-Tsauri mengatakan :
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا
أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي
Janganlah seorang
penuntut ilmu menjadikan ilmunya untuk tujuan keduniaan agar memperoleh
kehormatan, pangkat, harta, kebanggaan, penghormatan masyarakat dan agar mendudukkannya sebagai pemegang majelis dan lain sebagainya, karena dengan itu berarti ia telah menukar sesuatu yang baik dengan sesuatu yang lebih rendah.
Abu Yusuf mengatakan
:
أَرِيدُوا بِعِلْمِكُمْ
اللَّهَ فَإِنِّي لَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي فِيهِ أَنْ أَتَوَاضَعَ
إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَعْلُوَهُمْ وَلَمْ أَجْلِسْ مَجْلِسًا قَطُّ أَنْوِي
فِيهِ أَنْ أَعْلُوَهُمْ إلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَفْتَضِحَ
Niatkanlah ilmu kalian
untuk Allah ta’ala, karena sesungguhnya tidaklah aku duduk disuatu majelis sama
sekali yang aku berniat bertawadhu' di majelis itu kecuali aku berdiri maka aku lebih unggul dari pada mereka. (Sebaliknya), tidaklah aku duduk disuatu
majelis sama sekali yang aku berniat agar aku lebih mulia dari pada mereka kecuali aku berdiri sehingga keburukankupun tersingkap.[5]
Ilmu adalah salah
satu ibadah diantara ibadah-ibadah yang ada dan merupakan salah satu amalan
yang mendekatkan diri kepada Allah diantara amalan yang ada.
Apabila niatnya murni
karena Allah ta’ala maka diterimalah amalan itu serta keberkahannya akan
tumbuh dan bertambah.
Namun, apabila ia
diniatkan untuk selain Allah maka leburlah amalan tersebut, sia-sia, dan
merugi.
Bisa jadi ia tidak memperoleh apa yang menjadi tujuannya dan ia telah gagal meraihnya dan menyianyiakan usahanya.
3. Memperhatikan Waktu dan Fokus untuk Ilmu
Seorang penuntut ilmu
hendaknya bergegas di masa muda dan sisa-sisa waktu dari umurnya untuk
memperoleh ilmu. Janganlah ia terperdaya dengan menunda-nunda dan banyak
berangan-angan. Karena setiap waktu yang terlewat tidak akan pernah terganti
dan terulang.
Selain itu penuntut
ilmu harus melepaskan segala hubungan yang menyibukkannya dan segala sesuatu yang
membuatnya terhalang dari kesempurnaan menuntut ilmu, pengorbanan
kesungguhannya, dan kuatnya kesungguhan untuk memperoleh ilmu.
Penutut ilmu
terdahulu lebih menyukai bepergian jauh dari keluarga dan tanah airnya untuk
menuntut ilmu. Karena ketika pikiran terbagi-bagi maka akan kesulitan menemukan
hakikat dan berkurangnya ketelitian. Allah ta’ala berfirman :
مَا جَعَلَ
اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya[6]
Dikatakan pula bahwa
“Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya padamu hingga engkau memberikan
keseluruhan dirimu kepadanya.”
Khatib
Al-Baghdadi mengatakan :
لَا يَنَالُ هَذَا
الْعِلْمَ إِلَّا مَنْ عُطِّلَ دُكَّانُهُ وَخُرِّبَ بُسْتَانُهُ وَهَجَرَ
إِخْوَانَهُ وَمَاتَ أَقْرَبُ أَهْلِهِ إِلَيْهِ فَلَمْ يَشْهَدْ جَنَازَتَهُ
Ilmu ini tidak akan
diperoleh kecuali orang yang menutup tokoknya, menghancurkan kebunnya, meninggalkan
saudaranya, dan ketika keluarganya meninggal dunia dia tidak menghadiri jenazahnya.[7]
Meskipun ucapan ini sangatlah berlebihan, namun maksudnya
adalah bahwa seorang penuntut ilmu harus memfokuskan hati dan pikirannya untuk
ilmu.
Bahkan, ada yang
mengatakan bahwa sebagian syaikh dahulu memerintahkan muridnya dengan apa yang
dikatakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dimana mereka perintahkan muridnya dengan
mengatakan : “Celupkan saja bajumu dengan warna yang gelap agar pikiranmu tidak tersibukkan dengan bagaimana cara
mencucinya.”
Termasuk apa yang
dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i :
لو كُلِّفتُ شراء بصلة ما
فهمتُ مسألة
Seandainya aku dimintai untuk membeli bawang merah maka aku tidak akan memahami suatu permasalahan
(fiqih).[8]
4. Qona’ah dan Bersabar
Seorang penuntut ilmu
hendaknya merasa cukup dengan makanan pokoknya, dan pakaian yang menutupinya
walaupun pakaian itu sudah usang.
Dengan kesabaran
terhadap sempitnya kehidupan maka ia akan memperoleh keluasan ilmu, dan dengan
fokusnya hati dari angan-angan yang terpecah belah maka ia akan memancarkan
mata air hikmah.
Imam Syafi’i
mengatakan :
لا يطلب أحد هذا العلم
بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح
Tidaklah seseorang
mencari ilmu ini dengan kekuasaan dan kemuliaan diri lantas ia bisa sukses.
Akan tetapi orang yang mencari dengan kehinaan diri, sempitnya kehidupan dan
melayani ulamalah yang bisa sukses.
Beliau juga
mengatakan :
لا يصلح طلب العلم إلا
لمفلس، قيل: ولا الغني المكفي، قال: ولا الغني المكفي
“Tidaklah baik mencari ilmu kecuali oleh
orang yang bangkrut.”
Beliau ditanya :
“Bukan yang kaya dan yang berkecukupan?”
Beliau menjawab :
“Bukanlah yang kaya dan berkecukupan.”
Imam Malik mengatakan
:
لا يبلغ أحد من هذا العلم
ما يريد حتى يضر به الفقر ويؤثره على كل شيء
Seseorang tidak akan
sampai dari ilmu ini pada taraf yang ia inginkan hingga ia ditimpa kefakiran dan mendahulukan ilmu di atas segala
sesuatu.
Imam Abu
Hanifah mengatakan :
يُستعان على الفقه بجمع
الهم، ويستعان على حذف العلائق بأخذ اليسير عند الحاجة ولا يزد
Ilmu fikih ini akan terbantu dengan seluruh tekad yang kuat, dan memutus
hubungan (dengan dunia) akan terbantu dengan mengambil keperluan secukupnya dan tidak
berlebihan.
Ini semua
adalah ucapan mereka para imam yang mana mereka adalah pelopor
yang tidak terbantahkan, dan memang seperti inilah keadaan mereka.
Al-Khathib
Al-Baghdadi mengatakan :
الْمُسْتَحَبُّ لِطَالِبِ
الْحَدِيثِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ ذَلِكَ؛ لِئَلَّا يَقْتَطِعَهُ
الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنِ
الطَّلَبِ
Seorang pencari ilmu hadits dianjurkan dalam keadaan bujang selama hal itu
memungkinkan. Tujuannya agar dalam mencari ilmu ia tidak tersibukkan dengan
hak-hak suami istri dan mencari ma’isyah.[9]
Sufyan
Ats-Tsauri mengatakan :
من تزوج فقد ركب البحر فإن
ولد له ولد فقد كسر به
Barang siapa yang menikah maka ia telah mengarungi lautan, apabila ia
memiliki anak maka sungguh telah pecah perahunya.
Kesimpulan dari
itu semua adalah : bahwa tidak menikah bagi seorang yang belum membutuhkannya
atau yang belum mampu itu lebih utama, lebih-lebih bagi seorang pelajar yang modal utamanya adalah seluruh jiwanya, ketenangan hatinya, serta
pikirannya.
5. Pembagian Waktu dan Tempat Menghafal
Seorang penuntut ilmu
hendaknya membagi waktu siang dan malamnya serta memperhatikan sisa-sisa umurnya,
karena sesungguhnya sisa umur tidaklah bernilai baginya.[10]
Adapun waktu terbaik
untuk menghafal adalah diwaktu sahur, untuk pembahasan ilmu ketika pagi, untuk menulis ketika siang
hari, dan untuk
menelaah dan mengulang pelajaran adalah
ketika malam.
أجود أوقات الحفظ الأسحار
ثم وسط النهار ثم الغداة
Waktu yang paling
baik untuk menghafal adalah waktu sahur, kemudian tengah hari, kemudian pagi
hari.
وحفظ الليل أنفع من حفظ
النهار، ووقت الجوع أنفع من وقت الشبع
Menghafal di malam
hari lebih efektif dari pada di siang hari, dan waktu lapar lebih efektif dari pada waktu kenyang.
وأجود أماكن الحفظ الغرف
وكل موضع بعيد عن الملهيات
Tempat terbaik untuk
menghafal adalah kamar, dan setiap tempat yang jauh dari tempat hiburan.
وليس بمحمود الحفظ بحضرة
النبات والخضرة والأنهار وقوارع الطريق وضجيج الأصوات لأنها تمنع من خلو القلب
غالبًا
Dan tidaklah baik
menghafal di depan tumbuh-tumbuhan, sungai, di tengah jalan, dan suara yang
gaduh, karena ia akan memecah konsentrasi.
6. Memakan Makanan Halal Secukupnya
Diantara faktor terbesar terbantunya aktivitas dan pemahaman, serta penghilang kejenuhan adalah
memakan makanan yang halal dengan kadar secukupnya.
Imam Syafi’i
mengatakan
ما شبعت منذ ست عشرة سنة
Aku tidak pernah
kenyang semenjak 16 tahun.
Terlalu banyak makan otomatis menyebabkan banyak
minum. Terlalu banyak makan dan minum
dapat menyebabkan banyak tidur, kebodohan, pendeknya pemahaman, lemahnya panca
indra, dan tubuh yang pemalas.
Semua ini juga
hal yang dibenci dalam syariat dan menyebabkan penyakit pada tubuh, sebagaimana
yang dikatakan dalam sebuah syair :
فإن الداء أكثر ما تراه –
يكون من الطعام أو الشراب
Tidaklah pernah
dijumpai para wali dan para imam ulama memiliki sifat
banyak makan dan dipuji karena itu. Sesungguhnya banyak makan itu terpuji bagi hewan ternak yang mana
mereka tidaklah berakal dan mereka memang disiapkan untuk bekerja.
Kecerdasan yang lurus lebih berharga dari pada dianggurkan dan ditelantarkan hanya karena
sekedar makanan yang tak berharga, yang mana perkara ini telah diketahui akibatnya.
Walaupun tidak
ada penyakit yang diakibatan dari banyak makan dan minum kecuali banyak masuk
ke WC, namun sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk menghindarkan dirinya
dari hal itu.
Barang siapa
yang menginginkan kesuksesan dalam mencari ilmu dan memperoleh apa yang ia
kehendaki darinya dengan memperbanyak makan, minum, dan tidur maka sungguh ia
telah menginginkan sesuatu yang mustahil.
Adapun yang
paling utama hendaknya ia mengambil makanan sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
مَا مَلَأَ
آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ
صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ
وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Tidaklah manusia
memenuhi bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah anak adam memakan
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Setidaknya sepertiga untuk
makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.[13]
Apabila lebih dari
itu maka ia telah berbuat berlebihan dan keluar dari sunnah. Allah ta’ala
berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
وَلَا تُسْرِفُوا
makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-A’raaf : 31)
Sebagian ulama’
mengatakan tentang ayat itu (bahwa) “Allah telah menghimpun kalimat ini
mencakup seluruh aspek kesehatan.”
7. Memiliki Sifat Wara’[14]
Seorang penuntut ilmu
hendaknya mengambil sikap wara’ di setiap urusannya.
Hendaknya ia berusaha
memilah dan memilih perkara
yang halal untuk makanannya, minumannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan
segala sesuatu yang ia butuhkan.
Tujuannya adalah agar
hatinya bersinar dan mudah menerima ilmu dan cahaya serta memberikan
manfaat padanya.
Tidaklah
seorang penuntut ilmu mencukupkan dirinya dengan yang tampak kehalalannya secara
syar’i walaupun sikap wara’ itu memungkinkannya sedangkan keperluannya tidak
mendesaknya atau ia menduga bahwa bagian itu sebenarnya boleh untuknya.
Bahkan
hendaknya ia mencari kedudukan yang tinggi dan mencontoh para ulama shalih
terdahulu dalam bersikap wara’ dari kebanyakan apa yang mereka fatwakan
kebolehannya.
Yang paling
berhak untuk diteladani sifat wara’nya adalah sayyidunaa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dimana beliau tidak memakan kurma yang ia jumpai di jalan
karena takut bila ternyata kurma itu adalah sedekah (zakat)[15]
dan juga karena jauh dari tempatnya.[16]
Dan juga karena ahlul ilmi diikuti jejaknya dan dari merekalah diambil
contohnya, maka apabila mereka tidak mengamalkan sikap wara’ maka siapa lagi
yang akan mengamalkannya?
Sepantasnya
bagi seorang penuntut ilmu menggunakan rukhshah[17]
sesuai pada tempatnya ketika ia membutuhkannya dan ada sesuatu yang
menyebabkannya dalam rangka meneladani beliau.
Karena
sesungguhnya Allah senang apabila seseorang menggunakan rukhsah yang
diberikan oleh-Nya sebagaimana Allah senang apabila azimah[18]-Nya
digunakan.
8. Hindari Makanan Penyebab Kebodohan
Seorang penuntut ilmu
hendaknya meminimalisir makanan-makanan yang dapat menyebabkan otak menjadi tumpul (jawa:dedel)
dan melemahnya panca indra seperti apel
masam, baqillah (sejenis kacang-kacangan), dan cuka.
Begitu pula
makanan yang menimbulkan dahak seperti terlalu banyak minum susu, makan ikan
dan sebagainya.
Sepantasnya ia
mengonsumsi apa yang Allah jadikan sebagai penyebab otak menjadi cerdas. Seperti mengunyah liban, damar mastik secukupnya,
makan kismis di pagi hari, air mawar, dan selain itu.
Disamping itu, juga
hendaknya seorang penuntut ilmu menjauhi segala
sesuatu yang menyebabkan hilangnya ingatan secara khusus; seperti makan
makanan bekas sisa tikus, membaca papan kuburan, masuk
diantara dua iringan unta yang dilumuri pelangkin, dan membuang kutu rambut dan semisal itu
menurut beberapa penelitian.
[disarankan lihat catatan kaki no: [19]]
9. Memperhatikan Kesehatan Jasmani
Hendaknya seorang
penuntut ilmu meminimalisir tidurnya selama hal itu tidak berdampak negatif pada badan
dan kecerdasannya.
Janganlah ia tidur dalam sehari lebih dari
delapan jam yakni sepertiganya hari. Apabila ia bisa tidur kurang dari itu maka hendaklah ia melakukannya
Tidaklah mengapa
seorang penuntut ilmu mengistirahatkan dirinya, hatinya, otaknya, dan
pandangannya ketika semua itu terasa letih atau melemah dengan bertamasya atau
melihat-lihat ke tempat
piknik.
Setelah melakukan itu
hendaknya ia segera kembali dengan keadaannya semula dan tidak menyia-nyiakan
waktunya. Boleh juga ia berjalan-jalan dan berolahraga karena hal itu dapat
membangkitkan kesemangatan, menghilangkan penyakit dan menjadikan tubuh lebih
giat.
Hubungan suami istri pun juga diperbolehkan jika ia memang membutuhkannya. Para dokter
mengatakan bahwa hal itu dapat meringankan beban dan menjernihkan otak bila
memang diperlukan asal tidak berlebihan.
Namun, berhati-hatilah
terlalu sering melakukannya sebagaimana berhati-hati dari serangan musuh. Dalam
sebuah bait dikatakan :
مَاء
الْحَيَاة يراق فِي الْأَرْحَام
Air mani ditumpahkan
di dalam rahim.[20]
(dapat) melemahkan
pendengaran, pengelihatan, urat syaraf, suhu tubuh, pencernaan dan
penyakit-penyakit lain yang dapat membinasakan.
Para peneliti dari
kalangan kedokteran berpendapat bahwa meninggalkan hal itu lebih utama kecuali
darurat atau untuk pengobatan.
Dari kesemua itu
dapat disimpulkan bahwa tidaklah mengapa mengistirahatkan tubuh ketika khawatir
merasa bosan.
Dahulu para ulama besar juga berkumpul bersama kawan-kawannya di tempat rekreasi di sebagian
hari-hari tahunan mereka, dan mereka saling bersenda gurau dengan gurauan yang dibolehkan dalam agama dan tidak menciderai kehormatan mereka.
10. Meninggalkan Teman Bergaul
Seorang penuntut ilmu
sepantasnya meninggalkan teman bergaulnya. Karena meninggalkan teman bergaul
termasuk hal terpenting yang sepantasnya dikerjakan oleh thalibul ilmi,
lebih-lebih pada lawan jenis.
Khususnya
meninggalkan orang yang banyak bermain dan sedikit berfikir, karena sesungguhnya watak manusia itu dapat menular.
Penyakit yang
ditimbulkan dari teman bergaul adalah menyia-nyiakan umur dengan hal-hal yang
tidak berfaedah, menghabiskan uang dan harta, serta menghilangkan agama apabila kawan bergaulnya adalah orang yang hobi
menghabiskan uang dan tidak beragama.
Adapun yang
sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu adalah hendaknya ia bergaul bersama
orang yang mendatangkan faedah kepadanya atau yang dapat ia ambil faedah
darinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اغْدُ عَالِمًا أَوْ
مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ
فَتَهْلِكَ
Jadilah seorang ‘alim
atau pelajar atau pendengar atau orang yang mencintai di pagi hari. Dan
janganlah jadi yang kelima atau rusaklah engkau.[21]
Maka jika ia membuka
atau menghadapi persahabatan pada orang yang menyia-nyiakan umurnya, tidak
berfaedah dan tidak memberikan faedah, dan tidak membantu apa yang menjadi
tujuannya maka bersikap lembutlah ketika memutuskan tali persahabatan sejak
awal sebelum tali persahabatan itu kokoh.
Karena ketika suatu
perkara sudah menjadi kokoh maka akan sulit melepaskannya. Sebuah kalimat yang
mengalir dari lisan para ahli fiqih mengatakan : “Mencegah itu lebih mudah dari
pada mengobati.”
Namun, apabila memang
membutuhkan seorang sahabat maka carilah sahabat yang shalih, beragama,
bertakwa, bersikap wara’, berbudi luhur, banyak kebaikannya, sangat sedikit
keburukannya, bersikap halus, sedikit berdebat, jika lupa maka
mengingatkannya, jika ingat maka membantunya, jika memerlukan maka
menghiburnya, dan jika gelisah maka menyabarkannya.
Dalam bait
syair Ali bin Abu Thalib dikatakan :
فَلَا تَصْحَبْ أَخَا
الْجَهْلِ وَإِيَّاكَ وَإِيَّاهُ
فَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ
أَرْدَى حَلِيْمًا حِيْنَ وَاخَاهُ
يُقَاسُ الْمَرْءُ
بِالْمَرْءِ إِذَا مَا هُوَ مَاشَاهُ
Janganlah bersahabat dengan orang yang bodoh dan waspadalah engkau
terhadapnya.
Betapa banyak orang bodoh yang menjerumuskan orang berakal tatkala ia
berteman dengannya.
Seorang itu ditimbang dengan kawannya ketika ia berjalan bersamanya.[22]
Dalam bait yang
lain juga disebutkan :
إِنَّ أَخَاكَ الصِّدْقَ
مَنْ كَانَ مَعَكَ
وَمَنْ يَضُرُّ نَفْسَهُ
لِيُنْفِعَكَ
وَمَنْ إِذَا رَيْبُ
زَمَانٍ صَدَّعَكَ
شَتَّتَ شَمْلَ نَفْسِهِ
لِيَجْمَعَكَ
Saudaramu yang sesungguhnya adalah orang yang selalu bersamamu.
Dan orang yang mengorbankan dirinya untuk memberikan manfaat padamu.
Dan orang yang ketika kesibukannya memecah belah urusanmu
maka ia ceraiberaikan urusan pribadinya untuk memudahkan urusanmu.[23]
Alih bahasa : Adam Rizkala
[1] Beliau
adalah Al-Imam Al-Qaadli Abu Abdullah Badru Ad-Diin Muhammad bin Ibrahim bin
Sa’dillah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shokhr Al-Kinaaniy
Al-Hamwiy Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala (639-733 H)
[2] HR.
Bukhari no. 52.
[3] Lihat
Az-Zuhdu wa Ar-Raqaaiq lil Khotib Al-Baghdadi 1/59.
[4] Lihat
Jami’ Al-Uluum wa Al-Hikam 1/59.
[5] Lihat
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 1/28
[6] QS.
Al-Ahzab ayat 4.
[8] Lihat
At-Tadzkirat As-Saami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-‘Aalim wa Al-Muta’allim
1/88
[10] Maksudnya
sisa umur ketika tua tidak bernilai untuk ilmu karena disaat itu adalah waktu
dimana pikiran sudah melemah dan waktu dimana hendaknya kita memperbanyak bekal
untuk akhirat.
[11] Perkataan beliau bisa dilihat
dalam kitab At-Tadzkirat
As-Saami’ wa Al-Mutakallim fii Adab Al-‘Aalim wa Al-Muta’allim 1/89-90
[12] Lihat
Diiwan Ibnu Ar-Ruumiy 1/149
[13]HR.
Tirmidzi no. 2380
[14] Ibrahim
bin Adham mengatakan : Wara’ adalah meninggalkan setiap
syubhat dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu yakni meninggalkan
yang berlebihan dalam hal yang mubah. Lihat : Madariju As-Saalikin 2/24
[15] Karena
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ahlul bait diharamkan memakan
harta zakat.
[16] HR.
Bukhari no. 2055
[17] Dispensasi
terhadap suatu ketetapan hukum karena adanya alasan tertentu.
[18] Ketetapan
hukum yang ditetapkan pertamakali dalam bentuk umum.
[19] Barangkali
penulis kitab menukil hal ini dari sebagian ahli pengobatan di zamannya. Dan
segala yang disebutkan oleh mereka mengenai hal yang menyebabkan lupa adalah
penyebab yang bersifat kauniyyah.
[20] Ini
merupakan bagian belakang dari bait syairnya Al-Mujalli Al-‘Antari yang
berbunyi أقلل نكاحك مَا اسْتَطَعْت فَإِنَّهُ (sedikitkanlah senggamamu semampumu karena
sesungguhnya ia...). Lihat Uyun Al Anbaa’ fii Thabaqaat Al-Athbaa’ 1/390.
[21] Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqy dalam Syu’bu Al-Iman 3/299 (no. 1581) Syaikh Albani menghukumi
hadits ini dengan meletakkannya di dalam kitab Dlaif Al-Jaami’ no. 981
[22] Lihat
Diwan Ali bin Abi Thalib 1/263
[23] Baitnya
Abu Al-Atahiyah dalam diwannya 1/185