Pengertian Khilafah Menurut Para Ulama Secara Bahasa dan Istilah
![]() |
Baru-baru ini Telah diramaikan di berbagai media
dengan banyaknya para tokoh-tokoh agama yang menggencar-gencarkan masalah
khilafah di negeri kita.
Mereka beranggapan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia
ini sudah jauh dari keadilan. Mereka berpandangan bahwa solusi terbaik untuk
ditegakkannya keadilan adalah dengan berdirinya khilafah di bumi
nusantara.
Namun di sisi lain, banyak pula yang tidak setuju dengan
gagasan semacam ini. Sistem khilafah ini dianggap sebagai sistem yang akan
meruntuhkan bahkan menghancurkan sistem di NKRI.
Bahkan orang-orang yang membicarakan masalah khilafah
dianggap sebagai teroris, anti pancasila, anti NKRI, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, apakah pengertian khilafah itu
sendiri? Benarkah khilafah ini adalah gagasan mengerikan yang bakal
menghancurkan NKRI? Sebelum kita menyimpulkan benarkah khilafah itu baik atau
buruk, ada baiknya kita pahami dahulu 3 hal ini :
- Apakah benar khilafah merupakan ajaran Islam?
- Apa pengerian khilafah menurut para ulama?
- Apa saja syarat pemimpin dalam suatu kekhilafahan?
1. Benarkah Khilafah Ajaran Islam?
Apabila kita memantau buku-buku hadits dan fiqih, maka
akan banyak kita jumpai pembahasan khilafah dengan nama yang bermacam-macam;
kadang kala disebut imamah, imarah, imamatul kubro, khilafah, ahkam sulthon,
luzumul jama’ah dan lain sebagainya.
Namun, pada intinya pembahasan itu hampir sama; yaitu
tentang bagaimana tata cara mengatur hal yang berhubungan dengan
kemaysarakatan, baik cara mengangkat pemimpinnya, menerapkan hukum pidana,
kewajiban dan hak pemimpin, kewajiban dan hak rakyat dan lain sebagainya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri
banyak sekali mengajarkan kita perihal imamah atau imarah. Hal
ini dibuktikan banyaknya sabda beliau terkait pembahasan bab tersebut dalam
kitab-kitab hadits.
Berikut ini daftar kitab-kitab hadits yang membahas
tentang bab imamah:
- Shahih Bukhari : Ditulis oleh Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, dikenal dengan nama Imam Bukhari (194 - 256 H) pembahasan imarah terdapat pada kitabul ahkam (nomor kitab : 93) pada juz 9 halaman 61.
- Shahih Muslim : Ditulis oleh Muslim bin Hajjaj An-Naisaaburi, dikenal dengan nama Imam Muslim (204 - 261 H) pembahasan imarah terdapat pada kitabul imarah (nomor kitab : 33) pada Juz 3 halaman 1451.
- Sunan Abu Dawud : Ditulis oleh Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ab As-Sajastaani, dikenal dengan nama Imam Abu Dawud (202 – 275 H) pembahasan imarah terdapat pada kitabul khoroj wal imaroh wal fai’ (nomor kitab : 19) pada Juz 3 halaman 130.
- Sunan An-Nasa’iy : Ditulis oleh Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Khurossani An-Nasaiy, dikenal dengan nama Imam Nasaiy (215 – 303 H) pembahasan pada kitabul bai’ah (nomor kitab : 39) pada Juz 7 halaman 137.
- Dan masih banyak lagi kitab-kitab hadits yang membahas itu semua.
Adanya bab-bab pada kitab-kitab tersebut membuktikan
bahwa khilafah adalah benar-benar ajaran Islam. Kita tidak dapat
memungkiri itu, mengingat banyaknya para ulama’ yang mencantumkan bab imarah,
khilafah dan sejenisnya dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab fikih
mereka.
Apabila ada seorang muslim yang menolak khilafah sebagai
ajaran Islam, maka tidak diragukan lagi bahwa ia telah mengkufuri ajaran agamanya
sendiri.
Berikut ini sedikit sabda-sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan khilafah
dan yang berhubungan dengannya :
النَّاسُ تَبَعٌ
لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ، مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ،
وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ
Manusia itu mengikuti orang Quraisy dalam permasalahan
ini (kepemimpinan), muslimnya mereka mengikuti muslim, dan orang kafirnya
mengikuti orang kafir. (HR. Muslim)
إِنَّ هَذَا
الْأَمْرَ لَا يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمِ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً
Sesungguhnya perkara (pemerintahan) ini tidak akan runtuh
hingga selesai dua belas orang kholihaf. (HR. Muslim)
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
Dahulu bani Israil dipimpin oleh para Nabi, ketika Nabi
itu meninggal maka digantikan dengan Nabi yang lain. Akan tetapi setelahku
tidak ada Nabi, dan akan ada banyak Kholifah. (HR. Muslim)
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ
الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Engkau tetapilah jama’ahnya kaum muslimin dan pemimpinnya
mereka. (HR. Muslim)
مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيرِهِ شَيْئًا، فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ
خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا، فَمَاتَ عَلَيْهِ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang membenci pada suatu hal dari
pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar atasnya. Sesungguhnya tidaklah seorang
manusia yang keluar dari kepemimpinan (kaum muslimin) satu jengkal saja, maka
ia mati atas keadaan itu kecuali ia mati seperti mati jahiliyah. (HR. Muslim)
2. Pengertian Khilafah Menurut Bahasa dan Istilah
Berikut ini akan kami jelaskan pengertian khilafah baik
secara bahasa maupun secara istilah yang telah disebutkan oleh para ulama :
a. Secara Bahasa
Secara bahasa khilafah diambil dari kata : kholafa
– yakhlufu – khilaafatan; yang artinya adalah mengganti.
Di dalam Al-Quran kata ini sering kali digunakan pada
konteks mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain; seperti pergantian
kekuasaan, pergantian kaum dan lain sebagainya.
Sebagaimana firman-firman Allah ta’ala berikut ini
:
ثُمَّ
جَعَلْنَاكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ مِن بَعْدِهِمْ لِنَنظُرَ كَيْفَ
تَعْمَلُونَ
Kemudian
Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah
mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat (Q.S Yunus ayat
14)
أَوَعَجِبْتُمْ أَن
جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَلَىٰ رَجُلٍ مِّنكُمْ لِيُنذِرَكُمْ ۚ
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِن بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ
وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً ۖ فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Apakah
kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu
yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan
kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu
sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh,
dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh
itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Al-A’raf
ayat 69)
وَوَاعَدْنَا
مُوسَىٰ ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي
قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
Dan
telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga
puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi),
maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan
berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan
perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat
kerusakan”. (Q.S Al-A’raf
ayat 142)
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ
خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ
بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (Q.S An-Nuur ayat 55)
Dari ayat-ayat tersebut bisa kita ambil pengertian secara
umum bahwa kata “kholafa” sering kali dikaitkan dengan perihal
pergantian pemimpin suatu kaum, pergantian kekuasaan, dan lain
sebagainya.
Adapun kata kholifah adalah sebutan untuk
orang yang menggantikan orang sebelumnya.
وَكُل مَنْ
يَخْلُفُ شَخْصًا آخَرَ يُسَمَّى خَلِيفَةً
Dan setiap orang yang menggantikan seseorang yang lain
dinamai kholifah.
Sedangkan kata khilafah adalah sebuah
sebutan atau nama gelar.
وَيُسَمَّى
الْمَنْصِبُ خِلاَفَةً وَإِمَامَةً
Dan jabatan itu dinamai khilafah dan imamah.
b. Secara Istilah
Khilafah juga sering disebut dengan nama imamatul kubro.
Diberi nama kubro karena untuk membedakan dengan imamatus shughro;
yaitu imam di dalam sholat. Adapun imamatul kubro secara syar’i adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ
فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلاَفَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Kepemimpinan secara umum baik dalam perkara keagamaan
maupun perkara keduniaan sebagai pengganti kepemimpinan Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam.
Disebutkan juga oleh Syekh Rasyid Ridha dalam kitabnya
Al-Khilafah bahwa pengertian khilafah menurut beliau adalah
:
الْخلَافَة،
والإمامة الْعُظْمَى، وإمارة الْمُؤمنِينَ، ثَلَاث كَلِمَات مَعْنَاهَا وَاحِد،
وَهُوَ رئاسة الْحُكُومَة الإسلامية الجامعة لمصَالح الدّين وَالدُّنْيَا
Al-Khilafah dan Al-Imamah Al-Udzmaa, dan Imarotul
Mukminin, adalah tiga kata yang memiliki kesamaan makna; yaitu kepemimpinan
pemerintahan Islam secara keseluruhan untuk kemaslahatan agama dan keduniaan.
Selain itu Al-Mawardi juga menyebutkan dalam kitabnya
Al-Ahkam As-Sulthoniyah bahwa pengertian khilafah menurut beliau
adalah :
الْإِمَامَة
مَوْضُوعَة لخلافة النُّبُوَّة فِي حراسة الدّين وسياسة الدُّنْيَا
Al-Imamah/Pemimpin adalah sebuah kedudukan untuk
mengganti kenabian dalam hal peramutan agama dan mengatur politik keduniaan.
Dari pengertian-pengertian tersebut bisa kita simpulkan
bahwa khilafah adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dalam kepemimpinan umat. Baik itu memimpin perkara urusan keagamaan maupun
keduniaan. Dimana dalam menggantikan kepemimpinan Rasulullah seorang pemimpin
hendaknya juga memimpin dengan hukum yang diterapkan oleh Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam.
3. Syarat-syarat Kepemimpinan dalam Khilafah
Mengangkat imam atau pemimpin adalah kewajiban bagi kaum
muslimin. Tanpa adanya pemimpin maka dapat menimbulkan perselisihan dan
kekacauan. Tujuan pengangkatan pemimpin adalah sebagai penaung yang melindungi
rakyat dari kedzoliman.
Maka tak selayaknya kaum muslimin tidak memiliki pemimpin
dalam hidupnya. Namun, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin di dalam Islam.
Terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk menjadi seorang pemimpin.
Berikut ini beberapa persyaratan yang disepakati
oleh para ulama’ dalam pengangkatan seorang imam :
a. Muslim
Seorang pemimpin yang memimpin kaum muslimin haruslah
seorang muslim. Tidak selayaknya seorang mukmin menjadikan orang kafir menjadi
pemimpin. Dikisahkan dalam tafsir Ibnu Abi Hatim :
أَنَّ عُمَرَ
أَمَرَ أَبَا مُوسَى الأَشْعَرِيَّ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ مَا أَخَذَ وَمَا
أَعْطَى فِي أَدِيمٍ وَاحِدٍ وَكَانَ لَهُ كَاتِبٌ نَصْرَانِيٌّ فَرَفَعَ إِلَيْهِ
ذَلِكَ فَعَجِبَ عُمَرُ وَقَالَ: إِنَّ هَذَا الَحَفِيظٌ هَلْ أَنْتَ قَارِئٌ
لَنَا كِتَابًا فِي الْمَسْجِدِ جاء الشَّامِ فَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ
قَالَ: عُمَرُ: أَجُنُبٌ هُوَ قَالَ: لَا، بَلْ نَصْرَانِيٌّ قَالَ:
فَانْتَهَرَنِي وَضَرَبَ فَخِذِي قَالَ: أَخْرِجُوهُ، ثُمَّ قَرَأَ )يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ(
Bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ary untuk
melaporkan padanya terkait pemasukan dan pengeluaran dalam satu dokumen.
Ia memiliki seorang sekretaris beragama nasrani, lalu
sekretaris itu melaporkan laporan tersebut pada Umar. Lantas Umarpun kagum dan
berkata : “Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah engkau bisa
membaca catatan tersebut untuk kami di masjid yang datang dari negeri syam?”
Lalu Abu Musa berkata : “Ia tidak bisa”
Umar berkata : “Apakah ia mempunyai janabah?”
Abu Musa berkata : “Tidak, karena ia seorang
nasrani”
Lalu umar membentakku dan memuku pahaku dan berkata :
“Keluarkanlah dia”
kemudian umar membaca (surat Al-Maidah ayat 51): “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (HR. Ibnu Abi
Hatim dalam tafsirnya no. 6510)
Pada cerita tersebut telah jelas bahwa Umarpun dengan
tegas memecat seorang sekertaris yang beragama nasrani. Apabila menjadi
sekertarispun tidak diperkenankan, apalagi menjadi pemimpin? Tentu lebih
tidak diperkenankan lagi.
b. Taklif
Taklif dalam istilah fiqih adalah keadaan di mana
seseorang sudah diberikan beban untuk melaksanakan perintah dalam syariat
Islam. Taklif ini mencangkup baligh dan berakal. Tidaklah sah imam yang
dipimpin oleh anak kecil atau orang gila.
c. Laki-laki
Seorang pemimpin haruslah seorang lelaki. Tidaklah
sah kaum yang dipimpin oleh seorang wanita. Hal ini dikarenakan
kepemimpinan adalah jabatan yang sangat penting. Apabila suatu kaum dipimpin
oleh wanita maka ini telah menyalahi fitrah.
Kaum yang dipimpin oleh wanita akan menjadi berantakan
tidak karuan, sebagaimana yang pernah terjadi di negeri kita. Berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
perkaranya kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari : 4425)
d. Berkompeten
Seorang pemimpin haruslah memiliki kapabilitas dalam
memimpin. Tidak selayaknya mengangkat pemimpin yang tidak memiliki kemampuan
untuk memimpin seperti lemah, tidak berilmu, tidak mampu memimpin, bodoh dan
lain sebagainya.
Diantara kemampuan tersebut, seorang pemimpin haruslah
seorang yang pemberani, mampu memimpin perang, mengatur siasat, menegakkan
hukum hudud, dan membela umat.
e. Merdeka
Termasuk syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah
orang yang merdeka. Tidaklah layak mengangkat seorang budak menjadi seorang
pemimpin.
Persyaratan di atas adalah persyarat-persyaratan pemimpin
secara umum yang disepakati oleh para ulama’. Adapun persyaratan lain masih
diperselisihkan, namun secara umum lebih banyak ulama' yang menyepakatinya
seperti :
- Bernasab Quraisy.
- Adil dan mampu berijtihad.
- Mampu melihat dan mendengar serta tidak cacat.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa
membentuk suatu kekhilafahan pada dasarnya merupakan ajaran Islam.
Islam tidak hanya mengatur ritual ibadah yang berkaitan
dengan Allah saja. Akan tetapi Islam mengatur pada seluruh aspek kehidupan.
Termasuk perkara besar yang diatur dalam Islam adalah
perkara pemerintahan. Kita tidak akan mampu menjalankan
agama Islam dengan sempurna tanpa mengangkat seorang pemimpin.
Selain itu, agama Islampun juga tidak akan berjalan
dengan baik apabila cara pengangkatan pemimpinnya tidak sesuai dengan apa yang
telah dipraktekan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Tidak hanya soal mengangkat pemimpin, khilafah juga
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum pidana.
Apabila kita mau berpikir lebih kritis terkait kondisi
hukum di negeri kita ini maka kita akan mendapati betapa jauhnya hukum yang
diterapkan dari keadilan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita
selama ini berhukum dengan hukum yang dibuat oleh manusia.
Seperti yang kita tahu, bahwa manusia adalah makhluk yang
sempit pengetahuannya. Manusia selamanya tidak akan pernah mengerti mana hukum
yang adil dan mana yang tidak adil tanpa petunjuk dari yang Maha
Mengetahui.
Namun sayangnya, banyak diantara kita yang mengaku muslim
tetapi justru malah menolak mengamalkan hukum dari Allah ta’ala. Seperti
mengamalkan hukum qisos, hukum jilid, hukum rajam dan lain sebagainya.
Mereka yang menolak hukum Allah ini beranggapan bahwa
hukum Islam adalah hukum yang kejam. Mereka juga menganggap hukum tersebut
tidak manusiawi. Tentu ini adalah anggapan yang lucu. Apabila kita tanyakan :
- Siapakah yang lebih mengetahui tentang manusia dibanding Allah ta’ala?
- Bukankah yang menciptakan manusia itu sendiri adalah Allah ta’ala?
- Siapakah yang lebih mengetahui kebaikan dibalik suatu hukum dibandingkan Allah ta’ala?
Manusia yang menolak hukum Allah adalah manusia yang
merasa dirinya lebih pintar dari pada Allah ta’ala. Inilah kesombongan
manusia yang sering kali tidak kita sadari. Naudzubillaimindzalik.
Demikianlah pembahasan tentang pengertian khilafah
menurut para ulama serta kriteria pemimpin dalam kekhilafahan. Semoga
bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Oleh : Adam
Rizkala
0 Response to "Pengertian Khilafah Menurut Para Ulama Secara Bahasa dan Istilah"
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)