Pengertian Iman Kepada Allah Beserta Dalil dan Penjelasannya
Oleh : Rizkala Adam
Dipublikasikan : 7/22/2018
![]() |
Iman yang sejati adalah iman yang berada di dalam hati, dinyatakan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan. Adakalanya keimanan tersebut bertambah dengan ketaatan dan adakalanya berkurang dengan kemaksiatan.
Tidaklah sah keimanan yang diucapkan lisan saja tanpa ada keyakinan di dalam hatinya. Pada artikel ciri-ciri orang munafik telah kami singgung bahwa termasuk diantara ciri mereka adalah menyatakan iman kepada Allah dengan lisannya akan tetapi tanpa disertai keimanan di dalam hati.
Beriman kepada Allah bukanlah
perkara yang remeh. Ia merupakan perkara besar yang wajib kita pelajari dan
kita amalkan. Kesalahan kita dalam berakidah dapat membuat cacatnya
akidah kita.
Bahkan apabila satu saja cakupan terpenuhinya akidah iman kepada Allah tidak kita imani niscaya kita bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.
Bahkan apabila satu saja cakupan terpenuhinya akidah iman kepada Allah tidak kita imani niscaya kita bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.
Berikut ini akan kami jelaskan
pengertian iman kepada Allah beserta dalil dan penjelasannya berdasarkan akidah ahlu sunnah wal jama'ah.
Pengertian Iman
Iman secara bahasa adalah mengikrarkan
atau menetapkan dengan sesuatu dari apa yang ia akui kebenarannya. Iman adalah ketika seseorang menerima suatu kabar dan ia yakini akan kebenaran kabar
tersebut di dalam hatinya maka ia mengikrarkan bahwa kabar yang ia terima adalah benar
adanya. Syaikh Al-Utsaimin mengatakan :
الإيمان في اللغة: الإقرار
بالشيء عن تصديق به
Iman secara bahasa adalah : pengakuan/penetapan
terhadap sesuatu dari apa yang ia benarkan. (Syarah Aqidah Wasithiyah lil
Ustaimin : 1/54)
Cakupan Iman Kepada Allah
Tidaklah dikatakan beriman kepada Allah apabila kita hanya mengimani-Nya setengah-setengah. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Aqidah al-Wasithiyah”
menyatakan bahwa cakupan iman terdiri dari empat hal sebagai berikut :
فالإيمان بالله يتضمن الإيمان بوجوده وبربوبيته
وبألوهيته وبأسمائه وصفاته
“Adapun iman kepada Allah itu mencakup:
Iman dengan wujud Nya, rububiyah Nya, uluhiyah Nya, asma’ wa sifat Nya.”
Dari penuturan tersebut bisa kita
ketahui bahwa ada empat hal yang harus kita imani dari Allah ta'ala.
Adapun keempat hal tersebut adalah:
- Beriman dengan wujud Nya
- Beriman dengan rububiyah Nya
- Beriman dengan uluhiyah Nya
- Dan beriman dengan asma’ wa sifat Nya
Keempat kandungan dan cakupan iman
tersebut harus benar-benar berada di dalam keimanan kita. Apabila hilang salah
satunya maka kita tidak dikatakan sebagai seorang mukmin; bahkan kafir.
Mengapa demikian? Karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa orang-orang kafir (Quraiys) terdahulu juga beriman dengan wujud dan rububiyahnya Allah. Akan tetapi mereka tidak beriman dengan uluhiyah dan sifat-sifatnya Allah.
Mereka tau bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan langit dan bumi, akan tetapi mereka tidak mau menyembah hanya kepada-Nya.
Selain itu, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tercela. Maka dapat kita simpulkan bahwa pembeda antara orang mukmin dan orang kafir adalah dari segi cakupan imannya. Apabila lengkap cakupan tersebut kita penuhi maka kita adalah seorang mukmin.
Mengapa demikian? Karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa orang-orang kafir (Quraiys) terdahulu juga beriman dengan wujud dan rububiyahnya Allah. Akan tetapi mereka tidak beriman dengan uluhiyah dan sifat-sifatnya Allah.
Mereka tau bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan langit dan bumi, akan tetapi mereka tidak mau menyembah hanya kepada-Nya.
Selain itu, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tercela. Maka dapat kita simpulkan bahwa pembeda antara orang mukmin dan orang kafir adalah dari segi cakupan imannya. Apabila lengkap cakupan tersebut kita penuhi maka kita adalah seorang mukmin.
1. Pengertian Iman dengan Wujud Nya
Beriman dengan wujud Allah adalah beriman
bahwa Allah itu benar-benar wujud keberadaan-Nya. Allah bukan hanya sekedar buah
pemikiran atau ide segelintir manusia.
Namun, Ia merupakan dzat yang Maha Wujud dan Maha Ada. Siapapun manusia yang berada di dunia – baik yang percaya maupun yang tidak percaya dengan keberadaan Allah – pasti akan mengakui keberadaan-Nya setelah kematiannya.
Namun, Ia merupakan dzat yang Maha Wujud dan Maha Ada. Siapapun manusia yang berada di dunia – baik yang percaya maupun yang tidak percaya dengan keberadaan Allah – pasti akan mengakui keberadaan-Nya setelah kematiannya.
Iman kepada wujud-Nya juga merupakan
fitrah seluruh manusia sejak di lahirkan. Setiap anak yang dilahirkan
ke dunia secara fitrah dan alami sudah mengakui keberadaan adanya Allah ta’ala.
Fitrah ini sama sekali tidak bisa dipungkiri, mengingat betapa banyak kisah-kisah orang yang tidak mengakui adanya Allah pun tiba-tiba meminta pertolongan kepada Tuhannya ketika dalam keadaan genting dan mendesak.
Bahkan orang-orang yang tidak pernah mengenal ajaran agamapun meyakini dengan wujud keberadaan Tuhan walaupun mereka belum mengenal siapa tuhan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fitrah manusia sudah mengakui keberadaan Tuhannya sejak dilahirkan.
Fitrah ini sama sekali tidak bisa dipungkiri, mengingat betapa banyak kisah-kisah orang yang tidak mengakui adanya Allah pun tiba-tiba meminta pertolongan kepada Tuhannya ketika dalam keadaan genting dan mendesak.
Bahkan orang-orang yang tidak pernah mengenal ajaran agamapun meyakini dengan wujud keberadaan Tuhan walaupun mereka belum mengenal siapa tuhan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fitrah manusia sudah mengakui keberadaan Tuhannya sejak dilahirkan.
Wujud keberadaan Allah ini tidak
dapat dibantahkan lagi. Adanya seluruh alam baik itu langit, bumi, gunung,
laut, pepohonan, batu, dan seluruh kejadian-kejadiannya adalah bukti adanya
pencipta dari itu semua.
Sangatlah tidak masuk akal benda-benda itu ada dan bekerja dengan sendirinya.
Akal yang sehat pasti meyakini bahwa dimana ada ciptaan pasti ada yang menciptakan. Demikian pula akal yang sehat juga pasti akan menganggap mustahil segala sesuatu yang ada tanpa ada yang mengadakan.
Contoh sederhananya adalah nasi yang kita makan sehari-hari. Tidaklah masuk akal nasi itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang memasak. Apalagi adanya alam semesta yang semuanya berjalan dengan seimbang dan teratur menunjukkan adanya Sang Pencipta di balik itu semua.
Sangatlah tidak masuk akal benda-benda itu ada dan bekerja dengan sendirinya.
Akal yang sehat pasti meyakini bahwa dimana ada ciptaan pasti ada yang menciptakan. Demikian pula akal yang sehat juga pasti akan menganggap mustahil segala sesuatu yang ada tanpa ada yang mengadakan.
Contoh sederhananya adalah nasi yang kita makan sehari-hari. Tidaklah masuk akal nasi itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang memasak. Apalagi adanya alam semesta yang semuanya berjalan dengan seimbang dan teratur menunjukkan adanya Sang Pencipta di balik itu semua.
2. Pengertian Iman dengan Rububiyah Nya
Beriman dengan rububiyah adalah beriman
bahwa Allah adalah satu-satunya yang menciptakan, merajai dan mengatur
seluruh alam. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
ۗ أَلَا لَهُ
الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al-A’raf : 54)
Rububiyah meliputi tiga hal; yaitu:
a. Menciptakan
Seluruh yang ada di langit dan bumi
ini adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dalam menciptakan seluruh
makhluk, Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun. Ia menciptakan seluruh
langit bumi beserta isinya dengan Esa-Nya.
Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun dan tidak ada yang membantu-Nya dalam menciptakan seluruh ciptaan-Nya. Bahkan tidak ada satupun dari makhluk yang memiliki andil dalam penciptaan langit dan bumi.
Allah ta’ala berfirman :
Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun dan tidak ada yang membantu-Nya dalam menciptakan seluruh ciptaan-Nya. Bahkan tidak ada satupun dari makhluk yang memiliki andil dalam penciptaan langit dan bumi.
Allah ta’ala berfirman :
قُلْ أَرَأَيْتُم
مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ
لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang
telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan
Allah) dalam (penciptaan) langit? . . . al-ayat (Q.S Al-Ahqaf : 4)
a. Merajai
Allah adalah satu-satunya raja yang
merajai seluruh ciptaan-Nya. Tidak ada raja lain yang bersanding dengan-Nya yang menguasai seluruh makhluk. Tidak ada lagi raja di atas Allah. Allah lah
raja yang Maha Raja. Seluruh kerajaannya mencakup seluruh langit bumi dan
seisinya.
Allah ta’ala berfirman :
Allah ta’ala berfirman :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang
ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S Al-Maidah : 120)
c. Mengatur
Semua yang ada di alam semesta ini
tunduk dengan pengaturan yang telah ditetapkan oleh Allah jalla jalaaluh.
Tidak ada satupun makhluk yang mampu menolak apa yang telah di atur oleh Allah.
Seluruh kejadian yang ada di alam ini seperti bergilirnya siang dan malam, turunnya hujan, berhembusnya angin adalah atas apa yang telah diatur oleh Allah. Makhluk hanya bisa tunduk terhadap adanya kejadian-kejadian tersebut.
Tidak ada yang bisa memberhentikan siang atau menunda datangnya malam. Hanya milik Allah lah hak untuk mengatur alam semesta.
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
Seluruh kejadian yang ada di alam ini seperti bergilirnya siang dan malam, turunnya hujan, berhembusnya angin adalah atas apa yang telah diatur oleh Allah. Makhluk hanya bisa tunduk terhadap adanya kejadian-kejadian tersebut.
Tidak ada yang bisa memberhentikan siang atau menunda datangnya malam. Hanya milik Allah lah hak untuk mengatur alam semesta.
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah (Q.S Al-A’raf : 54)
3. Pengertian Iman dengan Uluhiyah Nya
Beriman dengan uluhiyah-Nya adalah
bertauhid atau menunggalkan Allah dalam hal ibadah kepada-Nya. Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan maupun amalan.
Hal ini telah diterangkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah dalam kitabnya risalatul ubudiyah, beliau mengatakan:
Hal ini telah diterangkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah dalam kitabnya risalatul ubudiyah, beliau mengatakan:
العبادة هي اسم جامع لكل
ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Allah baik itu ucapan maupun
perbuatan yang lahir maupun yang batin.
Seorang mukmin harus meyakini dan
mengakui bahwa satu-satunya dzat yang berhak diibadahi atau disembah hanyalah
Allah ta’ala. Tidak ada satupun dari makhluk yang patut dan berhak
disembah. Karena segala sesuatu selain Allah hanyalah makhluk yang diciptakan
oleh Allah.
Maka tidak selayaknya mereka dijadikan sesuatu yang disembah. Allah ta’ala berfirman :
Maka tidak selayaknya mereka dijadikan sesuatu yang disembah. Allah ta’ala berfirman :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
ۚ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Ali Imran 3:18)
4. Pengertian Iman dengan Asma’ wa Sifat
Pengertian iman kepada Allah dengan Asma’
wa Sifat adalah mengimani nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah yang telah
Allah namakan dan sifatkan untuk diri Nya sendiri dan juga mengimani nama-nama
Allah dan sifat-sifat Allah yang telah dinamai dan disifati oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ
بِهَا ۖ وَذَرُوا
الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Q.S Al A’raf 7:180)
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa
Allah memiliki nama-nama yang baik yang kita kenal dengan Asmaa’ul Husna.
Nama-nama Allah sangatlah banyak dan disetiap nama Allah terkandung pula
sifat-Nya. Seperti As-Samii’ (Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashiir’
(Yang Maha Melihat) yang sebagaimana nama-Nya maka seperti itu pula sifat-Nya.
Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat, maka kitapun beriman dengan sifat itu. Dalam mengimani asma’ wa sifat-Nya tugas kita adalah mengimani hal itu sepenuhnya tanpa melakukan empat hal; diantaranya :
Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat, maka kitapun beriman dengan sifat itu. Dalam mengimani asma’ wa sifat-Nya tugas kita adalah mengimani hal itu sepenuhnya tanpa melakukan empat hal; diantaranya :
a. Takyif
Takyif adalah membagaimanakan
sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Dalam mengimani sifat-sifat Allah kita dilarang
bertanya-tanya seperti:
Bagaimana Allah mendengar..?
Bagaimana Allah beristiwa’..?
Bagaimana Allah melihat..? Dan lain sebagainya.
Mempertanyakan bagaimana sifat-sifat Allah adalah hal yang tidak perlu bahkan berbahaya. Perbuatan tersebut dapat merusak akidah karena memancing kita ke arah tamtsil atau menyerupakan Allah dengan makhluknya.
Bagaimana Allah mendengar..?
Bagaimana Allah beristiwa’..?
Bagaimana Allah melihat..? Dan lain sebagainya.
Mempertanyakan bagaimana sifat-sifat Allah adalah hal yang tidak perlu bahkan berbahaya. Perbuatan tersebut dapat merusak akidah karena memancing kita ke arah tamtsil atau menyerupakan Allah dengan makhluknya.
b. Tamtsil
Tamtsil adalah menyerupakan atau
menyamakan Allah dengan makhluknya. Umumnya, tamtsil adalah akibat dari perbuatan
takyif (mempertanyakan sifat Allah). Ketika kita mengetahui bahwa Allah Maha Mendengar maka tugas kita
adalah beriman bahwa Allah Maha Mendengar.
Kita tidak perlu mempertanyakan bagaimana Allah Mendengar lantas menyamakan cara mendengar Allah dengan makhluk; karena tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya.
Kita tidak perlu mempertanyakan bagaimana Allah Mendengar lantas menyamakan cara mendengar Allah dengan makhluk; karena tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya.
c. Tahrif
Tahrif adalah merubah-rubah atau memalingkan nama dan
sifat Allah yang
telah disifati oleh Allah dan Rasul-Nya. Biasanya perbuatan tahrif ini terjadi karena
mentakwil ayat-ayat yang sifatnya mutasyabihat.
Contohnya seperti ayat yang membicarakan tentang sifat seperti يد (tangan), وجه (wajah), dan lain sebagainya. Alasannya, apabila sifat tersebut ditetapkan maka sama dengan menyerupakan Allah dengan makhluknya. Akhirnya sifat-sifat tersebut dipalingkan ke makna yang lain.
Padahal sejatinya kesamaan dalam hal nama belum tentu sama dalam hal hakikat. Kita sendiripun juga tidak akan pernah mengetahui bagaimana hakikat sifat-sifat tersebut.
Maka tugas kita adalah beriman dengan sifat-sifat tersebut dan beriman bahwa sifat-sifat Allah itu mulia dan tidak sama dengan sifat makhluknya; tanpa memikirkan, membayangkan, atau bahkan merubahnya dan memalingkannya kepada sifat yang lain.
Contohnya seperti ayat yang membicarakan tentang sifat seperti يد (tangan), وجه (wajah), dan lain sebagainya. Alasannya, apabila sifat tersebut ditetapkan maka sama dengan menyerupakan Allah dengan makhluknya. Akhirnya sifat-sifat tersebut dipalingkan ke makna yang lain.
Padahal sejatinya kesamaan dalam hal nama belum tentu sama dalam hal hakikat. Kita sendiripun juga tidak akan pernah mengetahui bagaimana hakikat sifat-sifat tersebut.
Maka tugas kita adalah beriman dengan sifat-sifat tersebut dan beriman bahwa sifat-sifat Allah itu mulia dan tidak sama dengan sifat makhluknya; tanpa memikirkan, membayangkan, atau bahkan merubahnya dan memalingkannya kepada sifat yang lain.
d. Ta’thil
Ta’thil adalah mengosongkan atau menelantarkan nash-nash
yang membicarakan sifat-sifat Allah yang telah di tetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Perilaku ini mirip dengan tahrif, hanya saja ta’thil tidak mengalihkannya pada sifat yang lain akan tetapi meniadakan atau mengosongkan sifat tersebut. Perbuatan ini adalah perbuatan yang salah karena sama saja dengan tidak mengimani sifat-sifat Allah.
Perilaku ini mirip dengan tahrif, hanya saja ta’thil tidak mengalihkannya pada sifat yang lain akan tetapi meniadakan atau mengosongkan sifat tersebut. Perbuatan ini adalah perbuatan yang salah karena sama saja dengan tidak mengimani sifat-sifat Allah.
Ucapan Ulama' Salaf dalam Mengimani Sifat-sifat Allah
Dalam mengimani asma' wa sifat-Nya sangatlah wajib kita meneladani para ulama’ salaf bagaimana pemahaman mereka; seperti Imam Abu Hanifah mengatakan pemahamannya terkait sifat-Nya :
لا يوصف الله تعالى بصفات
المخلوقين، وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف، وهو قول أهل السُّنَّة والجماعة
وهو يغضب ويرضى ولا يقال: غضبه عقوبته ورضاه ثوابه، ونصفه كما وصف نفسه أحدٌ صمد
لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوًا أحد، حيٌّ قادر سميع بصير عالم، يد الله فوق
أيديهم ليست كأيدي خلقه ووجهه ليس كوجوه خلقه
Tidaklah Allah ta’ala memiliki sifat sebagaimana sifat-sifatnya para makhluk.
Marah-Nya dan ridho-Nya adalah kedua sifat-Nya diantara sifat-sifat lain-Nya dengan tanpa bagaimana, itulah pendapatnya ahlu sunnah wal jama’ah.
Dia marah dan Dia ridho dan tidaklah dikatakan : marahnya adalah hukumannya dan ridhonya adalah pahalanya.
Kami meyakini sifat-Nya sebagaimana Ia mensifati diri-Nya sendiri, (Dialah) yang Maha Esa lagi Maha segala sesuatu bergantung pada-Nya, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang menyerupai-Nya.
Dia Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Tangan-Nya di atas tangan-tangan mereka yang tidak seperti tangan-tangan makhluk-Nya, wajah-Nya tidaklah seperti wajah-wajah makhluk-Nya. (I’tiqod Al-Aimmah Al-Arba’ah : 1/10)
Marah-Nya dan ridho-Nya adalah kedua sifat-Nya diantara sifat-sifat lain-Nya dengan tanpa bagaimana, itulah pendapatnya ahlu sunnah wal jama’ah.
Dia marah dan Dia ridho dan tidaklah dikatakan : marahnya adalah hukumannya dan ridhonya adalah pahalanya.
Kami meyakini sifat-Nya sebagaimana Ia mensifati diri-Nya sendiri, (Dialah) yang Maha Esa lagi Maha segala sesuatu bergantung pada-Nya, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang menyerupai-Nya.
Dia Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Tangan-Nya di atas tangan-tangan mereka yang tidak seperti tangan-tangan makhluk-Nya, wajah-Nya tidaklah seperti wajah-wajah makhluk-Nya. (I’tiqod Al-Aimmah Al-Arba’ah : 1/10)
Ringkasan
- Beriman kepada Allah mencangkup : wujud Nya, rububiyah Nya, uluhiyah Nya, asma’ wa sifat Nya.
- Beriman dengan wujud Nya ialah meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang wujud.
- Beriman dengan rububiyah Nya ialah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabbul ‘Alamin.
- Beriman dengan uluhiyah Nya ialah menyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah yang berhak disembah.
- Beriman dengan asma’ wa sifat ialah menamai dan mensifati Allah dengan nama dan sifat yang Ia namai dan sifati untuk diri Nya serta menamai dan mensifati Allah dengan nama dan sifat yang dinamai oleh Rasul Nya.
Oleh : Adam Rizkala
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan komentar yang mencerminkan seorang muslim yang baik :)